Ponpes Darul Falah: Membangun Peradaban Buku
Pesantren boleh disebut-sebut sebagai peradaban pendidikan Islam yang paling taji menunjukkan “taring”nya. Eksistensinya yang mampu melintasi ruang dan waktu, membuat pesantren tetap menjadi “primadona” pendidikan Islam, di nusantara khususnya.
Lebih lagi, pesantren digadang sebagai “agent of social-religius change”. Pesantren memiliki relasi partisipatoris dengan masyarakat. Laku kehidupan masyarakat beragama sepenuhnya bertumpu pada peran pesantren dalam mengayomi masyarakat. Jika pesantren mampu andil secara baik, akan ada cerminan masyarakat yang mutamaddun seperti dalam impian risalah Islamiyah itu. Sebaliknya, ketika pesantren “diam di tempat”, degradasi peradaban masyarakat menjadi semakin nyata.
Apa yang dilakukan pesantren sejauh ini adalah telah merupakan upaya yang luar biasa. Tradisi keilmuan dan dakwah yang diusung dalam semangat santri menjadi momok penting dalam angeda pemberdayaan masyarakat. Singkat kata, pesantren telah memberikan sumbangsih yang nyata, setidaknya untuk tetap memberi “siraman rohani” pada masyarakat.
Hanya saja, kita harus mengakui dengan sadar, bahwa tradisi keilmuan dan dakwah yang digeluti banyak pesantren sejauh ini masih terkungkung dalam tradisi lisan. Aktifitas ilmiah di pesantren banyak dikemas dalam konsepsi lisan. Sorogan, bandongan, musyawarah, muhafadzoh, semuanya adalah lisan. Sama, ketika pesantren melakukan lawatan dakwah di tengah masyarakat, jalan yang selama ini menjadi mitos dakwah kaum pesantren adalah tradisi lisan. Dakwah dikemas dalam ragam ceramah, pidato-pidato, pengajian dan selebihnya ritual-seremonial.
Aneh, kemudian muncul mitos di pergumulan santri, bahwa di tengah masyarakat, mereka tidak hanya dituntut untuk menjadi seorang alim yang menyimpan segudang keilmuan. Tapi juga harus menjadi seorang “macan panggung”, yang pandai membuat wicara, mengobral kata-kata. Dakwah yang dibatasi hanya sampai pada tradisi seremonial, dakwah yang hanya memilih jalan dengan harus menggelar ritus pengajian, dakwah yang harus berhadap-hadapan; ada penceramah dan ada yang menikmati ceramahnya.
Kita perhatikan selama ini, selain mengkaji keilmuan berbasis kitab kuning, kegiatan ekstra yang dihidangkan pesantren adalah aktifitas yang berbau lisan. Di pesantren kita bisa menemukan “khitobah”, prosesi ritus sebagai ruang bersua para santri untuk belajar menjadi pembicara yang baik, membawakan acara yang baik, memimpin tahlil yang lancar, memberikan sambutan yang menarik dan menjadi pemberi tausyiyah yang memukau. Akan ada ratusan bahkan ribuan santri yang tiap tahunnya terjun ke masyarakat, dan siap menjadi basis yang menyukseskan acara-acara; menjadi pembawa acara, pemimpin tahlil, pembawa sambutan, dan paling banter memberikan tausiyah.