Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peranan kiai dan santri di dalamnya. Sudah jelas tertuliskan dalam tinta emas sejarah bagaimana para kiai dan santri ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut didasari oleh jiwa-jiwa jihad yang dimiliki kiai dan santri yang tidak lepas dari ajaran agama Islam yang disampaikan para ulama, begitu pun dengan para santri sebagai tangan kanannya para ulama yang turut andil dalam kemerdekaan Indonesia.
Indonesia dijajah oleh Belanda selama kurang lebih 350 tahun, kemudian dilanjutkan oleh Jepang yang menjajah selama kurang lebih tiga tahun. Hingga akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia berhasil memerdekakan diri. Hal ini tentu berkat perjuangan dan semangat kemerdekaan para kiai dan santri yang berlandaskan jihad.
Baca Juga: Manusia Kuat itu Berani Memaafkan
Memperjuangkan kemerdekaan bukanlah hal yang mudah, butuh semangat dan jiwa nasionalisme yang tinggi. Sebut saja perjuangan KH Hasyim Al-Asy’ari dan para santrinya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal ini tentu dilandasi dengan semangat dan jiwa nasionalisme yang kuat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagai salah satu bentuk kepedulian Kiai Hasyim Asy’ari, beliau mencetuskan resolusi jihad, pada tanggal 22 Oktober 1945. Hal itu dikeluarkan sebagai respon atas rencana kedatangan tentara Belanda yang bermaksud merebut kemerdekaan Indonesia. Hingga tanggal 22 Oktober disebut juga sebagai Hari Santri Nasional.
Setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri, hal ini berawal dari usulan masyarakat pesantren sebagai momentum untuk mengingat, mengenang, dan meneladani kaum santri yang telah berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia. Alasan pentingnya penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri yang disampaikan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofar Rozin. Ia menjelaskan bahwa tanggal 22 Oktober dicetuskan sebagai hari santri. Hal itu dilatari peristiwa sejarah Resolusi Jihad. Di usia yang baru menginjak dua bulan merdeka, Indonesia kembali diserang oleh sekutu yang hendak merebut kemerdekaan dari tangan bangsa Indonesia. Demi mempertahankannya, Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad (Syakir, 2021).
Baca Juga: KH Imam Taufiq: Kekerasan dalam Keluarga Keluar dari Khittah Sakinah, Mawaddah, Warahmah.
Tantangan Indonesia menghadapi globalisasi
Berbicara masalah kemerdekaan, bangsa Indonesia sebenarnya sampai saat ini masih dijajah. Dijajah dalam hal ini bukan dari bangsa-bangsa penjajah melainkan oleh kebodohan yang tak sedikit merupakan akibat dari globalisasi. Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka hingga saat ini, Indonesia mengalami pengembangan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan. Masuknya era globalisasi menjadikan bangsa Indonesia hampir tidak memiliki batas (Ambiro Puji Asmaroini, 2017). Kemajuan insfrstruktur transportasi dan telekomunikasi, kemunculan telegraf dan internet, merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling ketergantungan aktivitas ekonomi dan budaya (Suneki, 2012).
Globalisasi memiliki beberapa dampak dalam kehidupan. Dampak positif globalisasi semisal menciptakan suatu masyarakat di seluruh penjuru dunia dapat saling bergantung dalam berbagai bidang kehidupan. Globalisasi juga memudahkan kita untuk berhubungan dengan masyarakat di negara-negara lain. Selain itu, globalisasi juga memiliki dampak negatif salah satunya adalah pola hidup yang konsumtif, sikap individualisme, gaya hidup kebarat-baratan serta kesenjangan sosial. Bagi Indonesia, proses globalisasi telah begitu terasa sekali sejak awal hadirnya globalisasi ini (Nurhaidah, M.Insya Musa, 2015).
Permasalahannya saat ini bukanlah meratapi apa yang sudah terjadi, melainkan kita harus melihat ke depan yaitu perihal apa yang sedang terjadi dan apa saja yang akan terjadi. Saat ini kita sedang di hadapkan oleh sesuatu yang cukup serius yakni globalisasi. Secara terminologi globalisasi yaitu proses masuknya ke ruang lingkup dunia dengan kata lain mendunia (Lestari, 2018). Jadi dunia bisa saja dalam genggaman tangan dengan mudah, hal tersebut dapat mempengaruhi berbagai macam pola pikir karena dampak dari adanya globalisasi ini memang bukan hal yang dipandang sebelah mata melainkan memiliki dampak yang serius jika salah dalam penggunaannya.
Peran santri menghadapi globalisasi
Dalam rangka menghadapi globalisasi, masyarakat Indonesia membutuhkan sosok yang mampu membimbing dan menjadi petunjuk ke arah kebaikan, dalam hal ini lah ulama dan santri menjadi tokoh utama dalam penggerak bangsa dan mereka juga menjadi seorang pewaris Nabi dalam menyebarkan agama Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Ulama itu merupakan pewaris para Nabi” (HR. A-Tirmidzi). Hadis tersebut menyatakan bahwa pentingnya kehadiran para ulama dan santri karena mereka merupakan perpanjangan tangan kanan Nabi dalam mengajarkan agama Islam.
Baca Juga: Implementasi Kaidah Al ‘Aadatun Muhakkamah dalam Tradisi Sunda Wiwitan
Era sekarang, banyak pondok pesantren yang menjadikan perkembangan globalisasi sebagai media atau alat untuk berdakwah, dengan membuat konten-konten pembelajaran kitab kuning, pengajian keagamaan, serta pembelajaran agama Islam lainnya yang ditokohi kiai dan santrinya diharapkan dapat menjadi tembok besar yang dapat menghalang timbulnya dampak-dampak negatif dari globalisasi ini khususnya dikalangan remaja. Kiai sangat berperan penting terhadap nasib Indonesia saat ini, dengan kata lain, tanpa adanya kiai Indonesia tidak akan berdiri dengan kokoh (Purnamasari, 2016).
Ulama juga merupakan manusia yang memiliki batasan dalam hal umur, sehingga memerlukan regenerasi atau sosok penerus. Dalam hal ini para santri yang menjadi tongkat estafet ulama, karena dari pengertianya santri merupakan orang yang mendalami ilmu agama dan yang belajar di sebuah pesantren dengan ustad atau kiai sebagai gurunya. Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memotivasi santri di Pondok Pesantren An Nadlah, Makassar, Sulawesi Selatan “Membedakan santri dengan orang lainnya dua hal, pertama memiliki jiwa kemandirian dan kedua memiliki nilai keikhlasan pada dirinya, ini lah yang menjadi jati diri seorang santri”, katanya pada ratusan santri di Masjid Nurul Ikhsan Layang, Sabtu Malam. Melihat pernyataan Lukman Hakim tersebut, dapat dilihat bahwa peran santri dalam menghadapi globalisasi ini sangat penting, karena ia merupakan orang yang dididik secara khusus dan di ajarkan tentang agama Islam serta memiliki jiwa yang khusus yang belum tentu dimiliki remaja pada umumnya (Zuhri, 2015) tak jarang juga diajarkan pula pengetahuan umum. Selain itu, perbedaan santri dengan yang lain yakni para santri memiliki bakat dan akidah yang kuat dan menjadi penerus para ulama dan mereka dituntut untuk memberikan teladan yang baik serta dapat mengajak orang lain untuk menyerukan kepada kebenaran sebagaimana peran ulama di tengah masyarakat Indonesia.
Oleh: Jazilah (Santriwati Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswi UIN Walisongo Semarang)