Santri yang pandai berteknologi harus paham dua unsur teknologi. Dua hal yang dimiliki teknologi itu speed and power. Oleh karena itu teknologi dapat melipatgandakan segala hal. Baik itu kebaikan juga keburukan sekalipun.
Maka dari itu, teknologi menawarkan kebermanfaatan juga ke-madharat-an. Dan semua tergantung bagaimana kita mengambil manfaat dan memaksimalkannya. Maka sebagai santri harus cerdas dalam hal tersebut.
Berikut disampaikan oleh Prof. Mujiburrahman saat menjadi pembicara pada Ngaji Tematik di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo, Sabtu (11/6/2021). Acara yang bertajuk ‘Santri Unggul di Era Digital’ tersebut berlokasi di Masjid Roudlotul Jannah juga disiarkan langsung melalui youtube PP. Dafa Besongo.
“Saya pertama kali belajar dan tahu internet itu tahun 1997. Yang saat itu sedang belajar kursus bahasa Inggris di Bali,” kisah penulis buku Agama Generasi Elektronik tersebut.
Sekarang, kita telah mengalami tsunami informasi. Yang mana di dalamnya tidak hanya air saja. Namun juga mengandung sampah dan berbagai hal yang tidak bermanfaat lainnya yang tentu harus disaring.
Maka dari itu, di era teknologi ini sebagai mahasantri harus bisa memanfaatkan teknologi sebagai sumber ilmu. Dan salah satunya adalah dengan berdiskusi.
“Karena ilmu itu bisa didapat melalui tiga hal. Observasi, berpikir dan pengalaman rohani,” jelasnya.
Santri Belajar Ketekunan dari Al-Ghazali
Masyhur di kalangan para santri, bahwa Imam Al-Ghazali bukanlah ulama yang berasal dari keluarga terpandang, juga alim. Tapi ayah beliau adalah orang yang sangat menghormati ilmu juga ahlinya.
Dikisahkan, Imam Al-Ghazali pernah bertemu dengan perampok. Tatkala buku catatannya selama belajar diambil, beliau memohon kepada perampok itu agar bukunya dikembalikan. Perampok itu tertawa dan berkata al-ilmu fiis shudur laa fis suthur.
“Ilmu itu di dalam hati bukan dalam tulisan. Apa semua ilmumu akan hilang jika bukumu ini hilang,” jelas Rektor UIN Antasari Banjarmasin tersebut.
Dan dari situlah kemudian Imam Al-Ghazali mulai menghafalkan semua ilmu yang telah dipelajarinya. Dan beranggapan bahwa perkataan yang diucapkan oleh perampok tersebut adalah petunjuk dari Allah.
“Maka, Ilmu itu tidak akan mau bertengger pada diri seorang yang tidak memiliki kecintaan dan keikhlasan terhadap ilmu,” tegasnya menukil ucapan dari Imam Ghazali.
Begitu juga dengan Ibnu Sina. Beliau pernah mempelajari metafisika dari buku karya Aristoteles. Namun tidak juga paham setelah 40 kali membaca buku tersebut. Lantas saat berjalan di sore hari, dia melihat penjual buku lantas membeli buku metafisika karya Al-Farabi.
“Tidak disangka, buku yang dibelinya seharga 3 dinar itu mampu menjadi wasilah pembuka ilmu metafisika yang tidak dipahaminya itu,” tutupnya.
Reporter: Imam Mawardi