Cendekiawan Muslim Indonesia, Prof Muhammad Quraish Shihab mengatakan, mufasir berbeda dengan guru yang mengajar penafsiran, mubaligh yang menyampaikan penafsiran. Sedangkan mufasir sebenarnya adalah orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan nalar dan kebersihan hatinya.
“Orang yang mengutarakan pendapat orang lain meski banyak kesalahan, orang tersebut tidak pernah belajar dan mendengar hanya di sana-sini, mengambil ini itu, dan memilih dari ayat-ayatnya,” dikutip dalam Channel Youtube Quraish Shihab , Senin (03/04/2023).
Lanjut beliau, padahal untuk menafsirkan diperlukan syarat-syarat diantaranya harus mengetahui bahasa Arab, karena sebagian kesalahan itu lahir karena tidak tahu bahasa Arab.
“Sampai sekarang kalau bahasa tidak paham salah lah penafsiran, kesalahan juga bisa disebabkan oleh fakta bahwa ini tidak diketahui,” ucapnya.
Beliau mencontohkan, bahwa ada seorang yang mempersamakan semua agama dan menyatakan kebenaran agama itu bukan di dunia tetapi tuhan yang putuskan.
Lalu, bagaimana menyatukan dua ayat, yang satu berbunyi ان الدين عندالله الاسلام yang satu berkata “nanti putusan diakhirat?”
Beliau sendiri sudah memberikan jalan keluarnya melalui bukunya “Membumikan Al-Qur’an” dan beliau juga mengemukakan sebuah konteks bagaimana Islam ingin memelihara hubungan baik, sehingga membumikan Al-Qur’an dibaca, yang mana di dalamnya ada ajaran dari Allah tentang sikap kita terhadap batin, dan pelajaran tentang sikap kita terhadap lahiriah.
Ayat yang berbunyi ان الدين عندالله الاسلام merupakan sikap terhadap batin yang mana semua yang bertentangan dengan agama anda wajib tolak. Sedangkan sikap kita terhadap lahiriah itu tidak perlu bertengkar.
“Boleh jadi kamu yang salah boleh jadi pula kamu yang benar,” tegasnya.
Dikatakan, seringkali ditemukan dalam masyarakat mengambil satu ayat, namun tidak memperhatikan ayat lainnya. Kalau dulu ulama temukan karena mereka hafal dan juga membaca Al-Qur’an. Sehingga tidak bisa kita mengemukakan suatu hukum hanya angkat dari satu ayat tanpa memperhatikan ayat lain.
“Karena itu, salah satu tantangan besar sekarang ini. Beliau mengharapkan kita menjadi orang-orang yang paham tafsir dan meluruskan kesalahan,” ungkapnya.
Dijelaskan, salah satu yang terpenting dalam konteks memahami tafsiran adalah kaidah-kaidah penafsiran atau dengan mengajarkan bahasa agar mengerti artinya. Dan yang diajarkan itu kaidahnya, sehingga yang dipilih bukan kandungannya .
“Yang harus digarisbawahi dalam konteks syarat-syarat orang menafsir yaitu mengetahui perkembangan ilmu, ketika kita ingin belajar melalui uraian ulama-ulama yang sedikit berbeda dengan perkembangan ilmu pengetahuan, beliau yakin bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang akan datang bisa jadi membatalkan penafsiran kita sekarang ini,” pungkasnya.
Oleh: Salwa Al Hassani (Santriwati Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswi UIN Walisongo Semarang)
Editor: M. Raif Al Abrar