Be-songo.or.id

Rajab Bulan Mulia

(piterest/ARBABU)

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ 

Artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram.” (Surat At-Taubah ayat 36). 

Dalam banyak literatur Tafsir dijelaskan, bahwa Allah memberikan khabar kepada manusia tentang adanya dua belas bulan dalam satu tahun. Hanya saja, dari dua belas itu terdapat empat bulan yang sangat Allah muliakan di dalamnya, yaitu empat bulan harum; (1) Dzulqa’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Keistimewaan empat bulan itu banyak dijelaskan banyak hadits Nabi. Bahkan tidak sedikit ulama yang menulis kitab dengan pembahasan secara khusus tentang keutamaan-keutamaannya. Seperti Ibnu Hajar al-Atsqalani menulis kitab berjudul Tabyinul ‘Ajab bi Ma Warada fi Fadhli Rajab yang menghimpun hadits-hadits seputar amalan pada bulan Rajab dan keutamaannya.

Baca Juga: Santri dalam Kampanyekan Islam Nusantara

Saat ini, kita telah memasuki salah satu bulan mulia itu, yakni Rajab. Rajab adalah bulan yang sangat dimuliakan dan dihormati. Dalam Kitab I‘anatut Thalibin, kata Rajab menjadi turunan kata dari “tarjib” yang berarti mengagungkan atau memuliakan. Sehingga di zaman dulu, masyarakat Arab memuliakan Rajab di atas bulan-bulan lainnya. Para ulama juga memaknai kata “Rajab” sebagai “Al-Ashabb” yang berarti “mengucur” atau “menetes”. Hal ini karena derasnya tetesan kebaikan dan keberkahan pada bulan Rajab.

Istilah lain bulan Rajab juga disebut sebagai “Rajam” yang bermakna melempar karena musuh dan setan-setan pada bulan ini dikutuk dan dilempari sehingga mereka tidak jadi menyakiti para wali dan orang-orang saleh. Pada bulan Rajab ini, kita diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa banyak beribadah dan juga berdoa. Hal ini karena, ibadah pada bulan Rajab memiliki keistimewaan sendiri dalam bentuk dilipatgandakannya segala pahala dari ibadah yang kita lakukan.

Dalam sebuah riwayat yang diceritakan oleh guru penulis. Diceritakan bahwa asal mula tradisi penghormatan ini tidak lepas dari tabiat bangsa “Badui” (pedalaman). Nasib hidup yang serba kekurangan membuat mereka menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup, termasuk jika harus menghunuskan pedang. Akibatnya, peperangan dan pertikaian berkepanjangan menjadi bagian integral dari kehidupan mereka, termasuk tidak segan untuk merampok dan memerangi rombongan dagang yang melintas untuk dirampas hartanya.

Hidup dalam kondisi sosial yang penuh ketegangan, tentu membuat Arab Badui tidak nyaman. Mereka membutuhkan waktu sebagai jeda untuk menyelesaikan hal-hal yang tidak bisa tersentuh dalam kondisi masyarakat yang tidak stabil. Sebab itulah mereka menentukan waktu jedah yang kemudian ditetapkan empat bulan tersebut. Selanjutnya kondusifitas waktu ini juga diteruskan oleh bangsa Arab secara umum, bukan hanya dari kalangan Badui.

Baca Juga: Pembukaan Pascalib 2022: Santri Mendunia Merawat Tradisi Islam Nusantara

Dalam kitab Faidh al-Qadir. Imam al-Manawi mengutip sebuah riwayat:

 قيل لرسول الله لم سمي رجب؟ قال: لأنه يترجّب فيه خير كثير لشعبان ورمضان 

Artinya, “Dikatakan kepada Rasulullah, ‘Kenapa (bulan Rajab) dinamakan Rajab?’ Rasulullah menjawab: Karena sungguh banyak di dalamnya kebaikan untuk bulan Sya’ban dan Ramadhan.” Imam al-Manawi melanjutkan:

فالمعنى أن يهيئ فيه خير كثير عظيم للمتعبدين في شعبان ورمضان

Artinya, “Maka makna (hadits tersebut), adalah dengan disediakan di dalamnya suatu kebaikan yang banyak dan agung bagi ahli ibadah (untuk menghadapi) bulan Sya’ban dan Ramadhan.”

Oleh karena itu, bulan Rajab merupakan bulan yang dianggap agung, dan tentu saja memuat banyak nilai sakralitas yang tinggi. Rajab dalam hal ini, merupakan sebuah bulan pembuka dalam menghadapi bulan-bulan suci selanjutnya yang juga menjadi ritus keagamaan yang rutin dilakukan bagi segenap kaum muslimin. Yakni, Sya’ban dan Ramadhan. Penulis sendiri dan keluarga juga pada tiga rentetan bulan mulia ini, selalu di ajak orang tua dan guru kami untuk setidaknya menggiatkan puasa sunnah muthlaq.

Di Nusantara sendiri, selain perayaan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ, terdapat berbagai ritus yang dilakukan oleh masyarakat. Seperti Nyadran, Ambengan, Peksi Buraq di Surakarta, Rajaban, Nganggung Bangka Belitung, Baro’atan di Jepara, Tawu Beji di Purworejo, dan lain sebagainya yang didalamnya berisi do’a, sedekah, dan lain-lain. Berbagai ritus tersebut sudah mengakar dan mendarah daging dikalangan masyarakat Nusantara dengan tujuan mengucap syukur tentunya dan mendekatkan diri kepada Allah.

Baca Juga: Manusia Kuat itu Berani Memaafkan

Mari memaknai bulan Rajab ini dengan spirit peningkatan spiritualitas. Semua amal ibadah harus ditingkatkan oleh umat Islam, selain sebagai persiapan untuk menyambut bulan Sya’ban dan Ramadhan, nilai-nilai pahala atas kebaikan dan ketaatan yang dilakukan pada bulan ini ditingkatkan oleh Allah swt melebihi bulan-bulan yang lainnya. Dalam sebuah riwayat di anjurkan untuk mengucap do’a:

اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان

Ya Allah, berkahilah kami pada Rajab, Sya’ban dan sampaikanlah (pertemukanlah) kami pada bulan Ramadhan.


 (wallahu a’lam bisshawab)

Oleh: Ulis Syifa’ Muhammadun (Santri Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)