Jumat (06/10/2023) diadakan Launching Logo dan Tema Hari Santri 2023 yang bertajuk ” Jihad Santri, Jayakan Negeri “. oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas. Dan akan dilaksanakan acara puncaknya pada 22 Oktober 2023 mendatang di Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur. Dalam Launching Logo dan Tema Hari Santri 2023, Menteri Agama Republik Indonesia (RI), Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan definisi santri menurut K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus).
“Menurut Gus Mus, santri adalah murid kyai yang dididik dengan penuh kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat”, pungkasnya.
Ia melanjutkan, santri juga kelompok mencintai negaranya, sekaligus menghormati kedua orang tuanya walaupun mereka berdua telah tiada. Santri juga mereka yang menyayangi sesama hamba Allah, mencintai ilmu dan tak pernah berhenti belajar. Minal mahdi ilal lahdi. Itu definisi santri oleh Gus Mus.
“Santri ini menganggap agama sebagai anugerah dan sekaligus wasilah untuk mendapatkan ridho dari Allah. Santri adalah hamba yang selalu bersyukur.” ujar Menteri Agama RI yang biasa disapa Gus Yaqut tersebut.
Baca Juga:Pesantren Memasuki Tantangan Baru, Pengasuh Besongo Tekankan Cakap Literasi Digital
Ia menyimpulkan dari definisi ‘santri’ oleh K.H. Mustofa Bisri tersebut, santri ini sangat ‘luas’. Jadi, bukan hanya mereka yang sekarang atau hari ini mereka yang berada di pesantren, tapi juga orang yang sesuai dengan yang didefinisikan oleh K.H. Mustofa Bisri itu. Walaupun sudah mencapai usia lanjut, masih bisa disebut santri, jika sesuai dengan definisi tadi.
“Kita juga punya pengharapan untuk santri, terutama di tahun-tahun politik seperti saat ini. Santri pasti akan sangat menentukan bagaimana wajah bangsa kita,” ungkap Gus Yaqut.
Menteri Agama RI tersebut berharap para santri bisa mengikuti jejak para pendahulunya meletakkan setiap perjuangan. Perjuangan yang ia (santri) lakukan di wilayah manapun itu, di ruang apapun itu berdasarkan pada nilai-nilai keagamaan termasuk politik. Termasuk juga dalam pengabdian di wilayah politik.
“Mari kita beragama melalui politik, artinya agama dijadikan subjek sementara politik itu hanya objek,” pungkasnya.
Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tersebut mengatakan, orientasinya adalah keuntungan bagi masyarakat untuk mendapatkan ridho Allah. Kalau mau berpolitik, sebaiknya politik itu dijiwai oleh nilai-nilai agama, sehingga apapun yang kita jalankan dalam wilayah politik, semata-mata karena mengaharap ridho Allah. Tentu, melalui wasilah kesejahteraan, kebaikan. Akhirnya keuntungan-keuntungan itu dirasakan oleh masyarakat, bukan diri kita sendiri.
“Yang kita harapkan adalah keridhoaan Allah. Itu jika kita beragama melalui politik,” pungkasnya.
Baca Juga: Wakil Ketua Umum PBNU Sampaikan Pentingnya Kiprah Perempuan dalam Dakwah dan Pendidikan
Gus Yaqut mengatakan, kita mengenal Mbah Hasyim Asy’ari. beliau itu bukan tidak berpolitik, beliau berpolitik. Cara berpolitiknya khas, beliau Beragama dengan politik, bukan sebaliknya. Sebagai pemimpin NU, beliau memutuskan Nahdatul Ulama, organisasi masyarakat besar yang beliau pimpin saat itu, untuk bergabung dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Kelompok yang diyakini isinya adalah kelompok-kelompok ‘garis keras’.
“(Hal) itu, dengan niatan agar mereka yang keras-keras mau menjadi lunak (moderat), gak keras-keras amat, gitu lah,” ucapnya.
Ia melanjutkan, orang-orang yang menolak qunut dan tahlil waktu itu serta sedikit-dikit ngomong ‘bid’ah’ dan ‘khurafat’, dengan sikapnya Kyai hasyim, mereka sedikit demi sedikit menengah (moderat). Itulah alasannya mengapa Kyai Hasyim mau bergabung dengan Masyumi. Lain halnya dengan K.H. Hasbullah, ketika NU bergabung dengan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) , itu bukan karena mendukung komunis dan PKI. Akan tetapi, bagian dari rencana agar para komunis dan yang ekstrim kiri itu kembali kepada Allah dan jalan yang benar. Dan itu diingatkan oleh K.H. Wahab Hasbullah. Nah, inilah beragama dengan cara politik.
Gus Yaqut menjelaskan, orang-orang yang berpolitik melalui agama, seringkali mencari dulu dalil-dalil agama sesuai dengan kepentingan. Atau bahasa mudahnya, agama diperalat untuk kepentingan politik. Ini yang tidak boleh, sekarang kita harus berusaha mengembalikan cara berpolitik kita sesuai dengan yang dilakukan oleh Mbah Hasyim dan Mbah Wahab Hasbullah dahulu.
Lantas dalam kondisi yang seperti ini. Urgensi “ Jihad ” seperti apa yang cocok untuk mewarnai tagline
” jihad santri, jayakan negeri “, dalam memasuki era baru, santri di tuntut untuk berperan aktif dalam dunia digital seperti mengisi platform media yang kosong misal dengan dakwah milenial serta meperluas intelektual dan mempertajam khazanah keilmuanya . Dengan harapan seperti ini mampu membawa dampak dan pengaruh yang besar untuk kejayaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Wallahualam Bissawab.