Be-songo.or.id-Sudah kita ketahui pesantren merupakan wadah kajian literatur yang berbasis agama sebagai tiang pengokoh bangunannya. Pesantren menjadi ladang yang dianggap mampu meningkatkan nilai peradaban sebagai salah satu fungsi lembaga pendidikan.
Di era virtual seperti saat ini pesantren juga bisa merambat ke ranah yang lebih luas mengembangkan keilmuan baik umum maupun keagamaan. Tujuannya tak lain untuk menunjukkan eksistensi pesantren yang mampu berperan serta dalam menjawab segala aspek kehidupan.
Pesantren menampilkan eksistensinya sebagai institusi keilmuan yang mencetak santri sebagai generasi garda terdepan bangsa. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, santri sebagai subjek harus memiliki etos yang kuat dalam meneguhkan semangat mencari ilmu.
Proses mengenal ilmu tidak sekadar dilihat dari pemahaman ilmu namun juga berkaitan dengan pengimplementasian di kehidupan. Santri di masyarakat seringkali dituntut serba bisa baik dilihat dari kematangan ilmu maupun sikap.
Diramu dari keilmuan yang sudah ada sejak dahulu, pesantren hadir untuk menyebarkan dan mengembangkan literatur terutama di era virtual. Pengembangan nalar kritis dan laku adab berliterasi menjadi salah satu pola pengembangan yang tepat dalam menjawab tantangan di era virtual. Lantas dapatkah keduanya menjadi salah satu alternatif untuk meneguhkan etos santri dalam mencari ilmu?
Membangun Nalar Kritis di Pesantren
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu bentuk perkembangan era virtual yang bisa dinikmati di bangku pendidikan, misalnya pesantren. Di era virtual, pesantren dihadapkan pada kemudahan arus informasi yang seharusnya diimbangi dengan nalar kritis untuk menjawab tantangan zaman.
Belajar dari ilmu umum yang diadopsi pada karakter nalar kritis, seharusnya mampu menjadikan arah untuk meneguhkan etos dalam mencari ilmu. Merambat karakter tersebut yang cenderung mengajak pada pola pikir ilmiah nan rasional (kritis, logis, dan sistematis).
Manifestasi ilmu pengetahuan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan menguasai semesta beserta keseluruhan aspek kehidupan. Knowledge is power merupakan ungkapan yang harus dijunjung dengan meneguhkan etos dari subjeknya.
Jika dilihat dari subjeknya di pesantren, santri bisa menjadikan karakter keilmuan untuk mengolah daya pikir lebih ilmiah dan kritis sehingga mampu meningkatkan eksistensi keilmuan di pesantren.
Dalam perkembangannya, konsep keilmuan memilki banyak ragam, salah satunya konsep sains dalam Islam. Konsep sains Islam yang berkembang dengan adanya ajaran relegiositas sains yang mengacu pada penguatan moral baik dalam lingkup hubungan dengan sesama manusia maupun vertikal dengan Tuhan, ajaran tersebut memegang nilai Al Qur’an dan Hadits sebagai bentuk objektivitasnya yang sesuai dengan keilmiahan maupun sistem hukum Islam. (Sirman, 2016)
Konsep sains dengan agama bisa saling mendukung namun juga terkadang bertentangan. Karena pada dasarnya agama bersifat transendental sedangkan sains empiris dan ilmiah. Meskipun begitu, tafsir dapat berkembang dengan adanya kontekstualisasi diimbangi dengan bukti yang empiris.
Sains dan agama sebagai contoh laku keilmuan bisa berjalan beriringan. Sains dan agama bisa diberkolaborasi seperti dalam ilmu embriologi dan Al Qur’an, dimana kita ketahui penciptaan manusia memiliki tahap spermatogenesis dan oogenesis. Seperti yang kita ketahui dalam tahap spermatogenesis akan menghasilkan nutfah seperti yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Mu’min : 67 mengenai proses penciptaan manusia.
Eksistensi sains dalam Islam juga terlihat dari adanya ilmuwan muslim seperti Al Haytam, seorang ilmuwan pencetus optik dan teori eksperimen. Mehdi Golshani pada bukunya Sains: Bagian dari Agama menjelaskan pada abad ke-16 sampai 17 teori Al Haytam juga menginspirasi beberapa ilmuwan barat seperti, Isaac Newton dan Galileo Galilei untuk menggabungkan teori sains seperti konvergensi cahaya dan sebagainya.
Menghadapi laju arus informasi yang pesat, santri perlu memilih dan memilah informasi tentunya dengan kevalidan data yang empiris. Santri perlu membangun nalar kritis untuk menunjang literasi yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan.
Wajah Laku Adab Berliterasi
Pesantren merupakan wadah kajian literasi yang kental akan kajian agamanya. Pesantren juga dianggap ladang terciptanya pendidikan karakter karena menerapkan kehidupan yang religius dan beradab.
Kajian ilmu agama sudah melekat dalam lingkup literasi di pesantren, khususnya membaca al Qur’an dan kitab kuning. Seperti yang dijelaskan oleh Qomar dan Dhofier, pesantren merujuk pada religious oriented atau sebagai peletak dasar pendidikan agama di masyarakat.
Pesantren telah banyak berkontribusi dan mencetak kader di bidang literasi, misalnya D Zawawi Imron, Ahmad Tohari, A Mustofa Bisri, Faisal Ismail, Emha Ainun Nadjib dan sebagainya. Adanya tokoh yang berkontribusi di dalamnya selayaknya mampu membangunkan ghiroh santri terhadap literatur, seperti adagium dari Pramoedya Ananta Toeri, “Orang boleh pandai setinggi langit. tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Selain mengandung pesan untuk mengabadikan sejarah melalui tulisan, adagium tersebut juga memotivasi kita untuk semangat dalam mencari ilmu dan mengembangkan literasi terutama di era virtual.
Semangat berliterasi juga tersenyam dalam pesan Imam al- Ghazali, “Kalau kamu bukan anak raja, kalau kamu bukan anak pejabat, maka menulislah”. Sebuah petuah yang menyadarkan bahwa menulis bukan hanya sekadar eksistensi diri tapi juga perihal bagaimana menjunjung diri untuk menjadi laku yang beradab melalui sebuah tulisan.
Mengikat ilmu dengan tulisan dan menuliskannya sesuai kaidah berliterasi yang baik dan bertanggung jawab. Pesantren sering dikenal dengan corak pendidikannya yang khas mewadahi subjeknya yakni santri untuk menjadi laku dalam literatur yang beradab.
Azyumardi Azra menjelaskan bahwa peradaban Islam memiliki korelasi dengan peradaban dari buku-buku. Menurutnya Tuhan kita merupakan manifestasi yang terukir dalam tiap lembaran buku yang akan menjadi identitas diri kita sendiri.
Manifestasi buku menurut Muhammad Ghufron di Kolom Artikel NuOnline (8/5/2019) bertujuan mengembangkan literasi beserta adabnya. Karena tulisan merupakan cerminan diri yang harus diimbangi dengan literatur yang berkualitas. Proses membaca juga mempengaruhi hasil dari tulisannya.
Pepatah Yunani Kuno pernah mengatakan, historia magistra vitae artinya sejarah adalah guru kehidupan. Di era virtual seperti saat ini seakan mendukung perkembangan sistem literatur yang mengukir sejarah kehidupan. Kemudahan media digital juga seakan mendukung tersebarnya keilmuan di masyarakat.
Kemudahan informasi sayangnya bisa merugikan beberapa pihak, keterbukaan data tanpa batas juga membuat mudah menyebarnya hoax di masyarakat. Untuk itu, nilai kritis dan beradab dalam literatur seharusnya dijadikan sebagai filter terhadap mudahnya arus di era virtual.
Membangun nalar kritis dan adab berliterasi seakan menjawab narasi tersebut, santri menjadi pihak netral yang harus bisa beradaptasi tanpa meninggalkan unsur kepesantrenan dan adab. Santri mampu menjawab tantangan pesantren dalam menanggapi literatur terutama di era virtual. Tujuannya tak lain membangun generasi garda terdepan yang bisa dipertanggungjawabkan dan menjadi guru terbaik dalam semesta kehidupan.
Penulis : Ati Auliyaur Rohmah