Oleh : Prof. Dr. KH. Imam Taufiq, M. Ag*
Pesantren merupakan fakta sekaligus fenomena yang unik dan inspiratif. Uniknya, ia termasuk subkultur budaya Indonesia yang perlu dipertahankan dalam mencetak generasi dengan intelektualitas dan moralitas yang seimbang. Keunikan lainnya, pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan yang mengawal dimensi-dimensi moralitas anak bangsa. Proses ini bersamaan dengan Islamisasi di Indonesia yang berjalan seiring dengan waktu dan sejarah bangsa.
Selain itu, sisi unik lain dari pesantren adalah dihadapkan dengan berbagai tantangan yang cukup besar, bagaimana ia bisa mengawal sumber daya bangsa Indonesia agar memiliki kesadaran moralitas tinggi. Di era modern ini, tak hanya intelektualitas dan spiritualitas saja yang dibutuhkan. Kesadaran moralitas yang seimbang lebih diharapkan agar dapat menggawangi berbagai problema di masyarakat. Intelektualitas yang tinggi namun tidak diimbangi dengan moralitas akan menyebabkan berbagai kekacauan dan pelanggaran.
Inspiratif, berarti pesantren menjadi lembaga pendidikan yang mampu memberikan aura masa depan yang lebih cerah dengan memberikan pelajaran untuk masyarakat luas. Peran pesantren disini ialah memberikan berbagai inspirasi kepada masyarakat luas. Hal ini dapat direalisasikan dengan ikut andilnya santri dalam berbagai program yang diadakan masyarakat umum atau pemerintah. Wujud lain misalnya ketika sudah menjadi alumni dapat ikut serta menyumbangkan ide, pikiran, tenaga atau bahkan materi untuk kepentingan umum. Hal ini harus terus dilakukan karena pesantren perlu menunjukkan bahwa ia adalah komunitas yang mampu menjadikan bangsa Indonesia dapat bertahan selamanya.
Di balik keunikan dan inspiratifnya, pesantren kini pun memiliki problem serius, yaitu harus bisa mengadaptasikan diri dengan kondisi modern dan milenial saat ini. Banyak pesantren yang dulu citranya negatif, alasannya karena ia tertinggal, jumud, dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman, perkembangan media, dan perkembangan teknologi. Banyak pesantren yang letaknya di pedesaan, pegunungan, bahkan di daerah terpencil dan masih jarang tersentuh media. Bahkan beberapa pesantren menutup diri dari berbagai perkembangan zaman, mereka hanya mengutamakan menuntut ilmu agama saja.
Dari problema tersebut juga diketahui bahwa tantangan utama pesantren di zaman now ini bukan hanya mencetak generasi santri yang pandai mengaji, namun juga memiliki berbagai kecakapan hidup seperti bahasa asing dan keterampilan-keterampilan lain yang dapat menunjang kebutuhan hidup. Tantangan lainnya adalah bagaimana pesantren bisa muncul secara nyata dalam global village, yakni keberadaan pesantren berada hanya disebuah wilayah tertentu namun seakan-akan ada di seluruh dunia. Kajian yang terdapat dalam pesantren tersebut dapat diakses, dipelajari, dicerna, bahkan dirujuk oleh seluruh masyarakat dunia.
Maka untuk menghadapi itu semua, ada beberapa kiat yang harus santri dan pesantren lakukan. Yang pertama santri harus kembali meneguhkan niatnya, memantapkan motivasinya menjadi pungawa-punggawa penjaga moral. Mengedepankan moral dan mewujudkan bagiamana suatu akhlakul karimah menjadi pegangan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kedua, menguatkan niatan tafaqquh fiddin. Bagaimanapun bentuk pesantrennya, tidak boleh lepas dari ngaji. Lewat proses ini maka seseorang akan mendapatkan ilmu yang barokah dan manfaat.
Ketiga, mereka pun harus ngabekti kepada Kyai dan Ustadznya disamping para santri wajib ngaji. Santri harus totalitas terhadap perintah Kyai dan asatidznya. Seperti yang sudah dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa seseorang adalah hamba bagi gurunya, walupun hanya mengajarinya satu huruf saja. Taat dan ngabdi-nya para santri ini bisa menjadi jalan untuk mendapat keberkahan dan ilmu yang bermanfaat.
Langkah berikutnya adalah dengan santri harus tetap hidup sederhana yang tak lain adalah ciri khas dari suatu pesantren. Contoh konkret yang dapat dilakukan santri adalah dengan tidak hura-hura dan berlebihan dari berbagai aspek, yaitu dari omongannya, pakaian, makanan, dan pola pikirnya. Dari kesederhanaan ini memiliki dampak positif bagi santri sendiri, yaitu melatih agar terbiasa mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.
Langkah terakhir adalah dengan tidak gagap dalam perkembangan zaman, tidak menutup diri baik itu dari sisi ilmu, sosial, ilmu-ilmu keterampilan, dan teknologi yang sedang berkembang. Kita hanya perlu menyaring setiap informasi dan teknologi yang masuk, membuang hal buruk dari penyaringan tersebut serta menerapkan hal-hal baik dalam kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah tersebut merupakan PR bagi kita semua untuk semakin menunjukkan bahwa santri milenial kini memegang prinsip ngaji, ngabdi, dan berteknologi.
*Dinarasikan oleh Gayuh Rijki F