Be-songo.or.id

Sedih dan Bahagia itu Tidak Selamanya

Cerita ini ditulis untuk memotivasi kita semua yang sedang dalam fase sering lupa untuk bersyukur, teruntuk kita semua yang sering merasa di tikam masalah yang tidak terukur.

***

Mobil sedan yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan rumah. Perjalanan ini nonstop menuju sebuah pesantren.

Seorang laki-laki berusia 50 tahun yang berpakaian serba putih dengan peci miring duduk di depan kursi kemudi, satu mobil denganku. Dia menoleh kebelakang tersenyum menatapku, aku sedang malas untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar.

“Apakah masih jauh?” Tanyaku.

“Masih nak, masih ada 6 jam untuk sampai ke sana,” jawabnya sambil menenangkan.

Aku mengangguk, tidak perlu di ulang. Aku tahu perjalananku kali ini cukup jauh, menuju kota asing, kota yang katanya kaya akan sejarah dan budaya jawanya, sebuah kota yang memiliki arsitektur kolonial yang indah, Kota Semarang.

Delapan tahun lalu, suasananya berbeda, meskipun dengan tujuan yang sama, aku tidak sendiri, melainkan bersama dua temanku. Memulai awal perjalanan, untuk mengambil gelar yang kini aku anggap sakral. Santri, iya gelar itu yang kita ambil, tiga anak kecil berusia 12 tahun meninggalkan kampung halamannya, Nyantri.

Delapan tahun dipaksa hidup mandiri di tempat itu, hidup dengan orang-orang baru. Aku sering menangis, menghabiskan rindu yang tersimpan dalam harapan mamakku.

Enam jam begitu cepat rasanya, seusai memarkirkan mobilnya, Bapak membangunkanku yang tertidur sejak tiga jam yang lalu.

“Ahmad bangun nak, kita sudah sampai,”

Bapak turun lebih dahulu, dia kemudian berjalan menggandengku dan tersenyum mengangguk-angguk pada orang tua dan anaknya yang sedang menuju Pesantren Al-falah.

Sepuluh langkah sebelum kami sampai, di teras masjid terlihat para ustaz dan ustadzah memakai jas almamater dengan logo kebanggaan mereka, siap menyambut santri baru.

Mukaku kusut, kakiku ingin berhenti rasanya, meskipun tidak asing dengan suasana ini tetapi keinginanku menolak. Sudah delapan tahun aku mengenyam dunia pesantren, hal itu membuatku tidak nyaman jika harus menambah beberapa tahun lagi.

“Pak, aku ngekos saja ya, ahmad bosan hidup di pesantren, apalagi ahmad sudah kuliah,” keluhku pada bapak.

“Anakku Ahmad, bapak tahu betul yang kamu pikirkan, tetapi bapak mengantarmu ke sini bukan hanya untuk menuntut ilmu, ada yang lebih penting dari semua itu, sekarang kita ke ndalem pak kiai dulu insyaallah dengan bertemu beliau nanti kamu akan memahami maksud bapak,” jawab bapakku.

Mukaku pias mendengar jawaban itu, segala bentuk logikaku dibungkam oleh larangan melawan kepada orang tua. Ingin rasanya aku bertemu dengan mamak, mengadu karena jawaban bapak.

****

Jam menunjukkan pukul 16.00, Aku dan bapak telah sampai di-ndalem pak kiyai, suasananya sejuk diiringi gemericik air dari kolam ikan koi di samping rumah.

“Assalamualaikum”

“Wa’alaikum salam,” jawabku serentak dengan bapak, sambil berdiri menyambut Pak Kiyai Lukman.

“Monggo-monggo duduk, ini rombongan dari mana?”

“Dari Cirebon pak kiyai”

“Alhamdulillah, jauh ya, gimana kang, sudah siap kembali ke pesantren lagi kan?” Tanya pak kiyai kepadaku.

Aku diam tidak menjawab, mukaku kusut, wajahku sangat terlihat jika menyimpan keterpaksaan.

Pak kiyai manggut-manggut sambil membuka tutup toples kue kering diatas meja, beliau tersenyum tipis saling tatap dengan bapak. Entahlah, aku kurang tau maksud dari pak kiyai maupun bapakku.

“Baiklah nak, bagaimana kalau kamu disini mengabdi di ndalem, jadi teman kang budi yang sudah 15 tahun di pesantren ini.” Ajak pak kiyai lukman padaku. Sebelumnya, “Aku punya cerita untukmu nak,” beliau melanjutkan “Dahulu ada seorang wali Allah sebut daja ia husain, dia datang ke tempat pandai besi untuk dibuatkan sebuah cincin, waliyullah itu berpesan kepadanya, buatkan aku satu cincin dan tuliskan seluruh makna hidup yang kamu pahami,”

Berhari-hari pandai besi itu berfikir apa yang hendak ia tulis dalam cincin tersebut, sedangkan kalimat apa yang mengandung seluruh makna hidupnya. Pandai besi itu kebingungan.

Satu minggu kemudian, waliyullah Husain itu kembali ke tempat pandai besi untuk mengambil cincin pesanannya. Tanpa bertanya apa-apa ia bayar pandai besi itu dan memakai cincinnya.

Hingga suatu ketika sang waliyullah mendapat sebuah musibah besar yang membuatnya amat kesusahan. Akan tetapi ketika ia melihat cincinnya yang bertuliskan ‘This Too, Shall Pass‘ (Yang inipun akan berlalu), wali Allah tersebut tersadar, dan kembali ingat kepada Allah karena kesusahan ini akan segera berlalu.

Begitupula disaat waliyullah tersebut merasa dilimpahi nikmat yang tiada tara, ia bersuka cita dengan sahabat-sahabatnya, akan tetapi sekelebat tulisan di cincin itu kembali terlihat olehnya ‘This Too, Shall Pass‘, akhirnya ia kembali bersikap tawadhu‘ kepada Allah dan tidak berlebihan dalam bersenang-senang, karena sesungguhnya kenikmatan itupun akan berlalu dan tidak ada kenikmatan yang kekal abadi di dunia ini.

“Bisa kamu tangkap maksud cerita ini nak?, seberapa lama kamu hidup di pesantren sesungguhnya itu tidak akan ada yang kekal, begitupula senyaman apapun kamu hidup di luar itupun tidak akan ada yang kekal, karena di dunia ini tidak ada yang kekal, kecuali ketidak kekalan itu sendiri. maka dari itu, nak ahmad, manfaatkanlah waktu sebentarmu untuk terus mengabdi kepada ilmu, mengabdi kepada guru, yang kesemuanya itu ada di pesantren” pesan Pak kiyai lukman diakhir cerita seraya tersenyum.

Aku tertegun mendengar kisah itu, begitu buruknya diriku jika ku anggap waktu sebagai penghalang kebahagiaanku. Saat diri sudah merasa puas hidup di pesantren itu akan menjadi bumerang dan membuat diri kita lemah. Aku mantapkan diri dengan niat sungguh-sungguh, memohon Ridha dari Allah aku ingin kembali mengaji, mengabdi pada ulama’, bangsa dan negara. Tidak peduli berapa tahun umurku, aku akan tetap menjadi Santri yang mengabdi.

Dengan hati mantap aku menjawab pertanyaan kiyai,

“Insyaallah pak kiyai, dengan restu pak kiyai, ahmad akan tetap menjadi santri,”

“Alhamdulillah,” ucap pak kiyai dan bapak bersamaan.

***

Oleh: A. Haris Sadullah ( Santri Ponpes Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang )

Editor: Nizar Zuhdi