Be-songo.or.id

Seminar Kepenulisan : Revitalisasi Budaya Literasi Pesantren di Era Digital

Dari kiri : Kharis Lusdiyanto , Ati Auliya (moderator) dan Nur ianah

Be-songo.or.id Pondok Pesantren Darul Falah (Dafa) Besongo adakan Seminar kepenulisan pada Selasa, (2/2/2021). Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan pasca liburan (pascalib) dan merupakan salah satu agenda besongo online.

Seminar kali ini diadakan dengan sistem pembelajaran blanded learning atau perpaduan online dan offline. Namun, hal tersebut tidak mengurangi semangat para santri untuk tetap mengikuti kegiatan sampai selesai.

Seminar kepenulisan tersebut bertemakan “Revitalisasi Kearifan Budaya Pesantren dalam Kepenulisan di Era Digital” dan mengundang dua pemateri, yakni Zaimudin atau akrab disebut Gus Zaim dan bu Nur Ianah, yang merupakan salah satu asatidzah atau guru pengajar di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo.

Kehidupan pesantren tak bisa lepas dengan kajian literatur keagamaan, baik berupa membaca maupun menulis. Proses menulis sangat berkaitan dengan membaca, karena dari membaca seseorang bisa memahami dan menarasikan sesuatu untuk dijadikan tulisan.

“Proses menulis bisa dimulai dengan membaca, lalu menarasikan dan membaca situasi.” Tutur Ianah.

Menulis bukan hanya sebagai bentuk aktualisasi diri, namun juga berkaitan dengan terapi psikologi. Lebih dari itu, menulis dapat meminimalisir sifat pelupa pada diri seseorang dan membuka pola pikir agar tidak stagnan.

“Karena pada dasarnya manusia hanya bisa menangkap tujuh informasi dalam 30 detik, sehingga untuk memori jangka panjang dapat diminimalisir dengan menulis” tambah Ianah.

Menulis menjadi salah satu bentuk mencintai diri sendiri, karena dengan menulis mampu memperbaiki keadaan psikologi juga mampu memperkuat tali silaturrahmi dengan pembacanya.

Dilansir dari pendapat Syekh Nawawi Al Bantani, Gus Zaim juga menjelaskan, “Menulis merupakan bagian dari ilmu nafi’ atau ilmu yang bermanfaat. Menulis juga bisa dikatakan shodaqoh ilmu pengetahuan karena mampu memberikan pengetahuan kepada orang lain.”

Pesantren di era digital, harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi. Dalam hal ini, pesantren harus menampilkan narasi kedamaian di media sosial. Sebab, wacana radikalisme di media sosial berjalan secara masif.

“Banyak web yang berada di urutan teratas namun mengajarkan radikalisme, nah disini peran santri dan pesantren sangat perlu.” Tutur Ianah.

Gus Zaim juga menambahkan, “Kita dapat meneladani kiprah kepenulisan dari cendekiawan muslim dan walisongo. Di samping tantangan aktif menulis dan lebih unggul dari situs situs yang menyimpang”

Zaimmuddin (Ahya Zaim) saat memberikan materi melalui Zoom meeting

Di akhir acara, Gus Zaim memberikan motivasi kepada para santri untuk menulis,

“Menulislah sampai tak bisa lagi menulis”. Ungkapan sederhana namun menyimpan makna yang mendalam.

Perlu semangat menulis dan mengaktifkan jiwa kritis. Gus Zaim menegaskan tak perlu malu tuk bertanya, sering membaca dan belajar dari kiprah ulama’ dan manuskrip sejarah tentang kepenulisan.

Reporter : Ati Auliyaur Rohmah