Be-songo.or.id

Shalawat Nabi adalah Cinta

Oleh Hj. Arikhah, M.Ag

Shalawat Nabi merupakan rangkaian lantunan rasa hormat yang mendalam kepada Nabi Muhammad SAW. Shalawat tidak lain adalah upaya menghadirkan Nabi dalam diri pribadi seseorang. Muatan do’a dan harapan yang terkandung dalam shalawat atas Nabi Muhammad SAW sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari rasa cinta yang mendalam kepada Nabi Muhammad SAW (mahabbah),  sebab melaksankan shalawat berarti mencintai Nabi Muhammad.

Cinta kepada Nabi berarti mendudukkan posisi Nabi yang agung pada posisi yang sebenarnya. Cinta kepada Nabi didasarkan atas keagungan dan keutamaannya atas semua ciptaan Allah SWT. Cinta kepada Nabi juga merupakan wujud terima kasih atas jasa dan perjuangannya mengantarkan diri pribadi kita kepada kehidupan iman dan Islam.

Ibn Qayyim al-Jawzi (w. 751 H) menyebutkan bahwa cinta kepada Nabi Muhammad SAW adalah sebuah cinta tingkat tinggi, yang berarti pula cinta kepada Allah SWT. Menurut al-Jawzi, cinta (mahabbah) itu ada empat macam, di antarnaya mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling cinta kepada Allah adalah yang paling kuat dengan cinta ini. Cinta kepada Nabi Muhammad adalah cinta yang mampu mengantarkan kepada derajat yang tinggi, mengingat hal ini adalah sesuatu yang amat dicintai Allah (Ibn Qayyim al-Jawzi,1987:225).

Uraian diatas menggambarkan bahwa cinta kepada Allah SWT adalah sebuah aktivitas ibadah yang utama. Maka orang yang sedang mencintai pasti mentaati yang dicintainya dan melaksanakan perintahnya dengan penuh kerelaan dan kebahagiaan. Sebagaimana qaidah al-mahbub huwa al-ma’bud wa al-maqsud.

Demikian juga dengan cinta kepada Nabi aMuhammad SAW, berarti mencintai Nabi Muhammad SAW dengan memposisian kedudukannya yang sangat tinggi. Nabi Muhammad Diyakini sebagai lampu cahaya yang menerangi kegelapan dunia. Mengutip pendapat Muqatil, seorang mufassir abad keenam hijriyah, Annemarie Schimmel menyatakan bahwa pemahaman Muhammad sebagai cahaya jagad raya ini didasarkan pada penafsiran atas ”ayat cahaya” yang terdapat dalam al-Qur’an surat An-Nur/24 : 35.

Lampu atau misbah inilah yang dianggap sebagai suatu lambang yang tepat bagi Muhammad. Melalui dia Cahaya Ilahi dapat menyinari dunia dan melalui dia umat manusia dituntun menuju sumber cahaya itu (Annemarie Schimmel, 1985:169) Kata-kata “tidak dari timur maupun barat” diambil sebagai petunjuk kepada sifat dan tugas Nabi Muhammad yang menyeluruh, yang tidak terbatas pada bangsa atau ras tertentu dan yang melampaui batasan-batasan ruang dan waktu. Karena itulah, Nabi Muhammad SAW sering mendapat julukan sebagai nur al-huda (cahaya petunjuk).

Selain itu, ada sebuah hadits qudsi yang menyatakan bahwa Allah SWT berfirman :“ لولك ما خلقت الافلاق  (Jika engkau tidak ada, Aku tidak akan menciptakan dunia ini).

Dan hadist qudsi lain yang berbunyi :

كنت كنزا  مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبي عرف

(Aku pada mulanya adalah kekayaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Aku menciptakan makhluk dan melalui Aku merekapun kenal kepada-Ku)

Hadist yang pertama menunjukkan betapa posisi Nabi Muhammad sangat penting  dalam kehidupan ini, yang dijadikan sandaran dan tujuan penciptaan alam semesta dan seisinya. Sementara hadits kedua menggambarkan bahwa dalam kesendirian-Nya yang ingin dikenal dan dicintai, Tuhan menciptakan Muhammad sebagai cermin pertama cahaya dan keindahanNya. Hadits terakhir ini sering ditafsirkan dengan arti bahwa Muhammad itu benar-benar merupakan cermin sempurna keindahan Ilahi, yang melalui keindahannya orang akan memahami Keindahan dan Kesempurnaan Ilahi.

Berdasarkan dasar-dasar diatas, muncul pandangan tentang alam semesta dan seisinya yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Nur Muhammad atau Haqiqah al-Muhammadiyyah. Menurut Abd al-Qadir Mahmud, teori ini memposisikan Nabi Muhammad SAW dalam dua esensi. Pertama, esensinya sebagai nur atau cahaya azali yang qadim dan menjadi sumber segala ilmu dan makrifat. Ia merupakan pelita dari nur ghaib. Segala nur kenabian memancar dari nurnya, wujudnya mendahului ’adam (ketiadaan), dan namanya mendahului qalam (alat tulis lawh makhfudz).

Kedua, Muhammad sebagai esensi baru, yang terbatas oleh ruang dan waktu. Dalam esensi kedua ini Muhammad berkedudukan sebagai putera Abdullah serta menjadi Nabi dan Rasul(Al Hallaj)

Kedua dimensi diatas mengindikasikan bahwa predikat nur muhammad merupakan tanda akan kesempurnaan manusia. Insan Kamil pada dasarnya disebabkan pada dirinya Tuhan telah ber-tajalli secara sempurna melalui haqiqah al-Muhammadiyyah. Hakikat Muhammad merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan Tuhan. Oleh karena itu, Ibn ’Arabi menyebutnya dengan akal pertama (al-’aql al-awwal) atau pena yang tinggi. (Chittick,1989:82.).

Melihat paparan diatas, mencintai Nabi SAW. Dengan senantiasa membaca shalawat kepadanya dapat menjadi wasilah menjadi hamba Allah yang dekat kepada Nabi SAW. Yang sekaligus dekat kepada Allah SWT. Seorang yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya akan mewajibkan dirinya berdzikir dengan hati dan lisan. Ia tidak akan lengah dari memohon ampun kepada-Nya. Demikian anggota tubuhnya, kesemuanya hanyalah berkhidmat kepada yang dicintainya, kemauanya keras untuk tidak lalai dan lengah dan lengah dalam usahanya mendapati ridha dari yang dicintai itu.

Maka, tanda bahwa seseorang itu mencintai adalah dengan menyetujui apa yang dimaui oleh yang dicintainya, dan mengikuti jalan yang dikehendakinya dalam segala urusan , yaitu mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala upaya, dan menjauhi segala sesuatu yang menjadi penghalang mencapai tujuanya.