Besongo.or.id – Masyarakat madani merupakan sebuah harapan dan cita–cita bangsa khususnya negara yang menganut demokrasi seperti Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat madani, hak asasi manusia (HAM) dijunjung tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan sifat hak yang mutlak dan universal. Selain itu, karakter masyarakat madani juga dapat terlihat dari sikap moderatnya dalam kehidupan.
Akhir-akhir ini, publik dihadapkan oleh kasus aturan pemakaian atribut seragam yang cenderung memaksa pada agama tertentu. Tepatnya pada kasus pemaksaan berjiblab untuk siswi nonmuslim di SMK 2 Padang.
Dari konflik tersebut, melahirkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yaitu Mendikbud, Mendagri dan Menag bernomor 02/KB/2O21, 025-199 tahun 2021 dan 219 tahun 2021 yang merupakan peraturan atas kebebasan pemakaian atribut peserta didik sesuai agamanya masing–masing. Sekolah tidak berhak memaksa dan melarang atribut seragam atas keagamaan tertentu.
Menyitir dari tanggapan Menteri Agama RI, Yaqut Cholil, mengatakan bahwa tujuan SKB untuk mendorong agar masing-masing pemeluk agama memahami ajaran-ajarannya bukan hanya sebatas simbolik tapi juga secara substansif.
Keputusan SKB 3 Menteri dianggap tepat diterapkan di Indonesia yang notabene negara majemuk. Mengingat kasus serupa juga pernah terjadi seperti di Bali pada tahun 2014. Siswi beragama Islam dilarang memakai jilbab. Jika hal tersebut tidak segera ditangani, kemungkinan kasus intoleransi akan berlanjut di masyarakat.
SKB 3 Menteri diperkuat dengan pedoman Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (3). Yaitu, pemerintah memberikan sistem pendidikan nasional atas dasar keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Pasal tersebut berkaitan dengan korelasi sikap moderat dalam pembentukan karakter masyarakat madani.
Di sisi lain, SKB 3 Menteri berpedoman pada pasal 55 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya. Berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya. Peserta didik mendapatkan kebebasan hak asasi, dalam hal ini dikhususkan pada konteks atribut berbau keagamaan seperti yang dibahas pada SKB.
Dalam pasal 3 ayat 4 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 45 tahun 2014 juga dijelaskan tentang pakaian seragam sekolah bagi peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah. Bahwa pakaian seragam diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk meyakinkan agamanya masing-masing.
Sekolah merupakan miniatur kerukunan secara intern-antarumat beragama. Lembaga pendidikan menanamkan nilai-nilai kerukunan, kedamaian dan keterbukaan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan yang moderat. Hal ini sebagai respon terhadap kemajemukan di tengah masyarakat.
Keberagaman, HAM dan Wacana Masyarakat Madani
Masyarakat madani atau civil society menjadi perbincangan hangat di masyarakat, baik dikaitkan dengan tradisi ataupun tidak. Secara history kata madani sendiri berasal dari Bahasa Arab merujuk pada kota Madinah, tempat Nabi membina masyarakat Islam semasa hidupnya.
Kehidupan masyarakat madani tidak bisa dilepaskan dari adanya hak asasi manusia. Menurut Mahfud MD, hak asasi merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia sebagai eksistensi dari makhluk ciptaan Tuhan yang bersifat fitri (kodrati) bukan merupakan pemberian manusia atau negara.
Dalam bingkai moderasi, hak asasi manusia menjadi bagian yang diutamakan. Achmad Anwar mengatakan masyarakat madani berkaitan dengan masyarakat yang memegang teguh nilai peradaban yang seimbang, yakni mengupayakan terpenuhinya hak asasi, terbangun kepercayaan dan relasi, tidak adanya diskriminasi, intoleransi di masyarakat.
Toleransi menjadi sikap yang hendak dikembangkan dalam masyarakat madani yakni dengan saling menghormati hak dan aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Nurcholish Majid memaparkan agama menjadi wadah pengajaran paham kemajemukan. Pemahaman tersebut diharapkan mampu mewujudkan adanya keterbukaan dan inklusivitas sikap antarumat beragama.
Dalam artikelnya, Achmad Anwar menjelaskan pluralitas agama merupakan sunatullah. Wacana masyarakat madani berupaya memberikan kebebasan hak dan saling menghormati satu sama lain. Fungsi agama dalam hal ini mengakomodasi kepentingan duniawi dan pesan Tuhan untuk umat manusia. Agama berperan sebagai dasar pengembangan dalam peradaban masyarakat madani.
Konflik di SMK 2 Padang seharusnya memberikan pelajaran terkait pentingnya memahami hak dan kebebasan beragama. Artinya, menghormati atribut keagamaan dan tidak memaksa peserta didik nonmuslim tersebut untuk memakai simbol keagamaan tertentu.
Al-Qur’an menjawab perbedaan di tengah masyarakat melalui Surah al-Hujurat ayat 13. M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menegaskan, dalam penciptaannya, semua manusia memiliki derajat kemanusiaan yang sama. Laki-laki dan perempuan diciptakan supaya saling berhubungan dan membantu serta memberi manfaat. Tidak mungkin terjadi hubungan yang serasi kalau tidak terpelihara hak persamaan dan kebebasan.
Lebih lanjut, Ahmad Nur Fuad menjelaskan terkait eksistensi manusia yang harus dilindungi. Bukan hanya itu, kamaslahatan dasar atau al-Kulliyat al-Khams yang menjiwai seluruh kawasan fikih berada dalam satu Ishmah (perlindungan hukum). Kemaslahatan dasar ini meliputi hak perlindungan terhadap akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia. (Mahmud dan Dhiya’, 2018)
Menuju Masyarakat Madani
Masyarakat madani merupakan wacana yang digagas oleh Indonesia sejak zaman order baru sebagai salah satu bentuk pelaksanaan sistem demokrasi. Namun, Indonesia lahir dan hidup dalam kemajemukan, dimana harus dipahami sebagai salah satu pertalian kebhinekaan.
Nurcholis Majid (1995) menjelaskan, pilihan terkait religious society yang dipilih Indonesia dalam demokrasi merupakan pilihan yang tepat untuk membentuk masyarakat madani dalam kemajemukan beragama.
Belajar dari studi kasus di SMK 2 Padang tersebut penting menjunjung nilai toleransi, dialog dan komunikasi antarumat yang berbeda agama dan latarbelakang sosial budayanya. Tujuannya untuk menguatkan persatuan di tengah kebhinekaan.
Dalam pluralisme perlu pendidikan multikultural dan pemahaman mengenai seberapa penting tenggang rasa. Karena pada dasarnya masyarakat madani sangat menjunjung hak asasi manusia dan nilai toleransi kepada sesama, sehingga dalam langkah menuju harapan tersebut perlu adanya kesadaran dari masyarakatnya untuk memulai dan menerapkan dalam kehidupan.
Upaya ini dilakukan oleh semua kalangan, dari pemerintah selaku pemangku kebijakan, institusi atau lembaga pendidikan, dan peserta didik atau mahasiswa. Sinergitas dari semua pihak untuk menguatkan nilai moderasi akan menciptakan Indonesia yang berperadaban (madani).
Penulis : Ati Auliyaur Rohmah
(Artikel tersebut terkait dengan acara Halaqah tempo hari)