Senin Malam (07/05), Pondok Darul Falah Besongo Semarang menyelenggarakan
Ijazahan Ratib al-Haddad di C13 (Ndalem). Dimulai setelah salat Maghrib,
setelah itu Abah Imam menyampaikan beberapa nasihat untuk para santri. Abah
mengingatkan bahwa kita perlu banyak untuk ingat kembali kepada hal-hal yang
selama ini kita patut syukuri. Kita punya banyak kesempatan berupa muda, sehat,
dan waktu luang.
“Sangat banyak pemberian keutamaan yang diberikan kepada kita,”
ujar Abah Imam.
Ada banyak susah yang kita rasakan, ada banyak kesulitan, ada banyak
keberatan, contohnya tugas-tugas yang menjadi beban pada diri kita seperti
tugas kampus, tugas pondok, kewajiban pondok, belum lagi tugas yang ada di
rumah. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa keberatan yang kita rasakan ini
masih sedikit dibandingkan dengan nikmat-Nya yang luar biasa besarnya.
“Hidup di pondok adalah memutar sebuah kebiasaan yang indah,” ujar
Abah Imam.
Salah satu nikmat yang harus disyukuri dibandingkan orang lain adalah hidup
di pondok. Dengan segala kesulitannya dan kerumitannya, pondok memberikan rasa
nyaman, aman, dan bahagia ketika sudah keluar dari pondok.
Abah berpesan, jangan pernah merasa bahwa di pondok itu dalam keadaan
terpaksa, sehingga aktivitas kita di pondok terasa berat. Jalani aktivitas di
pondok tersebut dengan alamiah, sehingga apapun kegiatannya bisa kita jalani
dengan happy.
Problemnya, bagaimana menjadikan rutinitas di pondok sebagai nikmat. Atau
setidaknya, menjadikan rutinitas di pondok sebagai bagian hidup.
Abah berpesan, jangan menjadikan beban hidup, jangan menjadikan sebagai
tugas berat, jangan ada keterpaksaan, dan jangan sampai sesuatu yang muncul gara-gara perintah kemudian
menyebabkan kamu tidak nyaman.
Selain nasihat Abah tentang menjalankan sunnah (tradisi) atau
kebiasaan di pondok dengan nikmat, Abah juga menerangkan perlunya wiridan di
dalam tradisi kepondokan. Kebiasaan santri itu mengaji dan wirid. Salah satu
wirid santri adalah membaca Ratib al-Haddad yang nantinya akan diijazahkan malam
ini (07/05). Diceritakan Mbah Heri Notoprojo, bahwa Ratibul Haddad ini
banyak menyimpan rahasia (sirr), karena setiap wirid itu memiliki
rahasianya masing-masing. Jangan sampai kita meninggalkan wirid dalam
seharipun. Misalnya, ketika liburan para santri yang pulang, tidak sedikit yang
bergeser dari rutinitas umum yang biasanya dilakukan. Santri yang biasanya
bangun sebelum jam 3 menjadi bangun jam 6, santri yang biasa melakukan salat
Dhuha menjadi jarang salat Dhuha, dan sebagainya. Abah mengingatkan agar santri
menjaga rutinitas yang sudah diterapkan di pondok di rumah, mulai dari bangun
tidur, istiqomah melaksanakan salat 5 waktu, juga melaksanakan salat-salat
sunnah seperti Dhuha, Tahajjud, Rawatib, membaca zikir-zikir dan sebagainya.
Hal yang menjadi sangat penting bagi santri adalah memiliki istiqomah
dalam mengamalkan wirid, supaya apa? Supaya membawa kita diberi banyak hidayah
bimbingan taufik oleh Allah dalam banyak urusan, dimudahkan menggapai
cita-cita, dan memenuhi harapan-harapan yang harus diwujudkan.
Malam ijazahan santri berjalan dengan khidmat, disertai cerita hidup oleh Mbah Heri Notoprojo. Beliau bercerita pengalaman mengamalkan ijazah Ratibul Haddad dari gurunya, bahwa Mbah Heri berdoa agar menjadi kaya sekampung. Akhirnya, setelah tempo tahun, Mbah Heri diberikan kekayaan yang paling banyak sekampung. Kemudian beliau terpikir, kalau saat itu meminta menjadi kaya sekabupaten, pasti terkabul juga ini.
Beliau mengamalkan ijazah gurunya tersebut secara kontinyu. Dari cerita beliau malam
itu, beliau berpesan agar nurut kata Abah Imam. Jangan lupa juga untuk selalu mendoakan Abah Imam, karena ikatan batin itu harus dibangun baik masih
hidup ataupun sudah meninggal. Terlebih dengan orang tua, ketika selesai salat
jangan lupa mendo’akannya.
Penulis: Sholahuddin (Santri Ponpes Dafa Besongo dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)
Editor: Ilham Mubarok