Be-songo.or.id

Ta’dzim Ciri Khas Orang Modern

Akhlak Santri, terutama dalam hal bersikap tawadu’ terhadap kiai di tengah-tengah pergolakan arus globalisai harus tetap dibudayakan. Dimasa sekarang berpikir tingkat tinggi itu perlu, boleh saja mengkritisi kiai dalam konteks pendidikan asal dilandasi dengan sikap tawadu’.

Institusi pendidikan agama tertua di Indonesia di mana dalam kehidupan pesantren terdapat kiai sebagai pendiri, pelaksana, dan guru. Ada pula santri yang mempelajari perihal akidah keislaman serta adanya hubungan santri dengan kiai yang tinggal dalam satu tempat sehingga membentuk suatu komunitas. Tradisi pesantern layaknya sikap hormat santri kepada kiai menjadi kultur budaya santri yang tetap bertahan meski di era modern ini. Kebiasan-kebiasan dalam lingkungan pesantren seperti itulah yang kiranya patut dilestarikan mengingat makin merebaknya budaya-budaya modern di zaman sekarang.

 Menurut pemaparan dari Anasom yang menjabat sebagai ketua Pusat Pengkajian Islam dan Budaya Jawa (PPIBJ), pesantren sebagai lembaga pendidikan yang patut dipertahankan dan diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman. “Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, yang harus dijadikan sebagai lembaga yang perlu kita pertahankan dan perbaiki sesuai dengan perkembangan zaman,” tuturnya.

Anasom menambahkan bahwa pesantren sebagai tempat kiai untuk mengabdi, men-transfer  ilmu serta menjalin komunikasi dengan masyarakat, begitu pula pada santrinya. Oleh sebab itu menurut penuturan dari Abu Hapsin selaku pendiri  lembaga studi sosial dan agama (eLSA) bahwa kedekatan yang terjalin antara kiai dengan santrinya merupakan kedekatan spiritual dan emosional. Kiai sebagai suri tauladan bagi para santrinya karena kesederhanaan dari kiai menjadikan adanya kedekatan spiritual pada santri untuk ikut serta berpijak pada kesederhanaan kiai.

Kehidupan pesantren di tengah-tengah pergolakan arus globalisasi tak menjadikan surutnya tradisi santri untuk tetap memuliakan dan mengangungkan kiainya. Berdasarkan penuturan dari Syamsul Ma’arif selaku kepala pusat penelitian dan penerbitan LP2M di UIN Walisongo ,memuliakan seorang kiai itu kata lain dari tadizm yang sering kali dikaji para santri lewat kitab-kitab kuning sebagai ciri khas model pendidikan pesantren. Bentuk ta’dzimnya santri merupakan serangkaian dari ketawaduan santri terhadap kiai.

Tidak berbeda jauh dengan apa yang diungkapkan Syamsul Ma’arif, Anasom juga berpendapat bahwa pada dasarnya santri memang mempunyai kewajiban untuk memuliakan kiai selain kewajibannya mencari ilmu juga perlu Menjalin kedekatan terhadap kiainya.“Bila mana kehidupan santri yang juga mahasiswa sekiranya dapat meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan kiainya”, pesan ketua Pengurus Cabang Nahdlotul Ulama (PCNU) kota Semarang.

Kritis Bertawadu

Pada ranah pendidikan, pesantren tidak menyurutkan daya kritis para santrinya terbukti dengan apa yang dituturkan Anasom bahwasannya dalam konteks keilmuan antara santri dan kiai diperbolehkan saling berdebat atau berbeda argumen hal tersebut justru dianjurkan. Akan tetapi, sikap yang digunakan kala mengkritisi kiai juga harus dilandasi dengan ketawadu’an itu. Abu Hapsin lelaki yang pernah menjabat sebagai ketua forum kerukunan umat beragama (FKUB) juga meceritakan bila santri-santri zaman dulu apabila dipukul mereka hanya diam menerima dengan ikhlas berbeda pada konteks pendidikan saat ini. menurut Abu Hapsin hal tersebut karena para santri zaman dulu men-dawam-kan bentuk keikhlasan. “Karena seorang kiai dengan penuh ikhlas mengajar akan diterima pula oleh santri dengan rasa ikhlas”, ujar ketua pengurus wilayah Nahdlotul Ulama Jawa Tengah.

Pernyataan serupa juga disampaikan lelaki kelahiran Grobogan, Syamsul Ma’arif  bahwa dalam hal berpikir mengenai pola pemikiran yang berbeda itu boleh-boleh saja namun dalam koridor kebudayaan bukan pada kerangka emosi utuk menghancurkan orang lain. Bentuk kritikan yang disampaikan kepada kiai sebagai bentuk kebaikan bukan sebaliknya hanya untuk menghancurkan dengan rasa kebencian. Pada nyatanya budaya yang ada di pesantren adalah membudayakan kebenaran dari tuhan dan tidak ada paksaan. “Berbeda itu boleh dan di dalam perbedaan itu diatur bagaimana menghormati sebuah perbedaan”, tandas lelaki yang gemar menulis ini.

Budaya Populer

Syamsul ma’arif  selaku dosen di Syariah UIN Walisongo juga menambahkan, dimasa sekarang yang mengedepankan kultur popular dimana semauanya terjamin dengan fasilitas  memadai, para pemuda terkadang terbawa oleh situasi yang ada. “Sudah difasilitasi, jadi untuk apa lagi harus besikap tadzim kepada guru” sindirannya. Paradigma para pemuda dalam cakupan pendidikan pemikiran yang keblabasen dikhawatirkan akan mengerus budaya-budaya. “Menghilangkan nalar kebudayaan yang ada”, jelasnya.

Memang tidak bisa dipungkiri kala ini reduksi tergerusnya budaya yang disampaikan Syamsul Ma’arif memang benar adanya. Budaya perang pemikiran diera globalisasi sebagai tanda bertemunya dua kebudayaan. Perihal inilah yang harus dipelajari santri bagaimana tetap bisa mengikuti perkembagan budaya namun tidak melupakan budaya kearifan lokalnya. Santri tetap memuliakan dan menghormati kiainya.Adanya dunia pesantren sejak abad 17-18 seperti yang ceritakan oleh Syamsul Ma’arif Indonesia sudah dimotori oleh para alim ulama layaknya para wali songo untuk senantiasa mengembleng santri agar bertahan bila diterpa kehidupan.

 Sedangkan berdirinya UIN Walisongo juga sebagai bentuk bahwa alim ulama, khususya tokoh-tokoh pesantren yang ingin membekali santrinya atau pemuda, generasi bangsa, sehingga berdirinya UIN Walisongo merupakan transformasi dari pesantren dimana para alim ulama sepuh berupaya untuk memberikan pengalaman pengetahuan yang cakupannya lebih luas. Meskipun pendidikan yang diterapkan dalam pola pengajaran di UIN walisongo adalah pengetahuan umum. Akan tetapi tidak meninggalkan pula pengajaran terkait keagamaan jadi masih menyematkan tradisi pesantren dalam pola pengajarannya.

 Jadi dalam hal ini tidak ada dikotomi ilmu, ilmu umum sebagai pengetahuan untuk menjembatani semakin merebaknya arus globalisasi yang dialami masyarakat sedangkan ilmu agama sebagai upaya untuk menjembatani kehidupan yang kekal nanti di akhirat. “Upaya kiai untuk santrinya agar bisa mengahadapi tantangan hidup diera sekarang  jadi bukan hanya memikirkan kematian. yang patut dimuliakan dan dihormati bukan untuk diacuhkan.” Pesannya.

*Pernah diterbitkan di Buletin Al Qalam Edisi III/Sepetember 2016*