Be-songo.or.id

Takdir Dibalik Rencana

Desember, 10 2013

Namaku Nafisatun Najwa orang biasa memanggilku Najwa. Aku lahir pada bulan Desember, dan sekarang aku duduk dibangku kelas 6 SD. Hari ini aku bahagia karena aku masih memiliki kedua orang tua yang sangat peduli padaku, selalu menuruti keinginanku, dan perhatian padaku. Bahkan aku berfikir akan menjadi manusia paling bahagia di dunia ini dengan hidup bersama mereka. Hari ini aku menjalani ujian try out untuk pertama kalinya yang bertepatan pada bulan, dimana aku dilahirkan, yakni Desember.

Seperti biasa, ibu selalu mengantarku ke sekolah dengan menggunakan taksi, dan kembali pulang tuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya. Ibu selalu kembali, untuk menjemputku sepulang sekolah. namun hari ini ibu terlambat, dan tak seperti biasanya ibu seperti ini. Lama kumenunggu ditempat biasa ibu menjemputku dan ibupun tak kunjung datang.

“Pak tolong agak cepat ya, soalnya ini udah terlambat menjemput putri saya” ujar ibu kepada sopir taksi dengan tergesa-gesa “Baik Bu” jawab pak sopir dengan mempercepat kemudinya.

Hingga tak sadar jika ada bis yang melaju didepannya lalu terjadilah tabrakan mobil taksi yang ditumpangi ibuku. Aku berlari dan menjerit histeris saat kulihat ibuku sudah tak bernyawa lagi, dan saat itu juga aku smelihat jenazah ibuku yang terpotong-potong didepan mataku sendiri.

Sejak ibuku meninggal ayah mengambil kendali tugas ibu, menjagaku, mengantar dan menjemputku sekolah karna sekolahku yang jauh dari rumah. Namun aku masih belum bisa melupakan ibu, semua barang-barang kesayangan ibu, ku simpan sebagai kenangan. Setelah beberapa bulan ibu pergi meninggalkan aku dan ayah, tiba-tiba disuatu malam ayah membawa seorang wanita dengan anak perempuannya kerumah. Kutaksir usia anak itu kira-kira masih umur 7 tahun.

“Najwa, dia adalah pengganti ibumu,” tiba-tiba ayah berkata seperti itu padaku. Entah kenapa aku tak bisa menerima dia sebagai ibuku karna ibuku hanya satu, yaitu ibu kandungku sendiri. Lalu aku pergi meninggalkan mereka kekamar. Aku menangis dalam kesepian dengan berteman sebuah boneka pemberian terakhir dari ibu sebagai kado dihari ulang tahunku.

Namun, sikap ibu baruku tak seburuk apa yang aku pikirkan. dia sangat baik padaku seakan menganggapku sebagai anak kandungnya, ayahku pun juga demikian. Dia tak mengurangi rasa sayangnya padaku meskipun aku mempunyai adik tiri. Bahkan adikku sangat dekat denganku, Aira, namanya.

 

Desember, 16 2014

Sekarang aku sudah memasuki SMP, dan aku ingin mewujudkan impian masa kecilku yaitu menjadi seorang dokter yang peduli pada semua orang. Kebetulan malam ini malam minggu Ayah mengajakku dan keluarga untuk Dinner disebuah restoran. Namun tiba-tiba ayah mengeluh sakit perut dan pusing. akhirnya makan malam itu pun ditunda dan saat itu juga kabar duka menghampiriku. Ayah pergi meninggalkanku untuk selamanya karna penyakit yang ia sembunyikan dari kita semua, agar kita tak terbebani dengan penyakit yang ia derita.

“Tuhan, kenapa kau ambil ayahku saat aku masih membutuhkan kasih sayangnyanya. Mengapa kau ambil ayah dan ibuku dibulan kelahiranku. Ada apa sebenarnya dengan bulan ini? Lirihku disela-sela rintihan tangisku.

Mulai sekarang aku berangkat sekolah dengan Aira, tanpa diantar lagi oleh ayah. Setelah ayah meninggal sifat ibu tiriku mulai berubah, ia sering marah-marah kepadaku dan adikku, bahkan ia juga menjual barang yang menjadi kenangan milik ibu kandungku, yang sengaja ibu berikan kepadaku.

“Ibu aku mohon jangan jual cincin itu” teriakku pada ibu dan mengejarnya yang hendak menjual cincin pemberian ibu kandungku padaku dulu, namun ibu tiriku tak menghiraukanku dia pergi begitu saja meninggalkanku dan menjual cincin tersebut. Aku masih menangis  tersedu-sedu diteras rumah, tidak kusangka ibu memperlakukanku seperti itu, dan hanya ada Aira saat ini yang peduli padaku, Aira juga yang menguatkanku, dia adik tiriku namun sifatnya tak sama seperti ibunya yang kini tiba-tiba berubah menjadi monster bagiku.

Dan setelah meninggalnya ayah, aku dan Aira berhenti sekolah dikarenakan tidak ada biaya untuk melanjutkan perjalanan pendidikan yang kami emban. Yang bisa kulakukan bersama Aira adalah menangis dan menangis, dalam rintihan hati yang butuh akan kehangatan kasih sayang yang sekarang tak pernah kami rasakan lagi.

Bahkan sampai kulupa bagaimana indahnya kehangatan yang dulu selalu menyelimuti hari indahku. Kini hilang perlahan meninggalkanku seorang diri, dan dengan kejamnya hanya menyisakan sebuah kenangan pahit yang kini kurindukan, akan hadirnya masa bahagia keluarga kecilku. Dan kini kami diperlakukan seakan menjadi pembantu dari ibu tiriku sendiri.

Desember, 01 2015

Sekarang tahun ke tiga desember setelah ibu kandungku pergi, dan tahun kedua setelah ayah pergi meninggalkanku. Dan juga bertambahnya usiaku yang ke lima belas. Dan sekarang kebiasaan ibu tiriku selalu pulang malam dalam keadaan mabuk dengan pakaiannya yang serba minim mebuatku tak tahan tuk melihatnya. Dan malam ini ia pulang bersama lelaki yang juga sedang mabuk. Aku sudah mencoba mengusirnya namun yang terjadi malah ibu tiriku mengusirku, padahal rumah ini adalah hak milikku. Namun ibu tiriku memaksa dan mendorongku dan Aira keluar rumah dan menguncinya dari dalam.

“Ya Allah, seberat inikah cobaan-Mu,” gumamku sambil menangis hingga tertidur diteras depan rumahku hingga subuh. Kebetulan saat itu ada seoang kakek tua renta lewat dan bertanya. “Nak, mengapa kalian bisa tertidur diluar sini,” tanya si kakek tua itu “kami terusir kek, padahal rumah ini adalah hak milikku” jawabku masih dengan isakan tangis dan juga menceritakan semua kejadian tentang ibu tiriku itu.

“Ya Allah sekejam itukah dunia ini padaku, salah apa aku sehingga semua orang bersikap manis diawal saja, apakah semua manusia sejahat itu.” Lagi-lagi air mata ini sebagai penghibur setiaku, tidakkah kering air mata ini yang selalu kucurahakan disetiap bulan desember ini? Dan kenapa semua terjadi pada bulan ini? Semisteri itukah bulan Desember. Ada apa dengan bulan Desember?

Setelah beberapa minggu menjadi babu kakek tua iti, akhirnya kakek tersebut menyuruhku dan Aira pergi kepasar untuk belanja beberapa sayuran untuk dimakan, aku menjadikan ini sebagai kesempatan untuk kabur dari kakek tersebut. Akhirnya aku mengajak Aira keluar dari gerbong rumah kakek itu dan tak kembali lagi kesana, aku dan Aira berjalan tak tau arah dan tujuan.

Layaknya seorang pengemis dengan baju yang compang-camping namun Aira masih tetap menemaniku, hingga akhirnya kami berdua duduk disebuah taman di kota ini, entah kota apa namanya yang penting aku dan Aira berjalan begitu saja, mengikuti arah jalan raya. Kemudian sepasang suami istri kebetulan lewat, lalu memberi kami sejumlah uang, yang mungkin mereka mengira kita seorang pengemis. Namun, aku mengembalikan uang tersebut dan membuat mereka heran. “Mengapa dikembalikan nak?” Tanya sang istri “Kami tak butuh uang, Bu, kami hanya butuh tempat tinggal,” ucapku memelas.

“Lalu dimana tempat asal kalian?” Tanya sang perempuan itu lagi, kemudian aku menceritakan cerita hidupku dari awal ibuku meninggal hingga aku bisa sampai ketempat ini. Sang perempuantersebut terharu dalam tangisnya ketika mendengar ceritaku. “kebetulan kami mempunyai pondok pesantren kecil, jika kalian mau kalian bisa tinggal disana,” kata sang suami menawarkan “tentu saja kami mau,” jawabku dengan penuh rasa syukur, dan merasa dunia seakan kembali baik kepadaku.

Akhirnya aku tinggal di pondok pesantren ini namanya ponpes Al-Inayah, disinilah aku dan Aira kembali mengecap rasanya pendidikan dan mewujudkan impian menjadi seorang dokter. Aku bersyukur bisa bertemu dengan orang sebaik mereka. Dan beginilah hidup, manusia hanya bisa merancang rencana untuk masa depannya namun semuanya Allah yang menakdirkannya. Seindah apapun rencana manusia, rencana Allah jauh lebih indah dari rencana manusia.

Ina Ade Irma Suryani | Penulis adalah santri Asrama B9 |

REKOMENDASI >