Dalam diri setiap manusia memiliki nafsu yang menguasai dirinya. Nafsu tersebut bisa menjadi pendorong manusia untuk melakukan hal baik ataupun buruk. Dengan nafsu manusia dapat menjalankan kehidupan di alam dunia ini secara wajar. Berbagai kebutuhan penting manusia seperti makan, minum, tidur, menikah dan lain sebagainya, pastinya melibatkan nafsu di dalamnya.
Namun demikian, nafsu memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk menyimpang. Karena itu, dalam Islam terkandung anjuran yang kuat untuk mengendalikan nafsu tersebut. Manusia memang tidak diperintahkan untuk memusnahkannya, namun nafsu harus dipegang dengan kuasa yang penuh agar selamat dari jebakan dan godaan-godaannya yang menjerumuskan.
Kita hanya memiliki dua pilihan, apakah kita menguasai nafsu atau justru dikuasai oleh nafsu tersebut.
“Ilmulah yang bisa mengalahkan nafsu. Syaikh Abdul Qodir bisa selamat dari nafsunya itu ya karna ilmunya. Nafsu itu ibarat kalau laki-laki itu tampan, kalau perempuan itu cantik. Jangan dikira kalau nafsu itu hanya mengajak pada perilaku yang jelek, terkadang nafsu juga mengajak kita untuk melakukan ibadah,” jelas Ustadz Tajuddin.
Hal itu disampaikan saat Ngaji Sanad kitab Minahus Saniyah yang bertempat di Masjid Roudlotul Jannah, Perumahan Bank Niaga, Ngaliyan, Kota Semarang, Sabtu (01/04/2023).
Jihad Melawan Hawa Nafsu
Usaha mengendalikan nafsu ini bukan pekerjaan yang mudah. Karakter nafsu yang tak tampak dan kerap kali membawa efek kenikmatan menjadikannya sebagai musuh paling sulit untuk diperangi. Rasulullah sendiri mengistilahkan ikhtiar pengendalian nafsu ini dengan “jihad”, yakni jihadun nafsi. Dalam kitab al-Minahus Saniyyah dijelaskan, perangi nafsumu dengan tiga cara antara lain;
Pertama, melalui lapar (puasa), yaitu meminimalisir konsumsi makan dan minum. Karena lapar merupakan salah satu elemen dasar terpenting untuk menuju jalan Allah. Nafsu ibarat kayu kering, sementara makanan adalah bahan bakarnya. Api yang menjalar pada kayu itu akan terus berkobar, jika bahan bakar disuplai tanpa batas. Untuk memadamkannya, perlu adanya strategi, yaitu salah satunya dengan melakukan ibadah puasa.
Abu Sulaiman ad-Daroni berkata, “Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar”. Maksud dari perkataan ini adalah: Allah memberikan ilmu dan kebijasanaan pada orang-orang yang berpuasa dan menjadikan kebodohan dan tindak kemaksiatan pada mereka yang merasa kenyang. Makan kenyang dan nafsu adalah dua komponen yang saling mendukung.
Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi menceritakan dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah, bahwa ketika pertama kali menciptakan nafsu, Allah bertanya, “Siapakah Aku?”. Nafsu membangkang dan malah balik bertanya, “Siapa pula aku ini?”. Allah SWT murka, kemudian memasukkan nafsu dalam lautan lapar sampai seribu tahun. Kemudian diangkat oleh Allah dan ditanya lagi, “Siapa Aku?”. Setelah dihajar dengan lapar barulah nafsu mengakui siapa dirinya dan Tuhannya. “Engkau adalah Tuhanku Yang Maha Agung dan aku hamba-Mu yang lemah”.
Secara luas, berpuasa juga bisa dimaknai dengan menahan diri dari berbagai keinginan-keinginan yang tidak terlalu penting. Meskipun halal, mencegah diri -misalnya- dari keinginan untuk membeli baju baru yang lebih mewah dari yang sudah ada termasuk cara kita untuk menguasai nafsu. Contoh lain, ketika kita menyisihkan harta untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkan ketimbang untuk membeli perhiasan dan sejenisnya. Sikap-sikap seperti ini dalam jangka panjang akan menjauhkan hati manusia dari sikap tamak, mau menang sendiri, egois dan lain sebagainya.
Kedua, perangi nafsumu dengan lapar dan tidak tidur malam yang berlebihan, serta melumpuhkan nafsu dengan amal-amal yang berat, karena untuk menghajarnya supaya tunduk kepadamu ketika kamu mengajaknya ke jalan yang diridhoi Allah. Karena sebelum dihajar dan dilatih, nafsu itu menyerupai binatang liar, dan seperti anak sapi yang telah dilatih untuk memutar penggilingan. Demikian itu dilakukan terus-menerus hingga nampak bahwa ia benar-benar tunduk dengan sempurna.
Ketiga, cara untuk menundukkan hawa nafsu adalah mengurangi tidur, karena tidur tidak memiliki faedah baik duniawi maupun ukhrawi, dan tidur merupakan saudaranya mati. Ini bukan berarti kita begadang dengan ragam kegiatan yang mubazir. Tidur, sebagaimana juga makanan, bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Mengurangi tidur berarti bergiat bangun untuk menunaikan shalat malam, memperbanyak dzikir serta bermunajat kepada Allah, dan kegiatan-kegiatan berat lainnya.
Syaikh Abu Hasan Al-Azzaz rahimahullah mengingatkan tiga hal, yaitu tidak makan kecuali ketika sangat lapar, tidak tidur kecuali sangat kantuk dan tidak berbicara kecuali jika sangat perlu.
Harta, makanan dan tidur adalah tiga hal yang sangat kita kenal dalam kehidupan kita sehari-hari. Saking familiarnya, terkadang kita tidak merasa ada masalah dengan ketiga hal tersebut. Bahkan, karena statusnya yang diperbolehkan, kita sering memanjakan keinginan kita untuk dipuaskan sehingga apa yang kita lakukan seperti menumpuk-numpuk kabut tebal yang berkumpul di hati kita. Lambat laun, hati kita menjadi gelap, sehingga lebih mudah dikuasai oleh nafsu buruk yang sudah dicegah.
Semoga kita selalu diberikan kekuatan untuk senantiasa bertaubat, terbuai dengan kenikmatan yang fana dan kelak bisa meraih kebahagiaan yang hakiki berjumpa dengan Allah SWT. Aminn.
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Fitriyani Miladiyah (Santriwati Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)