Berita

PSB

Tradisional VS Modern

shmily.book_Bo8nLuRHYO7

Oleh : Alfi Mazida

Judul                           : Berislam dengan Senyum

No. ISBN                    : 9786020244839

Penulis                         : Ali Abdullah

Penerbit                       : Elex Media Komputindo

Cetakan                       : Pertama

Jumlah Halaman          : 272

Literatur Islam Timur Tengah di abad ke 13 Masehi telah mengenal kisah Nasrudin Hoja, seorang sufi yang kadang membuat seisi dunia tertawa dengan tingkah konyolnya, sekaligus membawa kita menertawai isi dunia. Dalam satu guyonannya, terdapat beberapa lapis pemahaman. Maksudnya, guyonan yang disampaikannya tidak sekedar guyonan, namun juga dapat diambil hikmah dari kecerdikannya.

Tokoh Muhammad Ngajiyo dalam buku ‘Berislam dalam Senyum’, mengingatkan saya pada sosok Nasrudin Hoja tersebut. Mirip dengan Nasrudin, Ngajiyo menghadapi lingkungan yang berbau Islam dengan guyon segar menggelitik namun tak lepas dari realita yang ada. Misalnya, Ngajiyo mengistilahkan WIB bukan Waktu Indonesia Barat, tetapi Waktu Insya Allah Berubah, untuk menyindir kebiasaan yang sering mengulur-ulur waktu dalam kegiatan di pesantrennya (halaman 22-24).
Ada juga ketika Fauzan dan Lucky mengkritik nama Ngajiyo yang kesannya kampungan, lucu, dan aneh (halaman 2). Ngajiyo membalas dengan menyebut, nama Fauzan  (Arab) dan Lucky (Inggris) bukan merupakan ‘produk lokal’, alias impor. Setelah Fauzan dan Lucky mengejek agar Ngajiyo mengganti namanya, Ngajiyo membalas, lebih baik kedua temannya itu yang berganti nama, misal Bejo dan Untung agar lebih ‘bercita rasa lokal’.
Balasan ‘kebenaran mutlak’ versi Fauzan dan Lucky tentang nama tradisional Ngajiyo adalah ‘kebenaran mutlak’ lain versi Ngajiyo ‘kalau nama saja impor, bagaimana bisa menghargai produk lokal?’ (halaman 3). Lalu, apakah benar nama ‘impor’ akan membuat seseorang tidak menghargai produk lokal? Ataukah argumen ini hanya sebatas untuk membuat perdebatan tradisional vs modern ini dimenangkan oleh kubu tradisional?
Di samping itu, apakah kata ‘ngajiyo’ (ngaji + yo, yang berarti mari mengaji) adalah sepenuhnya produk lokal, ataukah di dalam kata tersebut terdapat unsur keterpengaruhan dari kata ‘aji’ dalam bahasa Sansekerta (India) juga menarik untuk digali.

Pada bagian lain, Ngajiyo dengan semangat tinggi kerap berhasil melakukan skak mat terhadap ‘lawan-lawannya’, para kaum puritan, atau ‘santri google’. Meskipun demikian, tidak selamanya skak mat tersebut diterima. Sebagai contoh, tentang bagian ‘Mendoakan Orang Yang Meninggal’ (halaman 64). Dikisahkan, Adin menyebut tahlilan sebagai bid’ah. karena menurut keyakinannya ‘doa yang sampai kepada orang yang sudah meninggal itu hanya dari anak-anaknya yang saleh dan salehah’. Untuk membalikkan konsep ini, Ngajiyo kemudian mendoakan ayah Adin agar masuk neraka (halaman 66). Ketika ditanya alasannya, Ngajiyo menyebu, “tempo hari kamu bilang kalau doa untuk orang yang sudah meninggal itu tidak sampai … Makanya doa saya tadi tidak akan sampai. Santai saja!” (halaman 66).
Adin dikisahkan tergagap oleh hal tersebut. Namun, dalam hal ini, kemenangan Ngajiyo terhadap Adin, terjadi karena Adin memakai perasaan, serangan itu menyentuh level personalnya. Padahal,  jika sudah menyangkut keyakinan seperti ini, Adin bisa saja bersikap cuek, tidak tergagap dan tidak khawatir ayahnya akan masuk neraka karena doa Ngajiyo.  Tidak semua orang bakal panik oleh sikap Ngajiyo yang seperti itu.

Berikutnya, ketika seseorang mengupas maksud sebuah guyonan dalam penjabaran yang lebih rinci, ada kecenderungan harapan dari pembaca, ia benar-benar ‘arif’. Maksudnya, benar-benar bijaksana. Sebagai contoh dalam bagian Jumlah Rakaat Salat Tarawih (halaman 120), penulis mengutip riwayat bahwa Rasulullah saw. saat Ramadan, salat sunah hingga kaki beliau bengkak. Kesimpulannya, kaki bengkak itu lebih dari 20 rakaat. ‘Salat 20 rakaat saja tidak membuat kaki kita bengkak, apalagi cuma delapan rakaat’. Andai keterangan penulis dihentikan sebelum kalimat terakhir, mungkin pendapatnya tidak akan dianggap memihak oleh sebagian kalangan. Namun, tentu hak penulis untuk memihak sesuatu yang diyakininya benar, sesuai dengan rangkaian logika yang disusun (kaki rasulullah bengkak karena banyak salat, tak mungkin itu terjadi karena jumlah rakaat yang sedikit). Di sisi lain, untuk kalangan tertentu, akan muncul pertanyaan dari susunan logika seperti ini, yaitu apakah kaki Rasulullah bengkak karena jumlah rakaat salat malam yang banyak, atau salat malam yang dilakukan setiap hari, atau kedua-duanya.

Terlepas dari guyonan renyah Muhammad Ngajiyo, buku ini dapat menyegarkan sekaligus mencerahkan pembaca karena ‘mendalami Islam’ tidak melulu dari hal-hal serba serius. Banyak ilmu yang dapat diambil dari serangkaian kisah Ngajiyo, terutama Islam yang (pada tataran tertentu) dicitrakan lebih toleran, sabar ‘menahan kebenarannya sendiri’ tanpa perlu ‘mencela kebenaran orang lain’ yang bisa saja salah. Buku ini juga dilengkapi cerita fiksi sesuai dengan keseharian kita. Sangat cocok dikonsumsi oleh berbagai kalangan, khususnya para santri milenial yang tengah menghadapi berbagai probelematika umat. Karena problematika yang terjadi saat ini semakin menyeluruh dan beragam.  Sebagai santri haruslah mampu menyikapinya dengan bijak. Di situlah isi buku ini mampu membaca berbagai persoalan beserta pemecahannya tanpa menimbulkan permasalahan baru. Jika dalam buku lain yang kebanyakan hanya mencantumkan kisah-kisahnya saja, maka buku ini hadir dengan beragam kisah dilengkapi dengan maksud dan hikmah yang dapat diambil dari kisah tersebut. Namun dalam buku ini terdapat beberapa kata yang tidak sesuai dengan penggunaan EYD.