Dalam Islam, profesi adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan dalam mencapainya dibutuhkan upaya yang serius untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdiannya kepada Allah SWt.
“Allah SWT lebih memuliakan orang awam yang berprofesi dibandingkan dengan orang yang mengaku ahli ibadah namun mengharap sedekah atau pemberian orang lain,” ujar Ahmad Tajuddin Arafat Asatidz Pondok Pesantren Darul Falah Besongo, Kota Semarang.
Hal itu disampaikan saat Ngaji Sanadan kitab Minahus Saniyah yang bertempat di Masjid Roudlotul Jannah, Perumahan Bank Niaga, Ngaliyan, Kota Semarang, Sabtu (01/01/2023).
Disampaikan, profesi bukan hanya sebutan bagi orang yang mencari uang. Namun, segala sesuatu yang memiliki amanah seperti santri, mahasiswa juga disebut sebagai profesi. Sejatinya rezeki sudah diatur oleh Allah SWT. Mencari rezeki adalah maqam untuk ikhtiyar agar tidak mengharap pemberian dari orang lain.
“Nabi Muhammad tidak pernah memerintahkan para sahabat untuk menganggur, bahkan ketika nabi akan hijrah ke Madinah di mana Ali bin Abi Thalib menggantikan tempat tidur Rasulullah. Alasan kenapa Ali diperintahkan menggantikan tempat tidur nabi bukan untuk tidur, tetapi untuk mengurusi mu`amalah yang ada di Kota Makkah,” ucap Tajuddin yang juga Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.
Dikatakan, dalam bekerja seseorang diharap untuk tidak menggantungkan dirinya pada pekerjaanya. Jadikanlah pekerjaan tersebut sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tetap bertasbih ketika bekerja.
” Jangan jadikan ibadah hanya sebatas shalat, zakat dan puasa saja . Karena selama masih dalam urusan pekerjaan yang disyariatkan, maka tetap bisa menjadi jalan menuju Allah,” ungkapnya.
Dijelaskan, nabi tidak pernah mengharapkan pemberian dari siapapun bahkan dalam kondisi yang membutuhkan sekalipun. Dalam sebuah cerita dikatakan, ketika nabi diberi hadiah kurma oleh orang Yahudi, nabi membalas pemberian tersebut dengan memberikan perhiasan kepada orang Yahudi tersebut. Hal ini dilakukan sebagai rasa terimakasih dan tidak berharapnya nabi pada pemberian orang lain.
”Orang yang makan dengan hasil usahanya sendiri, walaupun itu makruh lebih baik dari pada orang yang makan menggunakan agamanya,” jelasnya.
Lanjut beliau, maksud dari orang yang makan menggunakan agamanya, yaitu orang yang menjadikan agamanya untuk mendapat pemberian orang lain, seperti orang ’alim yang mengandalkan ceramahnya untuk mendapat upah.
”Agama harganya mahal. Jangan dibeli dengan hal receh (dunia),” tegasnya
Oleh: Risqi Karimatul Khilmi (Santriwati Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswi UIN Walisongo Semarang)