Be-songo.or.id

Ustadzah Dina Jelaskan Hakikat Puasa: Puasa Mendidik Kita Berbuat Ikhlas

Puasa merupakan salah satu dari Arkanul Islam Al Khamsah (Rukun Islam), di mana ia menempati posisi ke tiga setelah mengucapkan dua kalimat syahadat dan sholat lima waktu. Pada bulan Ramadhan ini kewajiban untuk berpuasa bagi komunitas muslim sudah tidak bisa digugat lagi, sebab eksistensi hukumnya sudah ada di dalam kitab suci Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:183)

Ustadzah Dina Arvi Arina menjelaskan, pada ayat ini sudah jelas bahwa kita diwajibkan untuk melakukan ibadah puasa.

“Oleh karenanya, mari kita tata hati, tata niat kita. Puasa kita niatkan dengan syarat ikhlas. Karena pada hakikatnya, puasa adalah mendidik kita untuk berbuat keikhlasan,” ucap beliau saat kultum Ramadhan yang bertempat di Masjid Roudlotul Jannah.

Disampaikan, puasa merupakan ibadah yang sangat rahasia (sirriyah). Dikatakan sirriyah karena yang mengetahui seseorang yang melakukan ibadah puasa atau tidak, adalah orang yang bersangkutan dan Allah SWT.

“Tidak bisa diketahui siapapun, kecuali dirinya dan Allah SWT,” tuturnya.

Dikatakan, Al ikhlas ruhul amal. Keikhlasan adalah rul dari amal perbuatan. Amal itu berupa jasadnya dan ikhlas itu ruhnya. Ketika terdapat amal yang tidak disertai keikhlasan, maka itu bagaikan jasad yang tidak terdapat ruhnya. Kalau dibuat perumpamaan, bagaikan boneka-boneka dan patung. Meskipun, ia bergerak, tetapi tidak ada ruhnya.

“Oleh karena itu, puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh dirinya dan Allah SWT,” jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut beliau, sebagaimana dalam hadis qudsi “Assaumu li wa ana ajzi bihi (Puasa itu hanya untukku, dan aku langsung yang akan memberikan balasan darinya)”.

Kemudian, beliau mengutip perkataan Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Sir al-Asrar bahwasanya puasa diklasifikasikan menjadi dua yaitu, puasa syari’ah dan puasa tariqah. Yang membedakan diantara dua puasa tersebut, terletak pada Al-Imsak, Al-Iftar dan ketika ar-Ru’yah.

“Dalam puasa syariat, yang dimaksud Al-Imsak adalah menahan lapar, minum dan bersenggama di siang hari. Sedangkan puasa tarekat itu menahan seluruh anggota tubuh, baik indra penglihatan, perasa, pendengaran dan penciuman,” paparnya.

Kemudian letak perbedaan yang kedua ada pada Al-Iftar. Al-Iftar pada puasa syariat, yaitu berbuka pada waktu maghrib. Akan tetapi, Al-Iftar pada puasa tarekat masuk ke surga Allah. Yang ketiga adalah rukyat. Rukyat pada puasa syariat adalah melihat hilal pada yaumal ‘id (hari raya). Sedangkan pada puasa tarekat adalah rukyat (melihat) Allah secara nyata.

“Oleh karena itu, semoga Allah memberikan kita kekuatan. Selalu menguatkan kita untuk terus beribadah di bulan Ramadhan ini, terus istiqamah, dengan keikhlasan,” pungkas beliau.

Oleh: Sholahuddin (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)