Besongo.or.id – Semarang, Jika ada orang yang tidak percaya walisongo dengan berpatokan bahwa beliau-beliau tidak memiliki karya berupa kitab, banyak para sahabat nabi bahkan beberapa imam mujtahid mutlak yang tidak nyata adanya karena beliau juga tidak memiliki kitab.
Maka yang bisa kita telusuri dari keberadaan walisongo adalah bentuk nyata akulturasi budaya yang diwariskan oleh walisongo. Karena sekian tradisi yang diwarisakan oleh walisongo itu termasuk bagian dari pola dakwah mereka.
Salah satu warisan walisongo adalah tradisi tumpengan yang merupakan kreasi dari Sunan Bonang (Syekh Maulana Makdum Ibrahim) ketika melihat prilaku masyarakat Jawa yang suka kumpul dan makan-makan.
Makannya dalam jawa muncul istilah ‘mangan ora mangan penting kumpul’ (baca: makan tidak makan yang penting kumpul). Karena kalau kumpul pasti makan. Lantas Sunan Bonang pun memasukkan syariat Islam dalam budaya tersebut, berupa bacaan kalimat-kalimat tayyibah.
Demikian ungkap Ustadz Ahmad Tajuddin Arafat, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang saat menjadi narasumber pada acara Talkshow bertajuk ‘Dakwah Walisongo dalam Menyikapi Budaya yang Bersebrangan dengan Islam’ Ahad (23/01/2022). Acara tersebut merupakan program dari Mahasiswa KKN DR 13 UIN Walisongo Semarang yang berkolaborasi dengan Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang.
Beliau melanjutkan, dalam menyikapi budaya ini kita mempunyai dua pilihan. Pertama, mengahpusnya karena berkaitan dengan kemungkaran. Atau kedua, mengadopsinya lalu mengkontruksi ulang budaya itu karena ada syariat yang bagus namun kurang sesuai.
“Selanjutnya ada Sunan Ngudung ayah dari Sunan Kudus yang melakukan hal sama. Beliau mengkontruksi ulang tradisi Jatilan dan memasukkan syariat Islam kedalamnya.
Sunan Ngudung melakukan petunjukkan ke desa-desa kemudian menyaratkan setiap orang yang hendak menonton untuk membaca dua kalimat syahadat (istilah: sekaten/syahadattain) sebagai tiket menonton pertunjukan tersebut, dan masyarakat berbondong untuk masuk Islam.
Akulturasi Ala Nabi
Jika kita pergi lebih jauh lagi dari zaman walisongo, Nabi juga sudah mengajarkan akulturasi budaya masyarakat Arab Jahiliyyah dulu dengan syariat Islam. salah satunya adalah budaya mahalnya mahar untuk menyunting wanita.
“Orang Arab dulu itu terkenal mahal dalam masalah pemberian mahar, dan itu yang dirasakan oleh Rasulullah dulu saat menikahi Siti Khadijah. Nabi menikahi Khadijah dengan mahar 20 ekor unta, yang katanya menurut beberapa riwayat adalah pemberian dari paman Nabi yang juga diberi oleh Khadijah sendiri,” terangnya.
Maka untuk melawan budaya itu, Nabi Muhamad memberlakukan mahar yang sangat rendah terhadap wanita. Bukan untuk merendahkan martabat wanita tapi agar memudahkan syarat menikah yang merupakan hal mulia.
“Yang sangat terkenal dengan masalah ini adalah kisah seorang perempuan yang dinikahkan Nabi dengan salah seorang sahabat bermaharkan bacaan surat dalam Qur’an,” tutur Beliau.
Karena dalam berdakwah, Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan. Terkait hal ini Allah telah menyinggung dalam Firman-Nya, QS. Al-An’am ayat 108 yang artinya “Janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….”
Reporter: Imam Mawardi