Be-songo.or.id

Workshop 1: Resolusi Konflik, Mendorong Tidak Berpikir “Hitam-Putih”

DSC00708Awal pekan pasca liburan (Senin, 24/2), mahasantri Pesantren Darul Falah Be-songo Ngaliyan,  Semarang disuguhi dengan kegiatan-kegiatan emas. Rencananya selama satu pekan, mahasantri akan diberi nutrisi tambahan guna me-refresh pikiran setelah sebelumnya menikmati liburan semester gasal kampus IAIN Walisongo. Salah satu kegiatan yang dinanti-nanti adalah “Workshop Resolusi Konflik” dengan narasumber dari Walisongo Mediation Centre (WMC), Bapak M. Tolkhah, M.A. Antusiasme mahasantri nampak jelas dari awal acara dibuka pada pukul 09.30 WIB oleh moderator, Nur I’anah, hingga acara ditutup pukul 16.00 WIB. Workshop yang berlangsung setelah acara pembukaan Pekan Training Pasca Liburan ini bertempat di gedung serba guna madrasah diniyah Roudlatul Jannah Ngaliyan .

Wajah berseri dan tegang sekaligus geregetan bercampur aduk menyimak penuturan narasumber. Disini, peserta diberi pemahaman tentang konflik dan bagaimana menyikapinya, dalam hal ini dengan cara mediasi. Mediasi, seperti disampaikan narasumber, adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan perselisihan. Pihak ketiga tersebut dinamakan mediator.

Selain cara penyampaian yang mudah dipahami, workshop ini juga dibumbui dengan permainan-permainan retorika materi.  “Kami diminta menyelamatkan balon, tapi malah kami saling menusuk balon milik grup lain dengan tusuk gigi yang sebelumnya (telah) diberikan oleh bapak pembicara. Tapi seru,” begitu kata salah satu peserta workshop yang enggan disebut namanya.

Sebelumnya, narasumber memberi masing-masing peserta satu balon dan satu tusuk gigi. Keduanya dipegang masing-masing balon di tangan kanan dan tusuk gigi di tangan kiri. Instruksi yang disampaikan narasumber pun jelas, “Selamatkan balon masing-masing!”. Namun yang terjadi, setiap peserta berusaha menyoblos balon peserta lain dengan tusuk gigi. Begitulah, “hitam dan putih” dalam game ini menunjukkan adanya pilihan sebagai stimulus dalam berpikir.

Jika tidak diberi tusuk gigi, maka greget tantangannya akan hambar. Tapi ketika di saat yang sama mereka punya benda lancip itu di sisi tangan lainnya, maka akan terbersit pemikiran bite them and save ours kepada musuh. Jika instruksi narasumber benar-benar dipahami dengan baik, maka yang harus dilakukan hanyalah menyelamatkan balon milik masing-masing, tidak perlu repot-repot menyoblos balon lain hingga meletus.

Menariknya lagi, ada ‘reka adegan’ dimana 3 diantara 43 peserta memerankan proses mediasi, terdiri dari pihak satu, pihak dua dan mediator sendiri. Harapannya, peserta semakin mudah memahami teori resolusi konflik. Berlatih think out of box dan juga mendobrak tantangan melalui peluang. Mendampingi manusia dengan me-reframe kata, mengolah bahasa menjadi bahasa yang positif hingga sampai pada titik perdamaian.

Seorang mediator sebenarnya tidak jauh berbeda dengan seorang ‘nabi’. Karena dari banyak teknik dan aplikasinya adalah berorientasi mendewasakan manusia agar dan dengan manusiawi. Namun jelas kata ‘nabi’ disini dimaknai secara sepihak. Wallahu a’lam..

(Laeela Fathiya)