Saat kita duduk di bangku Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah, mata kita sering menyaksikan gambar-gambar pahlawan nasional terpampang di dinding kelas: Pattimura, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, dan banyak lagi. Wajah-wajah itu seakan memancarkan aura perjuangan yang luar biasa. Buku yang diberikan guru pun menceritakan kisah juang mereka, dan kita memahaminya sebatas dari lembar-lembar lusuh itu.
Namun, mungkin waktu itu kita belum memahami makna di balik perjuangan para tokoh tersebut. Kita jarang bertanya: mengapa mereka terpajang di dinding sekolah? Apa yang membuat seseorang layak disebut pahlawan? Kita biasa mendengar guru-guru disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tetapi, tampaknya mereka sendiri enggan dijuluki demikian, karena sudah digaji dan mendapat tunjangan dari negara. Yang benar-benar bisa disebut “pahlawan tanpa tanda jasa” mungkin adalah para penyuprih ilmu yang mengajar dengan penuh pengabdian, tanpa pamrih dan tanpa imbalan, seperti para pengajar di majelis-majelis ilmu pesantren.
Penulis ini hanyalah satu dari sekian banyak penyuprih ilmu di lingkungan pesantren. Meski masih amatir, ingin mencoba menggambarkan siapa yang layak disebut “pahlawan” di kalangan santri. Secara umum, pahlawan berarti pejuang yang gagah berani dalam membela kebenaran. Bagi santri, pahlawan adalah mereka yang berjuang menghidupkan keilmuan pesantren untuk menjawab tantangan zaman, sambil menjaga tradisi luhur yang diwariskan para ulama, pranata ingkang mbiyen diuri-uri meniko.
Di sebuah daerah yang dahulu dikenal dengan sebutan “Katah Wet Asem ingkang Arang-arang” kini Semarang, terdapat suatu pesantren yang dihidupi oleh insan berperan ganda: mahasantri dan mahasiswa. Rasyid, seorang santri dengan pemikiran filosofis dan terbuka terhadap ilmu modern, berjalan menuju gazebo tua di tepi kolam pesantren. Ia membawa laptop yang sering digunakannya untuk menelaah ilmu-ilmu kontemporer, seperti Maqāṣid al-Syarī‘ah. Di gazebo itu, ia bertemu dengan Darwis, santri yang menanamkan nilai keilahian dalam dirinya, meneladani karakter kaum salaf. Darwis tengah memegang kitab kuning Alfiyah Ibnu Malik yang lusuh karena sering dijadikan pegangan hafalan. Keduanya bersahabat lama, namun tetap sering berdialektika.
Rasyid membuka percakapan, “Wahai Kang Dar, engkau menghabiskan begitu banyak waktu mengulang matan kitab klasik itu. Indah memang, tapi rasanya belum cukup menjawab persoalan zaman. Aku menuntut pembenaran yang teruji, apakah “barakah” dapat menghasilkan solusi yang nyata?”
Senyuman rendah hati Darwis terlihat sebelum menjawab, “Kang Rasyid, engkau memang menguasai Maqāṣid al-Syarī‘ah, tetapi jangan sampai mengabaikan Qalbumu. Engkau tahu tentang kebenaran, tetapi belum tentu hidup di dalam kebenaran itu, engkau tahu tentang kebenaran, tapi belum tentu hidup di dalam kebenaran itu. Aku khawatir, akalmu yang tajam justru mengambil alih kendali, hingga engkau lupa pada tawadhu’ dan keyakinan yang lahir dari sanad.”
Rasyid merenung sejenak tentang tanggapan yang diberikan oleh Darwis, karena ia tahu jawaban ini, bukan jawaban yang biasa. Ia sedikit menarik nafas dan menjawab dengan penuh keilmiahan seperti seorang filsuf yang gagah berani, “Kau terlalu takut dengan perubahan. Teks-teks itu bagai tirai yang menghalangimu melihat realitas. Aku menggunakan akal untuk melihat potensi akan kebenaran yang bisa diuji dan diamalkan, bukan sekadar mengulang warisan lama!”
Darwis tetap tenang, ia bahkan tidak ikut tersulut sedikitpun dalam menanggapi “Akalmu itu tajam, tapi bila digunakan seperti pisau bedah, kau bisa memotong ruh ilmu itu sendiri. Engkau sibuk merancang masa depan dengan peta yang sangat rinci, tetapi kehilangan arah tujuan sejatimu. Kami menjaga esensi nubuwwah yang telah diamalkan selama ribuan tahun, agar tidak direduksi hanyasebagai fenomena sosiologis semata.”
Percakapan itu berakhir manis. Rasyid berdiri sambil menutup laptopnya, berkata, “Baiklah, aku menghormati pandanganmu. Aku menyaksikan unsur kemanusiaan yang telah ditanggalkan dalam dirimu.” Darwis tersenyum ikhlas. Mereka berdua pergi kearah yang berbeda satu sama lain. Dalam hati, Rasyid berkata, “Apa yang aku tahu, dia melihatnya.” Dan Darwis pun berpikir hal serupa, “Apa yang aku lihat, dia mengetahuinya.”
Dari kisah sederhana ini, kita bisa memahami makna kepahlawanan santri masa kini: dari perang fisik menuju perang pengetahuan. Rasyid melambangkan kepahlawanan akal, keberanian berpikir dan berinovasi demi kemajuan peradaban. Sementara Darwis melambangkan kepahlawanan hati, perjalanan batiniah untuk mengisi kekeringan ruhnya.
Bagi santri, kisah ini bukan tentang siapa yang menang dalam debat, tapi tentang bagaimana dua kekuatan, akal dan hati saling melengkapi. Keberanian sejati Rasyid tampak ketika ia mau membuka diri terhadap dimensi spiritual yang tak terukur. Dan kepahlawanan Darwis terlihat dalam kesediaannya menyalurkan kebijaksanaan tradisi ke dalam wadah berpikir modern. Keduanya adalah dua sayap ilmu yang harus seimbang: satu menembus langit inovasi, satu mengakar di bumi spiritualitas. Hanya dengan harmoni inilah, keilmuan pesantren dapat terus hidup, melintasi zaman, dan membuktikan bahwa kebenaran sejati lahir dari perpaduan antara akal dan hati.
Wallāhu a‘lam bi as-ṣawāb.
Oleh: Ahda Fatan Zidni (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor : Rizka Febri Melindasari



















