Be-songo.or.id

Batik: Warisan Budaya Sebagai Media Dakwah Kultural

Setiap tanggal 2 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional. Penetapan ini berawal dari pengakuan dunia internasional ketika UNESCO pada 2 Oktober 2009 yang menetapkan batik sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity atau Warisan Budaya Takbenda. Sejak saat itu, batik tidak lagi sekadar kain bermotif indah, melainkan simbol identitas, kebanggaan, dan kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Peringatan Hari Batik Nasional mengingatkan kita bahwa batik adalah hasil kreativitas luhur yang kaya nilai dan makna di dalamnya. Dalam motif batik tersimpan filosofi kehidupan tentang perjalanan hidup, hubungan manusia dengan alam, serta harapan akan masa depan yang baik. Semua itu sejatinya sejalan dengan prinsip ajaran Islam. Oleh Karena itu, mengenakan batik bukan hanya sebagai bentuk kecintaan terhadap budaya bangsa, tetapi juga menjadi bagian dari dakwah kultural di Indonesia.

Kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “amba” yang berarti luas atau lebar dan “titik” yang merujuk pada proses penempatan titik-titik untuk menciptakan motif. Menurut Gittinger (1979) dalam bukunya Master Dyers to the World: Technique and Trade in Early Indian Dyed Cotton Textiles, batik merupakan proses pewarnaan kain dengan teknik perintang warna, dengan menggunakan malam untuk menutupi bagian-bagian tertentu dari kain sebelum pencelupan dilakukan.

Batik telah dikenal sejak masa kerajaan Jawa, seperti Mataram dan juga Majapahit. Pada awalnya, batik hanya dikenakan kalangan bangsawan, dengan motif tertentu yang memiliki aturan khusus. Seiring berjalannya waktu, batik berkembang menjadi busana rakyat yang dipakai dalam berbagai acara, baik adat, religi, maupun kehidupan sehari-hari.

Batik kemudian menyebar ke berbagai daerah di Nusantara, melahirkan motif khas sesuai lingkungan dan pandangan hidup masyarakatnya. Batik Pekalongan terkenal dengan warna cerah karena pengaruh budaya pesisir, batik Cirebon melahirkan motif Mega Mendung yang melambangkan awan pembawa hujan sebagai lambang kesuburan dan pemberi kehidupan, kemudian batik Yogyakarta dan Solo melahirkan motif klasik penuh wibawa (Jawa Premium). Semua ini menunjukkan bahwa batik bukan sekadar seni, melainkan bagian dari jati diri daerah dan bangsa Indonesia.

Di kalangan tokoh agama, khususnya para kiai dan ulama Nusantara, batik sudah lama menjadi busana pilihan dalam acara-acara resmi. Kehadiran seorang kiai dengan balutan batik bukan hanya menunjukkan kecintaan pada budaya lokal, tetapi juga menegaskan sikap bahwa Islam di Indonesia dapat berjalan berdampingan dengan tradisi.

Lebih jauh, batik juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah dakwah Walisongo. Para wali dikenal bijak dalam menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya. Mereka tidak menolak tradisi, melainkan menyucikan dan memberi makna Islami pada budaya yang ada. Dengan cara ini, Islam diterima dengan damai, tanpa pertentangan, dan akhirnya membentuk wajah khas Islam Nusantara yang ramah dan membumi.

Bagi para santri, Hari Batik Nasional menjadi momentum penting untuk menunjukkan bahwa Islam di Indonesia tidak tercerabut dari akar budaya. Pesantren kerap menjadikan batik sebagai busana dalam acara resmi, menegaskan bahwa santri adalah penjaga tradisi yang mampu menyelaraskan ajaran Islam dengan budaya Nusantara.

Generasi muda, terutama santri, perlu memaknai batik bukan hanya  sekadar sebagai pakaian, melainkan sebagai media dakwah kultural. Dengan bangga mengenakan batik, mereka sedang meneguhkan identitas Islam Nusantara yang ramah, penuh hikmah, dan bisa diterima di tengah masyarakat beragam. Bahkan ketika batik diperkenalkan ke dunia internasional, generasi muda ikut memperlihatkan wajah Islam Indonesia yang santun dan damai.

Hari Batik Nasional setiap 2 Oktober tidak hanya mengingatkan kita pada warisan budaya yang indah, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang pentingnya dakwah kultural. Batik adalah bukti nyata bahwa Islam mampu berjalan harmonis dengan budaya lokal, menjadikannya sarana syiar yang lembut, estetis, dan bermakna.

Dengan menjadikan batik sebagai busana bernilai dakwah, umat Islam Indonesia menunjukkan bahwa agama tidak terpisah dari budaya, melainkan hadir untuk menyucikan, memperindah, dan memberi makna. Inilah wajah Islam Nusantara yakni Islam yang membumi, berbudaya, dan rahmatan lil ‘alamin.

Oleh : Ahmad Dahlan ( Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)

Editor : Siti Aniqotussolehah

REKOMENDASI >