17 Agustus 2025 adalah hari istimewa, yang mana bangsa Indonesia genap berusia delapan puluh tahun sejak proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Delapan dekade adalah rentang waktu yang panjang, di mana kita bukan hanya mengenang keberhasilan para pejuang kemerdekaan, melainkan juga merenungkan arti kemerdekaan itu sendiri. Sebab, merdeka bukan sekadar terbebas dari penjajahan, tetapi bagaimana kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan itu bisa dirasakan nyata dalam kehidupan sehari-hari, dalam bentuk pendidikan yang adil, ekonomi yang berkeadilan, serta kesempatan hidup yang sama bagi setiap anak bangsa.
Perjalanan menuju kemerdekaan bukanlah jalan yang lurus dan mulus. Ia ditempa darah perjuangan, linang air mata, serta doa yang tulus dari hati para pejuang. Yang menarik, di balik catatan sejarah tentang proklamasi, ada peran besar dari para santri, kiai, dan ulama yang kerap tak banyak disebut. Di antara tokoh ulama yang memberi warna besar dalam perjuangan itu, salah satunya adalah KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari.
Kini, delapan puluh tahun setelah proklamasi, tugas itu berpindah ke pundak kita. Generasi muda, khususnya para santri, dipanggil untuk mengisi kemerdekaan dengan semangat yang sama yakni dengan pengabdian, keteguhan, dan keberanian. Bedanya, medan perjuangan kini telah berubah. Jika dulu musuh bernama penjajahan, hari ini tantangan itu hadir dalam rupa ketimpangan, kebodohan, korupsi, disinformasi, serta hilangnya akhlak dalam kehidupan sosial.
Teladan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari
Kita tentu mengenal KH. Ahmad Dahlan, sosok pendiri Muhammadiyah pada tahun 1912, yang perjuangannya tak hanya terbatas pada bidang keagamaan, tetapi juga menjadi bagian penting dalam ikhtiar menuju kemerdekaan bangsa. Di tengah penjajahan, beliau menanamkan kesadaran bahwa Islam harus hadir sebagai kekuatan pencerahan, membebaskan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.
Bersama masyarakat Yogyakarta perjuangan beliau begitu terasa. Sekolah-sekolah yang ia dirikan menjadi wadah melahirkan kader bangsa yang kelak ikut menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi perjuangan kemerdekaan. Dakwahnya yang menekankan pentingnya kepedulian sosial juga membangun kesadaran bahwa kemerdekaan tidak akan berarti tanpa keadilan bagi seluruh rakyat. Hingga kini, warisan perjuangan beliau masih kita rasakan melalui ribuan sekolah Muhammadiyah yang tersebar di seluruh penjuru negeri, menjadi bukti nyata bahwa jalan pendidikan adalah bagian dari jihad kemerdekaan.
Bersama dengan itu, KH. Hasyim Asy’ari tampil sebagai sosok ulama yang perannya begitu agung dalam momentum perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama, beliau tidak hanya mengajar kitab dan membina akhlak, tetapi juga menjadi pusat kekuatan sosial yang mampu membangkitkan semangat masyarakat untuk membela negeri dari jerat penjajah. Puncak peran itu tampak jelas saat beliau mengeluarkan seruan yang kini dikenal sebagai Resolusi Jihad. Seruan ini menggerakkan ribuan santri untuk bangkit mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan, memperlihatkan bagaimana pesantren bukan sekadar lembaga religius, melainkan juga basis kekuatan nasionalisme dan perlawanan.
Keputusan KH. Hasyim Asy’ari tidak lahir dalam ruang hampa, ia berakar pada tradisi pesantren yang menanamkan cinta tanah air sebagai bagian dari iman (Hubbul Wathan Minal Iman). Hingga hari ini, warisan KH. Hasyim Asy’ari mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk kemerdekaan juga harus dilanjutkan dalam bentuk pendidikan, pengabdian sosial dan kecintaan kepada NKRI. Dari situ kita belajar bahwa mempertahankan kemerdekaan bukan hanya urusan militer di masa lalu, tetapi juga tugas sehari-hari, mendidik generasi berakhlak, menjaga persaudaraan, dan bekerja demi kesejahteraan bersama.
Jejak Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari seakan menjadi dua sayap yang melengkapi perjalanan bangsa ini. Keduanya berbeda jalan organisasi, tetapi sama-sama menyalakan api kemerdekaan. Satu menguatkan lewat pendidikan modern, satu lagi melalui penguatan tradisi. Keduanya menunjukkan bahwa agama tidak bertentangan dengan kebangsaan, melainkan menjadi fondasi moral bagi lahirnya Indonesia merdeka. Hingga kini, jutaan kader Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama hadir di berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, bahkan pemerintahan. Mereka adalah penerus cita-cita mulia dari sanubari suci seorang Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari.
Tugas Generasi Muda
Perjuangan meraih kemerdekaan adalah jalan panjang yang penuh pengorbanan dan penuh harap, ia ditempa darah perjuangan, air mata, serta doa yang mengalir dari hati para pahlawan. Delapan puluh tahun kemudian, kita sebagai generasi muda perlu bertanya: apa makna kemerdekaan bagi kita hari ini? Kemerdekaan bukan hanya simbol perayaan tahunan, tetapi juga amanah yang harus dijaga dan dihidupkan.
Di tangan generasi muda, khususnya para santri, kemerdekaan harus dimaknai sebagai ruang untuk berkarya, menebar manfaat, dan menegakkan nilai-nilai kebenaran. Senjata kita kini bukan bambu runcing, melainkan ilmu pengetahuan, akhlak, kreativitas, dan ketangguhan menghadapi perubahan zaman. Dari pesantren, kampus, hingga ruang digital, para pemuda dituntut untuk menyalakan cahaya pengetahuan, melawan kebodohan, ketidakadilan, dan segala bentuk penjajahan baru yang datang dalam rupa kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakjujuran.
Refleksi ini membawa kita pada kesadaran bahwa kemerdekaan sejati tidak pernah selesai. Ia selalu menuntut keberanian generasi penerus untuk bergerak. Jika santri dahulu menjadi garda terdepan dalam melawan penjajah, maka santri hari kini harus menjadi garda terdepan dalam melawan kebodohan, menjaga moralitas bangsa, serta memperjuangkan keadilan sosial. Dengan ilmu yang luas, hati yang ikhlas, dan karya yang nyata, generasi muda akan memastikan bahwa kemerdekaan benar-benar menjadi jalan menuju Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.
Delapan puluh tahun kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan panggilan untuk terus menjaga dan menghidupinya. Warisan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa cinta tanah air dan agama berjalan seiring, menyalakan api ilmu, akhlak, dan pengabdian. Kini, tugas itu berpindah ke pundak generasi muda melawan kebodohan dengan ilmu, ketidakadilan dengan keberanian, dan keterbelakangan dengan karya. Sebab, kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan, tetapi terwujud ketika setiap anak bangsa merasakan keadilan, persaudaraan, dan kesejahteraan. Mari, sebagai generasi penerus, kita rawat kemerdekaan ini dengan ilmu, iman, dan aksi nyata. Karena masa depan Indonesia ada di tangan kita para pemuda yang berani bermimpi dan berkarya.
Amanah di Pundak Kita
Kini giliran kita memikul amanah itu,
dengan pena yang menulis, tangan yang bekerja,
dan hati yang tak lupa akan do’a.
Melawan kebodohan dengan belajar,
menghapus ketidakadilan dengan memberi,
menjaga persatuan dengan saling menghormati.
Merdeka bukan hanya sejarah yang tersimpan di lembaran buku,
melainkan rumah yang harus kita rawat bersama.
Jika anak-anak kita tertawa dan cukup makan,
jika ilmu sampai ke pelosok dan kejujuran menang,
maka kemerdekaan ini telah hidup benar dan nyata.
Dirgahayu Indonesiaku,
terima kasih telah mengizinkan kami bekerja dan bersujud,
di tanahmu yang subur, menegakkan cita-cita di bawah langitmu yang biru, dan merajut persaudaraan di pelukan merah putihmu.
Oleh : Ahmad Dahlan (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor : Rizka Febri Melindasari



















