(Ditulis oleh Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag)
Pena yang sering diterjemahkan dari kata bahasa Arab, al-qalam merupakan sebuah kata yang penting dan ajaib dalam khazanah Islam. Al-Qur‟an menyebut kata qalam dan bentuk jamaknya dalam beberapa tempat, diantarnya surat al-Alaq/96: 4 dan surat al-Qalam/68: 1, Ali Imran/3: 44, Luqman/31: 27. Qalam dapat diartikan sebagai pena dan hasilnya berupa “tulisan” yang dapat dipergunakan manusia. Allah sebenarnya mengajarkan manusia dengan berbagai media. Hanya saja, saat media yang dipahami manusia hanyalah qalam dalam makna “pena”. Tentu, Allah bisa saja mengajarkan manusia secara langsung tanpa perantara apapun untuk manusia agar paham dan mengerti.
Ada beberapa karakteristik al-Qalam, diantaranya, kedua ayat tersebut termasuk sebagai ayat-ayat pertama kali turun yang uniknya diturunkan secara berurutan. Ia juga menjadi salah satu nama dalam al-Qur‟an (al-Qalam/68) dan Allah bersumpah dengan al-Qalam. Ia juga dijadi-kan perantara Tuhan dalam mengajarkan manusia dari apa saja yang tidak diketahuinya. Qalam juga dipandang se-bagai makhluk yang memiliki perkerjaan menulis.
Dalam sebuah riwayat yang me-nyebutkan bahwa pena adalah entitas yang pertama kali diciptakan Tuhan Sang Maha Pencipta di jagad raya ini. “Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah yaitu al-Qalam. Kemudian Allah berfirman kepadanya: Tulislah! lalu al-Qalam berkata: Wahai Tuhanku, apa yang aku tu-lis? Allah berfirman: Tulislah taqdir segala sesuatu sampai datangnya hari kiamat” (HR. Abu Dawud/4700, Sunan Abi Dawud/3933, al-Tirmidzi/2155, 3319).
إن أوَّلَ ها خلق اللهُ تعالى القلنُ فقال له: اكتة! فقال: رب وهاذا أكتة ؟ قال: اكتة هقادير كل شىء حتى تقوم الساعة
Hadis yang diriwayatkan dari jalur „Ubadah bin al-Shamit RA diatas menggambarkan betapa pena menjadi salah satu dari al-sabiqun al-awwalun yang menjadi cikal ba-kal jagat raya ini berserta isinya. Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Al-Fawâid juga men-jelaskan bahwa makhluk pertama kali yang diciptakan oleh Allah adalah al-qalam. Setelah al-qalam Allah menuntaskan seluruh karya-Nya dengan menciptakan manusia yang bernama Adam.
Relasi yang pertama (al-qalam) dan yang terakhir (Nabi Adam) mengisyaratkan adanya sinergi antara pena, yang menjadi simbol ilmu pengetahuan dan manusia yang menjadi khalifah di muka bumi yang harus dibekali dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, wajar apabila para malaikat diperintahkan bersujud kepada Adam yang menguasai ilmu pengetahuan. Nilai keunggulan Adam sesungguhnya karena ilmu penge-tahuan yang berasal dari bahasa, yaitu kosa kata atau nama-nama yang dapat diperoleh dari kapasitas membaca dan menulis (QS. al-Baqarah/2: 31)
Kemakmuran jagad raya ini, amat bergantung kepada keseimbangan antara manusia dan ilmu pengetahuan. Sebagai khalifah di muka bumi ini manusia harus berbekal diri dengan ilmu pengetahuan. Untuk menjadi sukses dan hidup penuh berkah tidak ada jalan lain kecuali dengan menuntut ilmu dimanapun dan kapanpun manuasia berada. Ketika Allah memper-lihatkan Nabi Adam di hadapan para ma-laikat dan iblis, tidak lain karena ingin menunjukkan betapa manusia adalah ma-khluk yang sempurna (ahsan taqwîm). Tidak saja dari aspek kesempurnaan fisik, akan tetapi juga kesempurnaan ilmu ilmu yang dimilikinya.
Secara tegas, Islam mendorong ummatnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan hingga ke negeri Cina. Perintah ini ditegaskan dalam hadis yang masyhur ini relevan dengan situasi Jazirah Arab abad tujuh Masehi dalam rangka mengejar kemajuan peradaban Cina pada saat itu. Sebagaimana diketahui, Cina waktu itu sudah amat maju dengan peradapan yang komprehensif. Meski jauh jaraknya, Nabi menyatakan, carilah ilmu kesana. Itu semua untuk kemuliaan sebuah nilai ilmu, untuk kemajuan masa depan yang bergantung pada penguasaan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks masa kini, perintah membaca dan menulis mempunyai makna membaca, membaca fenomena alam, fe-nomena sosial beserta dinamikanya. Membaca dan membaca dilanjutkan dnegan me-mahami dan menulisnya untuk dikem-bangkan menjadi rangkaian ilmu yang terus menerus berkelanjutan dan tak pernah ber-henti. Progresifitas dan semangat inilah yang menjadi ciri khas sebuah ilmu pengetahuan yang harus dicapai oleh siapa saja yang menghamba pada Tuhan, Sang Pen-guasa, Sang Maha Mengatahui, Sang Punya Ilmu, Allah SWT.
Alam, lingkungan dan masyarakat semestinya menjadi kampus terbuka untuk belajar. Ibaratnya seperti pesantren yang siap menerima segala macam santri yang siap menuntut ilmu dan mengharapkan berkah kiyai dan ridla Ilahi. Cara pandang inilah yang akan mengantarkan para pencari ilmu mendapatkan leluasa mengem-bangkannya menjadi model membangun masyarakat yang sehat, damai dan berkeadilan. Dengan semangat pena, semangat belajar yang tidak pernah pupus, akan me-lahirkan insan-insan beragama dengan kualitas yang handal dalam membangun kemakmuran dan kedamaian di muka bumi.
*Penah diterbitkan di Buletin Al Qalam Edisi I/ Februari 2015*