Be-songo.or.id

Caper Boleh, Asal Pada Tempatnya!

Mencari perhatian atau istilah gaulnya “caper” merupakan hal yang begitu dekat dengan kehidupan sekarang ini. Hal itu dapat kita saksikan baik secara langsung maupun melalui media sosial. Orang caper, biasanya disebabkan lantaran dirinya ingin menjadi fokus perhatian dan berharap semua orang tahu bahwa dirinya itu unik, hebat dan berbeda dari yang lainnya. Melihat sikap demikian berada didekat kita, seringkali membuat jengkel dan berusaha menjauh dari orang tersebut. Medis menjelaskan bahwa haus akan perhatian dapat berkaitan dengan penyakit mental yang disebut dengan gangguan kepribadian histrionik. Gangguan ini menyebabkan penderitanya berkebutuhan tinggi terhadap perhatian orang lain, sehingga tak jarang penderita berani melakukan apa saja demi mencapai keinginannya tersebut. Ciri penderita gangguan ini diantaranya sering cemas dengan penampilannya dan selalu  mendramatisir segala yang dikatakannya (Halodoc, n.d.). Mengenai hal ini, lalu bagaimana agama memandang tumbuhnya sikap ini? Apakah sikap ini buruk secara mutlak atau masih ada celah diantaranya?

Melihat dari asal katanya, caper atau cari perhatian dalam bahasa Arab disebut juga sebagai at-tamalluq. Abu Sa’id Al-Khadimi dalam kitabnya Bariqah Mahmudiyyah fi Syarhi Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah fi Sirah Ahmadiyah, mendeskripsikan at-tamalluq sebagai “Bertambahnya waktu kunjung seseorang pada orang lain lebih dari biasanya dengan dibarengi sikap melas diri yang berlebihan, dengan tujuan mencapai apa yang ia mau”. Dari pengertian tersebut tergambar bahwa sikap caper merupakan salah satu perilaku yang tidak terpuji dan sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan. Sebab, dengan berprilaku demikian seseorang justru akan kesulitan menemukan jati dirinya lantaran hanya berpaku pada apa yang mereka sukai saja.

Mengenai sikap caper ini, dalam pengajian kitab Minhajul Muta’allim Pesantren Besongo (Selasa 8/7/25), Ustaz Badruzzaman menjelaskan bahwa caper atau at-tamalluq merupakan suatu perbuatan madzmum atau jelek. Namun tidak secara mutlak, yakni terkhusus dalam hal menuntut ilmu caper justru diperbolehkan. Hal ini sebagaimana ungkapan Imam Ghazali:

والتملق مذموم إلا في طلب العلم، فإنه ينبغي أن يتملق لأستاذه، وشركائه، ليستفيد منهم

Artinya: “Caper merupakan perbuatan yang buruk, kecuali dalam hal menuntut ilmu. Maka diperbolehkan atas kita untuk mencari perhatian lebih pada kiyai dan ustaz-ustaznya dengan harapan mendapat keberkahan atau manfaat dari mereka”.

Maksud dari mencari perhatian lebih disini bukan berarti sikap menjilat atau pragmatis, melainkan sebagai wujud rasa ingin selalu dekat dengan para ahli ilmu serta mendalami ilmu yang dimiliki ustadz atau kiyainya secara intensif. Kedekatan ini lahir dari bentuk ketulusan dan rasa hormat seorang santri kepada gurunya, sebagai bentuk ekspresi pengharapan akan keberkahan dan kemanfaatan ilmu yang dapat diperoleh  dari ustadz ataupun kiyainya.

Ungkapan tersebut secara tidak langsung juga memberi penekanan bahwa menuntut ilmu merupakan hal yang sangat utama bagi seorang muslim. Saking utamanya bahkan, sikap yang dalam segala aspeknya telah dinilai buruk pun, dalam hal menuntut ilmu justru diperbolehkan dan dianjurkan. Ini (juga) selaras dengan hadis Nabi Saw, yang diriwayatkan sahabat Muadz R.A, dalam kitab Syu’abul Iman, karangan Imam Baihaqi

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ليس من خلق المؤمن التملق ولا الحسد الا في طلب العلم

Artinya: “Tidak ada bagian dari akhlak orang mukmin, caper dan iri/dengki, kecuali dalam hal menuntut ilmu”.

Sebagaimana dikatakan Imam Baihaqi, bahwa hadis diatas termasuk dalam kategori hadis dhaif. Namun, sebagaimana kesepakatan para ulama hadis dan lainnya bahwa penggunaan hadis dhaif ‘boleh’ dijadikan pedoman jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal, bukan dalam masalah hukum, tafsir ayat al-Qur’an dan akidah.

Dalam kelanjutan pengajiannya, Ustaz Badruzzaman kemudian menutup pembahasan dengan menyampaikan satu maqolah dari sahabat Abu Bakar R.A, yang artinya “Rasa lemah lembut merupakan hiasan dari ilmu, dan merendah diri (merasa belum tahu banyak tentang sesuatu) merupakan hiasan dari seorang pembelajar.”

Oleh : Muhammad Nurul Amin (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)

Editor : Siti Aniqotussolehah

REKOMENDASI >