Kitab Minhajul Muta’allim karya Imam Al-Ghazali adalah salah satu rujukan penting dalam dunia pendidikan Islam, khususnya dalam pembentukan karakter dan adab santri. Kitab ini memuat nilai-nilai dasar tentang bagaimana seharusnya seorang penuntut ilmu memperlakukan ilmu, guru, dan proses belajar secara keseluruhan. Disusun dalam tiga bab utama dan 82 bagian, Minhajul Muta’allim membahas tentang kedudukan ilmu, peran guru sebagai pembimbing, serta kewajiban murid dalam proses menuntut ilmu.
Dalam kesempatan kajian kitab ini di Pesantren Besongo (Selasa, 1/7), Ustaz Badruz menjelaskan bahwa seorang santri memiliki beberapa kewajiban mendasar yang tidak boleh diabaikan. Di antaranya adalah taat kepada guru dan pengasuh selama tidak bertentangan dengan syariat, menjalankan perintah guru dengan penuh tanggung jawab, serta menghormati ilmu dan para ahli ilmu. Tiga poin ini menjadi fondasi yang harus dijaga agar ilmu yang dipelajari benar-benar memberikan manfaat dan keberkahan.
Imam Al-Ghazali dalam kitab ini menekankan bahwa keberkahan ilmu tergantung pada kondisi hati dan adab santri terhadap gurunya. Oleh karena itu, pembentukan adab menjadi hal yang sangat utama dalam proses belajar di pesantren atau institusi keilmuan Islam. Seorang santri harus menempatkan ilmunya sebagai sesuatu yang mulia, dan gurunya sebagai perantara yang harus dihormati dengan hati dan tindakan.
Adab Santri sebagai Jalan Menuju Keberkahan Ilmu
Adab merupakan pintu masuk utama dalam dunia ilmu. Dalam Minhajul Muta’allim, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa keberhasilan seorang santri dalam menuntut ilmu tidak hanya bergantung pada kecerdasan intelektual, tetapi juga pada ketulusan hati dan sikap hormat kepada ilmu serta guru. Penghormatan kepada guru dalam keterangan ustaz Badruz, muncul dari dalam hati, bukan sekadar formalitas atau bahkan keterpaksaan. Hal ini karena ilmu yang disampaikan dengan keberkahan hanya dapat ditangkap oleh hati yang bersih dan penuh rasa hormat.
Imam al-Ghazali kemudian mengutip Syaikh Al-Halawani yang menegaskan bahwa dirinya memeroleh ilmu dengan lantaran rasa hormat kepada gurunya. Sebab, al-hurmat lebih tinggi nilainya daripada ketaatan. Seseorang yang hormat kepada gurunya akan berinisiatif melakukan kebaikan tanpa menunggu titah (dhawuh), sedangkan ketaatan hanya akan muncul setelah ada perintah. Kedua sikap ini—hormat dan taat—harus menyatu dalam diri seorang santri, karena keduanya saling melengkapi.
Menariknya, ketika Iskandar Zulkarnain ditanya mengenai kecondongannya lebih hormat kepada gurunya, ia kemudian menjawab, “orangtua kami menjadi sebab lahirnya diriku dari langit ke muka bumi sementara guruku yang mengangkatku dari bumi menuju langit (karena memiliki ilmu).
Guru sebagai Orang Tua Ideologis Santri
Dalam pandangan Islam, guru memiliki posisi yang sangat istimewa. Tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai orang tua ideologis yang membentuk arah hidup dan pemikiran muridnya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “khairul abā’ man ‘allamaka, sebaik-baiknya orang tua adalah yang mengajarkan (ilmu) kepada kalian.” Hadis ini menunjukkan bahwa guru memiliki kedudukan yang setara, bahkan dalam kondisi tertentu, lebih utama dibanding orang tua biologis dalam konteks ilmu dan akhlak.
Sebagian ulama, dalam kitab Imam al-Ghazali tersebut, membagi orang tua ke dalam tiga jenis: yang melahirkan kita, yang mengasuh kita, dan yang mengajarkan kita. Dari ketiganya, guru—yang mengajarkan ilmu dan menanamkan nilai hidup—dianggap sebagai orang tua yang menghidupkan secara spiritual dan intelektual. Jika orang tua biologis menjadi sebab kehidupan duniawi, maka guru menjadi sebab kehidupan abadi karena ilmu yang diajarkannya akan terus bermanfaat sepanjang masa.
Seorang santri dituntut untuk tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga berkhidmat, mendoakan, dan menjalin hubungan batin yang kuat. Kebahagiaan guru terletak pada kerendahan hati santrinya dan ketulusan dalam berkhidmat. Hubungan yang dibangun di atas rasa hormat ini akan menjadi wasilah datangnya keberkahan dan pertolongan Allah dalam menuntut ilmu.
Oleh karena itu, kewajiban santri untuk menghormati dan menaati guru tidak dapat ditawar. Inilah adab yang harus dijaga sepanjang hayat, karena sejatinya guru adalah pemandu jalan menuju cahaya ilmu dan keselamatan akhirat.
Oleh : Wahyu Hidayat ( Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor : Siti Aniqotussolehah