Be-songo.or.id

Filsafat Ala Santri dan Dunia Pesantren

Tradisi intelektual pesantren dengan akar kebudayaan filsafat tentunya memiliki kaitan yang sangat erat. Dahulu, istilah sastri merujuk pada orang yang bersastra, dan pesastrian sebagai tempat mereka belajar sastra. Dari sini, analogi istilah santri dan pesantren menggambarkan tempat tumbuhnya pemikiran dan tradisi ilmu sejak dahulu kala.

Berfilsafat sejatinya adalah proses berpikir, hanya saja dengan gaya dan pendekatan yang berbeda. Begitu pula dengan pesantren memiliki nalar dan versinya sendiri. Di zaman sekarang ini, para santri yang hidup di pesantren telah melakukan praktik filsafat. Terlebih di era sekarang banyak pesantren yang lebih terbuka, tidak hanya menitik beratkan pada hafalan, tetapi juga mengedepankan pola pikir kritis yang relevan dengan tantangan zaman.

Pada acara Talkshow dan Halal bihalal yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang bersama Bapak Dr. Fahrudin Faiz, M.Ag. mengulik bagaimana tradisi filsafat bisa dihidupkan kembali di dunia pesantren. Dalam hal ini, menghidupkan kembali bukan berarti filsafat di dunia pesantren telah mati. Tetapi lebih kepada kembali memvitalkan tradisi ini di lingkungan pesantren.

Bapak Dr. Fahrudin Faiz, M.Ag. menuturkan, “Jika seseorang masih mau berpikir, maka sebenarnya ia juga sedang berfilsafat.”

Dalam pemaparannya, ia juga menguraikan lima prinsip utama dalam berfilsafat yang relevan diterapkan di dunia pesantren:

Pertama, Semangat dari mitos ke logos. Peralihan cara berpikir dari menerima dan percaya apa saja tanpa dipikirkan, dicerna, ataupun dianalisis menuju penjelasan yang rasional.

Kedua, From wonder to wander. Peralihan dari kekaguman/ketakjuban menuju perjalanan menemukan kebenaran. Dalam hal ini, seseorang harus terus menumbuhkan rasa ingin tahu yang terus berkembang. Sehingga ketika dihadapkan dengan suatu hal bisa mengklasifikasi apakah hal tersebut sesuai atau tidak dan etis atau tidak.

Ketiga, mengklarifikasi konsep-konsep. untuk memastikan pemahaman kita benar-benar mendalam.

Keempat, kesadaran argumentatif. Memutuskan, memandang dan melakukan segala perbuatan dengan dasar argumen yang kuat dan tidak asal-asalan. Secara sederhana, argumen adalah alasan dalam setiap hal yang dilakukan. Mengenai hal ini, Socrates pernah mengatakan bahwa hidup yang tidak memiliki argumentasi adalah hidup yang tidak ada harganya.

Kelima, kesadaran kritis. kemampuan memahami dan menganalisis realitas sosial, politik, dan budaya secara mendalam, serta bertindak untuk melakukan perubahan.

Lebih lanjut, Dr. Fahrudin Faiz M.Ag. mengutip nasihat mbah Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul Alim wal Muta’allim mengenai beberapa hal yang bisa disiapkan oleh para santri untuk menjadi generasi yang ideal, di antaranya:

1. كملت اهليته , sempurna keahliannya atau profesional. Syarat pertama untuk menghidupkan peradaban ilmiah ataupun peradaban filosofis adalah dengan profesional atau mendalami ilmu itu sendiri.

2. تحققت شفقته , Menjadi pribadi yang penuh kasih sayang. Menggapai kesuksesan dibutuhkan adanya relasi, dan karakter paling ideal untuk mendapatkan relasi adalah penuh kasih sayang.

3. ظهرت مروئته , menjaga martabat dengan tidak melakukan hal-hal negatif yang menjatuhkan harga dirinya. Dalam filsafat, hal ini berkaitan dengan etos, logos, dan pathos, yang berarti berpikir dengan cerdas, berakhlak dan menarik kepercayaan orang lain kepadanya karena muruah yang dimilikinya tersebut.

4. احسن تعليم واجود تفهيم , dalam hal ini terdapat dua point, yang pertama adalah ahsanu ta’lim yang berarti trampil dalam menyampaikan sesuatu dan apa yang disampaikannya mudah dipahami oleh orang lain. Dr. Fahrudin Faiz, M. Ag. juga menyampaikan bahwa belajar yang terbaik adalah mengajar.

Dan yang kedua adalah ajwadu tafhim yaitu pemahaman yang mendalam atau memiliki daya tangkap yang luar biasa (cerdas) dengan terus mengasahnya.

5. اشتهرت صناعته , memiliki kreativitas yang tinggi. Kreatif adalah kemampuan menemukan suatu hal yang baru dan berbeda. Ilmu akan terus berkembang tidak hanya melalui pemikiran yang kritis tetapi juga pemikiran yang kreatif.

Berpikir menjadi salah satu unsur penting yang ada pada manusia yang bisa menjadi kunci dalam meningkatkan kualitas diri dan mencapai keberhasilan di masa depan. Banyak dari para tokoh mendifinisikan manusia sebagai hayawanun natiqun yang berarti hewan yang berpikir. Maka, jika manusia menghilangkan aktivitas berpikirnya, tidak ada bedanya dengan hewan.

Oleh: Alina Apriliana Putri (Santriwati Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)

Editor: M. Faiq Azmi

REKOMENDASI >