Tempo hari tanggal 29 Maret 2025, setelah mengarak Ogoh-ogoh dan membakarnya dalam upacara Tawur Kesanga, masyarakat Hindu Bali melaksanakan ritual Nyepi, sebuah ritual puasa total dari aktivitas duniawi. tidak hanya membatasi soal makan dan minum, tetapi juga puasa bepergian, puasa dari menghidupkan api dan listrik, puasa kerja, hingga puasa dari bersenang-senang.
Bersama dengan itu, kaum muslim juga sedang melakukan ibadah puasa dan telah mencapai penghujung Bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri di 31 Maret 2025. Sebuah peristiwa langka, dimana perlu beberapa tahun lagi untuk dapat merasakan kembali momentum dan mengulang siklus ini. Kedua hari raya tersebut saling memberikan pesan filosofis dan nilai religius yang kental walaupun berasal dari dua kebudayaan dan tradisi yang berbeda.
Dalam masyarakat Jawa, tradisi Ramadhan dan Idul Fitri bukan sekadar manifestasi keagamaan, tetapi juga bagian dari konstruksi budaya yang terus bertahan di tengah dinamika sosial. Tradisi lebaran tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pelestarian identitas budaya, tetapi juga sebagai instrumen rekonsiliasi sosial yang mempertahankan kohesi masyarakat.
Namun, dalam konteks modern, tradisi ini mengalami berbagai adaptasi akibat urbanisasi, migrasi, serta perubahan terhadap pola konsumerisme, yang menuntut masyarakat untuk berkembang lebih jauh dari esensi utama Ubudiyah Ramadhan.
Perilaku konsumerisme tidak disadari menjadi hal yang familiar bagi umat muslim terutama di pedesaan Jawa. Dimana mereka mengalokasikan seluruh sumber dayanya seperti bahan makanan dan pakaian hanya untuk kebutuhan di bulan puasa dan hari raya. sehingga, pengeluaran di bulan puasa dan hari raya sedikit membengkak terutama emisi sampah dan food waste.
Melansir dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa selama Ramadan, volume sampah meningkat hingga 20%, didominasi oleh sisa makanan (41,2%) dan sampah plastik (18,2%). Di berbagai daerah, seperti Surabaya dan Tangerang Selatan, timbulan sampah naik 100–200 ton per hari dibandingkan hari biasa. Peningkatan konsumsi, penggunaan kemasan sekali pakai, serta pemborosan makanan menjadi faktor utama lonjakan ini.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan pengelolaan lingkungan hidup serta merebaknya konsumsi rumah tangga semakin menjauhkan diri dari esensi Ramadhan dan idul Fitri. Perintah menahan diri dan menjaga hawa nafsu seakan-akan hanya menjadi materi pemanis yang menarik disampaikan pada kultum singkat Ramadhan sembari menunggu waktu berbuka puasa, yang hanya dipahami sebagai menahan diri dari godaan makanan dan minuman penghilang dahaga, serta menjaga dari hawa nafsu amarah serta emosi.
Tapi tidak pernah dipahami secara tersirat sebagai menahan diri membeli hal yang tidak perlu dan menjaga diri dari hawa nafsu bermegah-megahan di depan manusia. mengapa demikian terjadi di masyarakat Indonesia yang religius ini?
Kebiasaan Yang Membudaya
Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan yang ditulisnya tahun 1974 menekankan bahwa suatu kebiasaan baru (Qadiim) biasa disebut sebagai membudaya jika telah menjadi bagian dari sistem nilai dan perilaku masyarakat yang diwariskan lintas generasi (Adat). Ia menjelaskan bahwa budaya tidak hanya mencakup sistem ide dan norma, tetapi juga tindakan nyata yang konsisten dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, jika sebuah kebiasaan baik belum bisa dilestarikan atau masih bergantung pada paksaan eksternal tanpa melekat secara alami dalam keseharian masyarakat, maka kebiasaan tersebut belum sepenuhnya membudaya. Hal ini sejalan dengan konsep internalisasi budaya, di mana suatu praktik harus diterima, dipraktikkan secara spontan, dan diwariskan tanpa paksaan agar dapat bertahan dalam jangka panjang.
Sementara itu, jika kebiasaan buruk tidak dapat diubah dan malah membudaya secara turun-temurun, maka hal tersebut menunjukkan adanya internalisasi nilai yang keliru dalam struktur sosial masyarakat. Kebiasaan yang awalnya dianggap sekadar praktik sederhana dapat berkembang menjadi norma yang diterima luas jika tidak ada intervensi budaya yang efektif.
Dalam konteks ini, budaya tidak hanya menjadi alat pelestarian tradisi positif, tetapi juga dapat memperkuat pola perilaku destruktif yang sulit diberantas. Oleh karena itu, diperlukan upaya rekonstruksi budaya melalui edukasi, regulasi, dan pembentukan kesadaran kolektif agar kebiasaan yang merugikan dapat terkikis dan digantikan dengan praktik yang lebih konstruktif bagi perkembangan masyarakat.
Berkaca dari Masyarakat Hindu Bali
Dalam Ibadah Nyepi, Umat Bali berbondong bondong mengawalinya dengan upacara Melasti yaitu prosesi penyucian diri menggunakan Tirta Amerta atau air suci yang diambil dari laut, danau, atau sumber mata air lainnya, dengan bertujuan membersihkan diri dari segala kotoran lahir dan batin serta menghilangkan pengaruh negatif sebelum menjalani Catur Brata Penyepian. Ritual yang hampir sama secara praktik dengan tradisi Padusan di beberapa wilayah di Jawa Tengah. keduanya secara praktikal sama-sama memiliki tujuan membersihkan diri dari “hadas” dan kotoran, dalam konteks Padusan, membersihkan hadas kecil dan besar sebelum menjalani puasa ramadhan.
Upacara Tawur Kesanga, sebuah persembahan dan pawai Ogoh-ogoh yang dimaknai secara simbolik sebagai pemusnahan sifat buruk, sejalan dengan ibadah puasa yang sebenarnya merupakan momentum umat muslim untuk menempa diri dan mengusir sifat buruk yang ada dalam dirinya (hawa nafsu).
Setelah raga suci dari kotoran dan jiwa terlepas dari sifat buruk, baru kemudian masyarakat Bali melakukan Ibadah Nyepi, dengan melakukan ritual Catur Brata. Keempatnya meliputi Amati Geni (tidak menyalakan api/lampu sebagai bentuk pengendalian diri), Amati Karya (tidak bekerja untuk fokus pada introspeksi), Amati Lelungan (tidak bepergian guna menenangkan pikiran), dan Amati Lelanguan (tidak menikmati hiburan sebagai wujud disiplin diri). Pasca Nyepi, rangkaian ritual diakhiri dengan Ngembak Geni, dimana masyarakat saling menyambung persaudaraan kembali dengan sanak saudara, teman dan tetangga dan berkegiatan seperti sediakala.
Nyepi dan Ramadhan memiliki potensi kolaboratif dalam menjaga keseimbangan alam dan meningkatkan kesadaran manusia terhadap lingkungan. Jika Nyepi dengan prinsip hening dan penghentian aktivitas dikombinasikan dengan esensi puasa Ramadhan yang menekan hawa nafsu konsumtif, maka akan tercipta ruang pemulihan bagi alam. Polusi dapat berkurang, konsumsi sumber daya dapat lebih terkendali, dan masyarakat dapat lebih reflektif terhadap dampak ekologis dari gaya hidup mereka.
Ini menunjukkan bahwa praktik spiritual, selain berdampak pada individu, juga bisa menjadi instrumen sosial yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Sehingga, ibadah tidak hanya menjadi urusan personal, tetapi juga bagian dari tanggung jawab kolektif untuk kebaikan bersama.
Kedua perayaan ini menawarkan refleksi yang sama: bahwa pengendalian diri bukan hanya tentang aspek spiritual, tetapi juga memiliki dampak nyata terhadap lingkungan dan kehidupan sosial.
Dalam konteks lingkungan, Nyepi secara langsung mengurangi konsumsi energi dan polusi karena aktivitas manusia dihentikan selama sehari penuh. Ini membuktikan bahwa menahan diri dari penggunaan sumber daya yang berlebihan bisa memberikan dampak nyata bagi bumi.
Sebaliknya, Ramadhan idealnya menjadi momentum untuk melatih kesederhanaan, tetapi justru sering diwarnai oleh pola konsumsi yang meningkat. Fenomena berbuka puasa dengan makanan berlebihan dan pemborosan pangan menjadi kontradiksi dengan nilai utama Ramadhan itu sendiri.
Jika Ramadhan benar-benar dijalankan dengan kesadaran penuh terhadap pengendalian diri, maka bisa menjadi momentum untuk mengurangi konsumsi berlebihan dan membawa dampak positif bagi lingkungan serta bisa meningkatkan kualitas diri masing-masing pribadi, terutama pasca-ramadhan dan pasca-Idul Fitri
Dengan demikian, pertemuan Nyepi dan Idul Fitri di tahun ini bukan sekadar kebetulan kalender, tetapi juga sebuah pengingat penting bahwa pengendalian diri yang sesungguhnya bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk keseimbangan sosial dan alam. Manusia lewat perayaan penting agama, sejatinya diultimatum oleh Tuhan agar lebih memperhatikan lingkungan, memperhatikan bumi tempat menyembah-Nya agar lebih lestari.
Oleh: Hamada Najata Jakti (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor: Zakiyah Kibtiah