Idul Fitri 2024
Sinar matahari terik tepat diatas kepala. Menandakan siang telah tiba. Jalanan lenggang, tidak ada seorang pun yang lewat. Ruang tamuku juga sepi. Suasana hari raya sudah tidak seperti raya. Aku selalu berharap bisa mengulang suasana hari raya bertahun-tahun yang lalu, yang ramai dan ceria. Namun sekarang? Bahkan tidak ada rasa yang tersisa. Rasanya seperti hari-hari biasa, seperti pagi tadi tidak terjadi apa-apa.
Aku menghela napas, memandang jalan di depan rumahku. Kemana semua orang? Sedang istirahat kah? Percayalah, suasana sepi ini akan berlangsung sampai sore dan seterusnya. Tidak ada seorang pun disampingku untuk kuajak mengobrol, membahas cerita perjalanan hidup setahun terakhir ini.
Sedang apa mereka semua di rumahnya masing-masing? Asyik dengan smartphone mereka? Untuk apa? Untuk apa terlihat hangat di sosial media, terlihat seperti vibes Idul Fitri kental sekali disana, namun kenyataannya, hanya ada jalanan sepi disini yang ditemani terik matahari, sesekali kicauan burung yang kepanasan. Bagiku ini semua membosankan. Kemana dunia nyata mereka?
Berhubung mereka asyik dengan dunia maya nya, maukah kau kuajak kembali berjalan-jalan ke masa laluku? Disana kita akan menemukan semarak Idul Fitri yang selalu kurindukan.
2011
Seorang anak berumur 5 tahun sedang tertawa bersama saudara-saudaranya. Mereka bermain di halaman berumput yang diberi alas terpal. Di malam yang berbintang, mereka berbaring di halaman, memandang langit.
“Puasanya tinggal tiga hari lagi ya?” Celetuk salah satu dari mereka.
“Iya, kamu udah beli baju baru belum?”
Anak-anak kecil itu membahas baju baru mereka, sandal baru, dan kue-kue yang baru orang tua mereka beli untuk disajikan diatas meja saat Idul Fitri. Sementara ibu-ibu mereka bercengkrama di dalam rumah, membuat jajanan tradisional untuk Idul Fitri sambil saling bercerita tentang anak-anak mereka.
Nanti saat malam Idul Fitri, mereka semua pasti main kembang api bersama-sama. Tak terlepas dari celotehan mereka yang ramai, khas anak-anak. Mereka yang berlarian, kejar-kejaran, sampai menggantungkan kembang api di pohon jambu.
Lalu paginya, selepas salat Eid, jalan-jalan di desa dipenuhi orang yang halal bihalal. Dari satu rumah ke rumah lainya, mengunjungi satu persatu rumah sanak saudara dan tetangganya. Setiap rumah yang dimasuki pasti menyambut tamu-tamunya dengan hangat lalu mereka berbincang-bincang dan saling bertukar pengalaman. Suasana hari raya waktu itu sangat hidup.
Sampai malam tiba, tidak hilang rasa hari rayanya. Tak henti tetangga mengucap salam, mengunjungi rumah-rumah, beramah-tamah, dan bersenda gurau. Beberapa hari kemudian mereka ramai-ramai membuat ketupat, bodo kecil istilahnya.
Dan seminggu Idul Fitri itu terasa sangat menyenangkan. Ketika bangun tidur, selalu saja terdengar ramai di dapur, entah membuat olahan apa lagi orang tua mereka. Sementara anak-anak selalu bermain dan berkumpul menjadi satu, yang bertugas menghabiskan makanannya. Ketika jatah liburan sudah habis, ada sebagian yang harus kembali ke kota. Mereka pun melepas saudaranya kembali ke kota dan menanti Idul Fitri berikutnya.
2024
Kembali lagi ke sini. Angin berhembus, membuat debu jalan berterbangan. Menurutmu apa yang berbeda? Apakah orang-orang nya? Anak-anak kecil yang dulu ramai bermain memang sudah beranjak dewasa, sebagian sudah menikah. Sementara anak-anak zaman sekarang juga sedang asyik dengan gawai mereka.
Orang-orang yang bertamu sudah tidak betah lama-lama, hendak segera melakukan kesibukan lainnya. Tetangga sebaya yang bertemu, juga tidak banyak yang bisa dibicarakan antara mereka. Sekedar saling sapa, basa-basi, lalu sudah.
Dan ketika hari menuju siang, suasana hari raya itu seolah sirna. Orang-orang dalam rumah sudah mulai melakukan rutinitas seperti biasanya. Tidak ada lagi tamu yang datang, kecuali besok pergi ke saudara yang lintas daerah. Andaikan suasana bisa kembali seperti dulu, bagaimana caranya?
Manusia tidak seharusnya terjajah oleh era digital, ataupun oleh dunia maya yang sekejap membuatnya terlena, apalagi oleh sosial media yang menjadikannya budak dunia. Di tengah zaman yang semakin maju, bukan alasan bagi manusia untuk melupakan esensinya sebagai makhluk sosial.
Oleh: Indy Ainun Hakimah (Santriwati Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor: Zakiyah Kibtiah