Kebangkitan Nasional merupakan momen penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang menandai munculnya kesadaran kolektif sebagai satu bangsa. Tanggal 20 Mei 1908 diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional karena pada hari itu berdirilah Budi Utomo, organisasi modern pertama di Indonesia yang menjadi simbol awal lahirnya semangat nasionalisme dan pembaharuan pendidikan.
Menurut Aji (2020)https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/adalah/article/view/15806, Kebangkitan Nasional tidak hanya sekadar gerakan politik, tetapi juga sebuah proses transformasi sosial-budaya yang melibatkan kaum intelektual terdidik pada masa kolonial Belanda. Munculnya tokoh-tokoh seperti dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantara, dan Douwes Dekker membawa pengaruh besar dalam membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan, kebudayaan, dan persatuan sebagai fondasi pergerakan nasional.
Kebangkitan Nasional menjadi titik awal dari pembentukan identitas nasional Indonesia. Peristiwa ini mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia mulai mengganti pola pikir feodal menuju pola pikir modern yang lebih rasional, kritis, dan progresif. Hal ini didukung oleh perkembangan pendidikan Barat yang memberikan akses kepada kalangan pribumi untuk mengakses ide-ide baru tentang hak asasi manusia, demokrasi, dan nasionalisme.
Santri Sebagai Penerus Estafet Kebangkitan Bangsa
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa Kebangkitan Nasional menjadi inspirasi bagi lahirnya berbagai organisasi pergerakan seperti Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), Partai Nasional Indonesia (1927), serta Kongres Pemuda II pada tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Deklarasi tersebut menjadi momentum yang sangat penting dalam penyatuan visi kebangsaan, yaitu “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa”.
Organisasi pergerakan seperti Nahdlatul ulama dan Muhammadiyah yang didominasi oleh santri, menjadikan para santri juga memiliki peran penting dalam kebangkitan nasional ini. Santri yang juga sebagai generasi muda memegang estafet perjuangan dalam kebangkitan bangsa Indonesia. Semangat kebangkitan nasional harus diterapkan dalam diri setiap santri. Salah satunya dan yang terdekat adalah kesungguhannya dalam belajar dan mengaji.
Pesantren yang menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga ilmu agama dan ilmu keterampilan hidup menjadi wadah yang paling baik dalam melahirkan generasi masa depan. Kesungguhan para santri tinggal di pondok pesantren menjadi awal bagi para santri untuk hidup berbangsa dan bernegara dengan baik. Ilmu yang telah dipelajarinya pun dapat menjadi bekal untuk membawa Indonesia dalam menyongsong kemajuan zaman.
Relevansi Nilai Kebangkitan Nasional di Era Saat Ini
Menurut Husda (2019) https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/adabiya/article/view/6609, Kebangkitan Nasional memiliki relevansi tinggi dengan kondisi kekinian, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi, disintegrasi, dan radikalisme. Nilai-nilai yang diperjuangkan saat itu—persatuan, kesatuan, dan semangat gotong royong—masih menjadi pegangan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Zaman yang berkembang sangat cepat juga membawa perubahan-perubahan yang tak kalah pesat. Banyak dari masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda mulai tergerus oleh arus perkembangan zaman yang seperti tidak memiliki jeda. Mereka mulai lebih senang mempelajari, mengikuti, bahkan menggunakan budaya-budaya dari negara lain. Sedangkan budaya negaranya sendiri mulai hilang terlupakan. Padahal, para generasi muda adalah penerus estafet perjuangan Bangsa Indonesia. Kemajuan Indonesia sepuluh sampai dua puluh tahun kedepan ada dalam genggamannya.
Oleh karena itu, generasi muda saat ini perlu memahami dan mengintegrasikan makna Kebangkitan Nasional sebagai wujud tanggung jawab moral untuk turut serta dalam pembangunan bangsa. Sebagai warisan sejarah yang bernilai luhur, semangat Kebangkitan Nasional harus terus dilestarikan melalui pendidikan, media massa, dan kebijakan publik agar tetap hidup dalam jiwa setiap warga negara Indonesia.
Oleh: Dora Lathifa Nurwachida (Santriwati Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor: Zakiyah Kibtiah