Suasana malam yang sunyi, angin berhembus dengan lirihnya, Raka seorang anak SMA, bersiap belajar untuk menyiapkan amunisi yang cukup agar ia siap dalam menghadapi ujian nanti. Lembaran buku dibuka sedikit demi sedikit, Raka mengarungi samudera tulisan perhuruf, perkata, perkalimat hingga malam semakin larut. Sampai pada titik dimana Raka tenggelam kedalam semesta makna buku itu.
Seperti halnya orang-orang yang seringkali memikirkan segala hal, Raka dirundung rasa kebingungan yang menggurita, ternyata tak disangka Raka sudah semakin hanyut dan mulai menanyakan sesuatu tentang pendidikan di negeri Indonesia.
Kamar tidur Raka penuh dengan buku-buku yang berserakan, lembaran-lembaran kertas terhempas di lantai seperti guguran daun yang kehilangan arah.
Ia duduk gelisah di pojok tempat tidurnya, matanya kosong menatap langit-langit yang diam. Hatinya dipenuhi kecewa—pada sistem sekolah yang lebih sibuk mengejar akreditasi dari pada memahami esensi pendidikan. Validasi dan prestasi menjadi mantra yang diulang-ulang, sementara karakter yang dahulu dielu-elukan kini hanya menjadi jargon tanpa isi. Idealisme perlahan lapuk, dimakan ruang dan waktu.
Ia mengenang hari-hari ketika belajar adalah petualangan, bukan perlombaan. Dulu, setiap pelajaran menyimpan makna, setiap guru adalah lentera. Tapi kini, semuanya seperti mesin: mencetak, menilai, meluluskan. Raka merasa menjadi angka dalam statistik, bukan jiwa yang sedang tumbuh. Ia rindu sebuah ruang yang mengajarkan rasa, bukan sekadar rumus dan hafalan.
Di luar hujan mulai turun perlahan, mengetuk jendela dengan nada-nada pilu. Raka memejamkan mata, berharap setiap tetes air membawa ketenangan yang tak bisa ia temukan di ruang kelas.
Ia ingin percaya, bahwa masih ada harapan—sebuah cara baru untuk mendidik, yang tidak melupakan kemanusiaan. Tapi dunia terus berlari, dan ia takut tertinggal, kehilangan dirinya sendiri dalam arus yang tak kenal ampun.
Namun di balik kegelisahan itu, ada bara kecil yang tetap menyala. Ia tahu, meski sunyi, suara hati tak akan mati. Mungkin, perubahan tidak akan datang dari sistem yang besar—tetapi dari keberanian-keberanian kecil untuk tetap berpikir, merasa, dan menolak tunduk pada kepalsuan. Raka menggenggam selembar kertas kosong. Ia mulai menulis, bukan tugas, bukan laporan, melainkan sebuah pertanyaan: Masih adakah ruang untuk menjadi manusia di tengah angka dan nilai?
Kemudian Raka melamun memikirkan kalimat yang dia tulis di bawah lampu temaram kamar tidurnya. Raka duduk menatap dinding dan bergumam:
“Belajar untuk ujian, bukan untuk paham. Sekolah makin sibuk menghitung nilai, bukan menanamkan makna… Apa gunanya semua ini?”
Tiba-tiba suara lembut terdengar. Sosok bayangan Ki Hajar Dewantara muncul samar di balik cahaya lampu belajarnya. Menatap Raka dengan penuh kesedihan, seolah ikut merasakan apa yang selama ini ada di benak Raka.
Sosok Ki Hajar Dewantara berkata kepada Raka: “Anak muda, bukan sekolah yang salah. Tapi cara pandang kita terhadap ilmu.”
Tentu saja hal ini membuat Raka terkejut, dengan rasa gemetar dan penuh kebingungan Raka bertanya “Siapa Anda?”
Sosok itu menjawab dengan tenang: “Seseorang yang dulu percaya, bahwa mendidik adalah menuntun jiwa agar hidupnya merdeka.”
Raka terkejut dengan jawaban darinya, seperti semua pertanyaan yang memenuhi kepalanya luluh lantah seketika. Raka kemudian bertanya: “Lalu apa yang harus aku lakukan?”
Sosok bayangan Ki Hajar Dewantara menjawab dengan senyuman yang terlihat dipenuhi ketulusan:
“Mulailah dengan bertanya bukan untuk menjawab, tapi untuk memahami. Belajarlah bukan demi angka, tapi demi bangsa. Jadilah pelita, meski kecil. Karena satu cahaya bisa menuntun seribu langkah.”
Lampu padam perlahan. Raka menatap cahaya dari buku yang terbuka di pangkuannya. Termenung hingga kedua mata Raka menutup dengan perlahan.
Oleh: Ahda Fathan Zidni (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor: Zakiyah Kibtiah