Di tengah hening malam, langit seolah menunduk dan bumi terasa dingin. Seorang ayah menatap anaknya yang tertidur dengan damai. Bagi sang ayah, anak itu adalah anugerah terindah yang paling berharga, buah dari doa yang mengalun sepanjang hidupnya. Namun pada malam itu, sebuah mimpi datang membawa pesan Ilahi: sebuah perintah untuk berkurban, pengorbanan yang luar biasa, ujian iman yang membuka makna cinta sejati kepada Sang Pencipta.
Begitulah awal mula kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, yang abadi tertulis dalam lembaran suci Al-Qur’an. Sebuah kisah yang bukan sekadar dongeng masa silam, tetapi fondasi spiritual dari ritual Idul Adha yang kita rayakan hingga hari ini. Di tahun 2025 ini, gema takbir kembali mengguncang langit. Dalam setiap alunan “Allahu Akbar” yang dikumandangkan, terselip memori kolektif umat manusia tentang keikhlasan, pengabdian, dan ketundukan mutlak pada kehendak-Nya.
Dalam konteks Islam, qurban berasal dari kata qaruba–yaqrubu–qurbanan, yang berarti mendekat. Maka, hakikat dari qurban adalah jalan menuju kedekatan dengan Allah. Ia bukan sekadar penyembelihan hewan, qurban adalah simbol dari penangguhan ego, penyembelihan nafsu, dan pengorbanan terhadap apa yang paling kita cintai demi kebaikan yang lebih tinggi.
Nabi Ibrahim menjadi role model bagi manusia yang rela meninggalkan hasrat nafsunya demi menyandang gelar “ketaqwaan”. Maka, ketika beliau hendak menyembelih Ismail, yang sesungguhnya hendak disembelih adalah sifat hewani yang ada dalam diri sendiri. Ismail adalah simbol harta paling berharga. Dengan keikhlasan Ibrahim dan kesabaran Ismail, Allah menetapkan nilai qurban sebagai syariat hingga akhir zaman.
Dalam Al-Qur’an, Surah As-Saffat ayat 107, Allah berfirman:
وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Sebuah pernyataan Ilahi bahwa setiap pengorbanan tulus takkan pernah sia-sia, melainkan diganti dengan kemuliaan dan kebaikan yang tak terduga.
Momentum Idul Adha 2025 hadir di tengah dunia yang mulai lengah dengan gemerlap kehidupan glamor dan budaya individualisme. Di era modern yang sering terjebak budaya pencitraan dan prilaku konsumtif, ibadah qurban menjadi pengingat penting bahwa memberi adalah bentuk tertinggi dari keberadaan dan kepedulian kita sebagai manusia.
Qurban hari ini bukan sekadar tentang sapi, kambing, atau domba yang disembelih. Lebih dari itu, ia adalah cermin bagaimana kita memperlakukan sesama. Sudahkah kita benar-benar berbagi dari yang terbaik yang kita miliki? Ataukah kita hanya memberikan sisa-sisa, kemudian berharap mendapatkan ganjaran surga tanpa usaha dan keikhlasan?
Di tengah hiruk-pikuk perkembangan zaman, seringkali manusia lupa bahwa daging kurban bukanlah tujuan akhir dari ibadah ini. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 37:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Betapa tegas pesan Ilahi ini. Ibadah bukanlah sekadar ritual kosong tanpa makna, melainkan harus didasari oleh hati yang sadar, niat yang tulus, dan ketakwaan yang mendalam.
Ibadah Qurban bukan sekedar Perayaan dan Ritual
Qurban menyentuh berbagai sisi kehidupan manusia. Ia bukan hanya sebuah ibadah ritual, tetapi jembatan yang menghubungkan langit dan bumi, antara pengabdian kepada Tuhan dan kepedulian terhadap sesama.
Secara sosial, qurban mempererat simpul-simpul persaudaraan. Daging yang dibagikan menjangkau rumah-rumah kaum fakir, menyentuh hati anak-anak yatim yang kembali tersenyum, dan menghidupkan harapan dalam dada mereka yang selama ini kekurangan. Dalam momen itu, qurban menjadi bukti bahwa kebaikan masih nyata di tengah dunia yang sering kali terasa dingin.
Secara spiritual, qurban adalah proses pemurnian jiwa. Ia melatih kita untuk ikhlas dalam memberi, tawakal dalam menerima takdir, dan tulus dalam mencintai Allah. Pengorbanan yang dilakukan bukan hanya tentang materi, tapi tentang melepaskan keterikatan duniawi demi meraih ridha Ilahi.
Dan secara eksistensial, qurban menjawab pertanyaan paling mendasar dalam hidup: untuk apa kita hidup? Ketika kita mampu memberikan yang terbaik demi kebaikan yang lebih luas dan demi cinta kepada Sang Pencipta, di sanalah kita menemukan makna sejati dari keberadaan kita sebagai hamba dan sebagai manusia.
Di zaman ini, kita memang tidak lagi diminta untuk menyembelih anak seperti Nabi Ibrahim dahulu. Namun, kita tetap diuji dengan bentuk pengorbanan yang berbeda. Kita dituntut untuk menyembelih ego dalam diri sendiri baik berupa kemalasan, amarah, rasa lelah, godaan untuk menyerah maupun keserakahan dan ketamakan. Setiap dari kita memiliki “Ismail”nya masing-masing, sesuatu yang paling kita cintai, yang terkadang justru menjadi ujian terbesar dalam hidup.
Refleksi Idul Adha sebagai Ajang Pemurnihan Jiwa Manusia
Idul Adha 2025 bukan hanya momen libur nasional atau waktu untuk membeli pakaian baru. Ia adalah panggilan jiwa. Panggilan untuk kembali pada hakikat, untuk mengingat bahwa hidup adalah tentang memberi, tentang meninggalkan jejak kebaikan.
Saat takbir menggema dan ribuan jamaah bersujud, membisikkan harap pada bumi yang suci, langit menjadi saksi sebuah janji kolektif bahwa kita, umat Nabi Muhammad SAW, masih menjaga warisan Ibrahim warisan ketundukan, keikhlasan, dan kasih sayang.
Di tanah suci, jutaan kaki melangkah dalam letih, menyusuri jejak para nabi. Mereka datang dari penjuru dunia, mengorbankan waktu, harta, dan tenaga demi memenuhi panggilan Ilahi. Dalam panas yang menyengat, di tengah lautan manusia, mereka bertalbiyah dengan hati yang rindu: “Labbaikallahumma labbaik…” Itulah puncak qurban spiritual, meninggalkan identitas, jabatan, dan nama, lalu berdiri sebagai hamba di hadapan Tuhan yang Maha Esa.
Sementara kaki yang belum ditakdirkan menjejak tanah haram, ladang qurban tetap terbentang luas di sekitar kita. Kita mungkin belum bertawaf di sekeliling Ka’bah, tapi kita bisa mengelilingi hidup ini dengan niat yang bersih dan langkah yang jujur. Kita mungkin belum mencium Hajar Aswad, tapi kita bisa menjaga hati agar tetap suci, lisan agar tetap jujur, dan tangan agar tetap memberi.
Semoga setiap daging yang dibagikan, setiap air mata haru yang jatuh, setiap doa yang dibisikkan dalam diam, dan setiap langkah menuju kebaikan menjadi persembahan yang tulus kepada-Nya.
Sebab Idul Adha bukan hanya milik satu bangsa atau golongan, tetapi milik hati-hati yang masih percaya bahwa cinta kepada Tuhan diwujudkan dengan cinta kepada sesama, dan bahwa hidup adalah perjalanan untuk terus belajar ikhlas dalam memberi.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H.
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
Oleh: Salisa Ma’rifatul Putri (Santriwati Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor: Ahmad Nizar Zuhdi