Be-songo.or.id

Branding sebagai Kebenaran Baru: Refleksi dari Sebuah Perjalanan

Ada satu kalimat yang masih terngiang dari video youtube di chanel Agus Leo Halim yang berisi obrolan panjang bersama Pak Subiakto, seorang maestro branding yang telah menapaki industri ini lebih dari lima dekade: “Branding itu bukan soal logo atau warna, tapi soal membentuk kebenaran baru.” Kalimat itu terdengar sederhana, tapi justru karena kesederhanaannya itulah ia menusuk lebih dalam seolah mengajak kita berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan bertanya ulang: Apa sebenarnya branding itu?

Selama ini kita terbiasa memandang branding sebagai sesuatu yang visual. Desain logo yang estetik, slogan yang catchy, feed Instagram yang rapi. Namun, dari sudut pandang Pak Bi begitu ia biasa dipanggil branding ternyata lebih dalam dari sekadar tampilan. Branding adalah kesepakatan batin, sebuah persepsi kolektif antara produsen dan konsumen, tentang siapa diri kita, apa yang kita perjuangkan, dan nilai apa yang kita bawa ke dunia.

Pernahkah Kita menyadari bahwa memilih kopi tertentu bukan karena rasanya paling enak, tapi karena merasa cocok dengan citra yang dibawa merek itu? Atau memilih naik transportasi online tertentu bukan karena lebih cepat, tapi karena Kita merasa “lebih tenang” dengan layanan dan warna aplikasinya?

Itulah branding bekerja secara diam-diam ia mengendap dan kemudian menetap, bukan hanya di benak, tapi di rasa. Branding bukan soal produk, melainkan perasaan. Dan lebih dari itu, branding adalah narasi yang terus diperdengarkan hingga menjadi semacam “kebenaran baru”.

Pak Bi menyebutnya sebagai proses intersubjektif. Produsen datang dengan niat dan janji, konsumen datang dengan harapan dan pengalaman. Di tengah-tengah pertemuan itu terbentuklah branding: narasi yang dipercaya bersama.

Saya selaku penulis tulisan ini sekaligus sebagai penonton tertegun ketika beliau memaparkan evolusi branding dari versi 1.0 hingga 6.0. Setiap tahapnya mencerminkan perubahan cara pandang kita terhadap konsumen dan dunia.

Branding 1.0 berpusat pada produk apa yang kita jual. 2.0 fokus pada manfaat apa yang produk kita bisa bantu. 3.0 mulai menyentuh makna apa nilai yang kita perjuangkan. Lalu naik ke 4.0 yang menekankan keterlibatan komunitas, berlanjut ke 5.0 yang menggunakan algoritma manusia (emosi, psikologi, bahkan ketakutan), dan akhirnya tiba di 6.0: personalisasi ekstrem, ketika setiap individu menjadi pusat semesta mereknya sendiri.

Progresi ini membuat saya bertanya pada diri sendiri: Dalam dunia yang serba personal ini, siapa saya sebagai merek? Apakah saya sekadar pengisi posisi, ataukah saya sudah hadir sebagai representasi dari nilai tertentu yang konsisten?

Salah satu bagian yang paling membekas adalah ketika Pak Bi menjelaskan bahwa personal branding bukan hal baru. Sudah sejak lama orang menjual dirinya dalam bentuk produk. Seperti Ayam Suharti adalah Suharti. Sampoerna adalah keluarga Sampoerna.

Yang membedakan zaman dulu dan sekarang hanyalah medianya. Dulu, personal branding menyatu dalam produk. Kini, ia muncul dalam bentuk unggahan, komentar, hingga gestur kecil yang tertangkap kamera.

Media sosial memberi ruang bagi siapa pun untuk membentuk persepsi tentang dirinya. Namun di balik peluang itu, tersimpan tanggung jawab: apakah kita benar-benar tahu siapa diri kita sebelum memproyeksikannya ke publik? Ataukah kita justru sedang mengarang narasi demi impresi?

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Tapi jika kita sungguh ingin membangun personal branding yang otentik, maka kerja pertama yang harus dilakukan bukanlah mendesain bio Instagram, melainkan menggali nilai-nilai dalam diri: apa yang kita perjuangkan, apa yang ingin kita tinggalkan.

Dalam dunia digital yang didominasi oleh algoritma, Pak Bi mengingatkan bahwa ada algoritma yang lebih mendasar dan jauh lebih kuat: algoritma manusia. Ia menyebut tiga elemen utama: takut kehilangan, surprise, dan akhirnya kasmaran. Tiga fase ini adalah kunci mengapa seseorang bisa begitu terikat dengan sebuah merek.

Ini bukan manipulasi. Ini adalah seni memahami bagaimana manusia merespons dunia. Ketika kita bisa menyentuh emosi manusia dengan jujur dan konsisten, maka hubungan yang terbentuk akan lebih tahan lama daripada sekadar viralitas.

Karena itu, Pak Bi menyindir fenomena konten yang sekadar mengejar views. Viral itu bukan tujuan, katanya. Network effect adalah tujuan yang sebenarnya. Sebuah konten yang baik seharusnya memicu percakapan, menggerakkan interaksi, dan menciptakan keterhubungan. Dalam dunia yang penuh distraksi, konten yang membangun relasi akan lebih bertahan daripada yang sekadar heboh sesaat.

Branding bukanlah soal siapa yang paling keras suaranya, melainkan siapa yang paling konsisten nilainya. Di tengah kompetisi yang makin ketat, Pak Bi justru menekankan pentingnya nilai tambah value yang membuat kita berbeda, bukan karena sensasi, tetapi karena kontribusi.

Kompetisi itu sehat. Ia mendorong kita untuk terus belajar dan berinovasi. Tapi kompetisi yang sehat hanya mungkin terjadi bila kita berangkat dari kesadaran tentang siapa diri kita dan apa nilai kita.

Brand yang kuat tidak dibentuk oleh klaim, tapi oleh komitmen. Dalam kata-kata Pak Bi: “Branding itu kerja jangka panjang. Bukan lari cepat, tapi maraton.”

Setelah menonton video youtube itu, saya tidak hanya mendapat wawasan baru tentang dunia branding. Saya merasa seakan diajak untuk lebih jujur melihat diri sendiri apa yang sedang saya bangun, apa yang sedang saya wakili, dan bagaimana saya ingin dikenang.

Branding, dalam refleksi ini, adalah proses menjadi. Menjadi seseorang yang dikenali, dipercaya, dan akhirnya dicintai bukan karena pencitraan, tapi karena nilai yang kita hidupkan setiap hari.

Dan seperti semua proses menjadi, ia butuh waktu. Ia butuh jatuh dan bangun, butuh revisi, dan yang paling penting: butuh kesabaran. Karena branding bukan tentang hasil instan. Ia adalah perjalanan membentuk makna makna tentang siapa kita di tengah dunia yang terus bergerak.

Jika Kita seorang pengusaha, pekerja kreatif, guru, atau siapa pun yang sedang menapaki jalan untuk dikenal dan diingat, mungkin inilah saatnya berhenti sejenak dan bertanya: Apa kebenaran yang ingin dibangun? Karena di situlah branding yang sebenarnya dimulai.

Oleh : Abdus salam Bariklana ( Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo )

REKOMENDASI >