Selasa (12/11), peserta Pendidikan Kader Ulama (PKU) mengadakan halaqoh rutin seperti biasa. Halaqoh dilaksanakan di asrama B-17 ponpes Darul Falah Be-Songo yang menjadi tempat tinggal selama di Semarang. Tema “Fiqih dan Perkembangan Hukum Islam di Indonesia” yang dibedah dalam halaqoh kali ini disambut antusias oleh 25 peserta. Hal itu terlihat dari tanya-jawab yang berlangsung selama diskusi. Begitu juga dengan sanggahan dan masukan yang membuat diskusi semakin hidup.
Fiqih dan Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Oleh: DR. Imam Yahya, M.Ag (Dekan Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Wali Songo).
Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam adalah agama yang sangat produktif dan identik dengan berbagai macam aturan hukum. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika sejak awal perkembangannya hingga saat ini, madzhab yang paling eksis dan mendapat tempat istimewa di hati masyarakat adalah madzhab fiqih yang notabene merupakan produk hukum hasil ijtihad dan bersumber dari nash (teks) al-Qur’an.
Teks al-Qur’an selalu menjadi spirit dan kekuatan tersendiri bagi kejayaan peradaban ummat Islam. Dalam upaya relaksasi dan pencapaian peradaban Islam di masa lampau, Abid al-Jabiri melalui Post Tradisionalisme Islam-nya mensyaratkan adanya kontinuitas (al-istitsmar), yaitu usaha menghubungkan teks masa lalu yang telah menjadi tradisi kekinian. Upaya ini berfungsi untuk merelevansikan apa yang ada pada masa lalu dan membumikannya pada masa kini.[1]
Dalam konteks Islam di Indonesia, fenomena yang menjadi sorotan dunia internasional adalah semangat penduduknya yang rela dalam menempati antrean panjang sampai belasan tahun untuk mendapatkan kuota Jama’ah Calon Haji. Hal ini cukup menarik untuk dikaji, sebab dari segi spiritual, ibadah haji sangat sarat akan makna yang membuat agama-agama lain menjadi iri untuk mencapai relaksasi dan persaudaraan ummat. Namun di lain pihak, Islam di Indonesia belum menemukan cara dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial-ekonomi ummat, sehingga fenomena umat Islam di Indonesia dari segi hukum bisa dikatakan belum masuk ke ranah substansi.
Faktanya, banyak umat Islam yang masih terjebak dengan label. Dalam hal halal-haram barang misalnya, dikhawatirkan terdapat kasus barang haram yang luput dari proses auditing kemudian diberi label halal, sehingga barang tersebut dalam pemasarannya berlabel halal dan bergizi. Pun tidak bisa dipungkiri pula bahwa dalam upaya untuk memformalkan hukum Islam di Indonesia, fiqih sebagai produk hukum tidak memiliki ciri-ciri khusus layaknya hukum positif seperti: bersifat umum, mengikat dan memberikan punishment.
(diintisarikan oleh : M. Romli Shofwan el-Farinjany, Peserta PKU utusan Aceh).