Be-songo.or.id

Fiqh Aulawiyyah: Seni Memilih Skala Prioritas

Manusia kerap dihadapkan pada dilema dalam menentukan prioritas dan mudah merasa cemas jika dirinya tidak menjadi yang utama, baik dalam lingkup personal, sosial, maupun keagamaan. Keinginan untuk selalu diprioritaskan sering muncul—entah dalam keluarga, pergaulan, hubungan pasangan, malah sampai dalam menerima bantuan sosial dan program unggulan pemerintah.

Sikap self-centered seperti di atas, menjadi fenomena yang kian mencolok belakangan ini. Seseorang cenderung menuntut segala hal berjalan sesuai keinginannya. Mereka mengutuk apa yang berada di luar kendali, hingga mudah menyalahkan keadaan atau pihak lain. Namun, pembahasan kali ini tidak secara eksplisit mengarah pada hal-hal tersebut.

Fiqh aulawiyyah atau fikih prioritas. Ya, ini bukan tentang tuntutan agar orang lain mengutamakan kita, melainkan pada bagaimana kita belajar menempatkan diri dengan sikap tepo seliro. Fikih prioritas bukan sekadar soal siapa yang berhak diprioritaskan, tetapi lebih kepada kesadaran untuk mendahulukan yang lebih penting dan bermanfaat bagi banyak orang. Sikap berani mengambil keputusan—bukan demi kepentingan ego pribadi, melainkan sebagai bagian dari mendayagunakan fungsi akal dan hati, sebagaimana dalam tradisi ijtihad yang menuntut kecermatan, kebijaksanaan, dan pertimbangan matang.

Asas Fikih Aulawiyyah

Konsep fikih prioritas diperkenalkan oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, seorang ulama kontemporer asal Mesir dan wafat di Qatar. Fiqh ini menekankan pentingnya memahami dan mengurutkan prioritas dalam menjalankan ajaran Islam sesuai dengan tingkat urgensi dan maslahatnya. Konsep ini berlandaskan pada beberapa pendekatan dalam fikih Islam, seperti Fiqh Muwazzanah, Fiqh Waqi’, dan Fiqh Maqashid, yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan berikut.

Pertama, fiqh muwazzanah. Merupakan metode melakukan pertimbangan dan perbandingan berbagai dalil, hukum, dan konteks berbeda dalam suatu realitas permasalahan. Pendekatan ini memungkinkan pengambilan keputusan saat keadaan genting dan mengajarkan bahwa tidak semua hukum memiliki bobot yang sama.

Kedua, fiqh waqi’. Konsep fikih ini yang memperhatikan realitas sosial, ekonomi, politik dan aspek lain untuk menekankan urgensi memahami situasi dan kondisi aktual permasalahan umat. Tujuannya agar penerapan hukum Islam tidak kaku dan mempersulit kaum muslim.

Ketiga, fiqh maqashid. Konsep ini berperan sebagai esensi tujuan dan hikmah dari hukum Islam. Dalam fikih maqashid, terdapat pedoman untuk memudahkan prioritas pengambilan keputusan dengan lima prinsip utama, yaitu agama (din), jiwa (Nafs), Akal (‘Aql), keturunan (Nasl), dan Harta (Mal). Ulama kemudian sering menyebutnya dengan istilah maqāshid syarī’ah.

Menjawab Kegelisahan di antara Pilihan

Munculnya fikih prioritas secara tidak langsung mengkritik kelompok yang berpendapat bahwa ijtihad telah mati (pintu ijtihad tertutup). Al-Qaradhawi mengajak umat untuk tidak taklid buta dalam menghadapi permasalahan. Secara fungsional, fikih prioritas adalah salah satu bentuk ijtihad umat muslim yang paling sederhana jika dibandingkan dengan ijtihad mengenai hukum fikih yang pasti.

Konsep fikih prioritas popular agar umat dapat memahami tujuan utama dalam suatu permasalahan, sehingga mampu menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Orang Jawa menyebutnya wangun artinya pantas, cocok, atau tepat.

Tak hanya itu, metode ini juga mempermudah menjalani ibadah dengan moderat dan menghindari praktik-praktik keagamaan yang ekstrem-tafrith atau ifrath. Karena Islam yang sejati sebenarnya memberikan kemudahan dan kegembiraan, bukan kaku dan sulit dijangkau. Kanjeng Nabi dalam sebuah hadis, dhawuh:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغُدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama melainkan ia akan dikalahkan (menjadi lelah). Maka, luruskanlah, dekatkan diri kalian (kepada kebaikan), berilah kabar gembira, dan mintalah pertolongan (kepada Allah) di waktu pagi, sore, dan sebagian malam.” (HR. Bukhari No. 39, dari sahabat Abu Hurairah, dengan sanad yang shahih).

Hadis ini mengajarkan bahwa dalam beragama, seseorang harus bersikap moderat dan tidak membebani diri dengan aturan yang melampaui kemampuannya. Fiqh Aulawiyyah, berangkat dari prinsip ini, di mana menuntun seseorang untuk menimbang antara kewajiban agama dengan kemampuan serta maslahat yang lebih besar.

Sebagai contoh, seseorang yang sedang sakit atau dalam perjalanan diperbolehkan untuk menjamak atau mengqasar salatnya. Boleh juga untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan dan menggantinya di lain waktu ketika ada uzur yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam tidak memberlakukan aturan secara kaku, tetapi mempertimbangkan kondisi individu serta maslahat yang lebih luas.

Fikih aulawiyyah memberikan panduan dalam menetapkan prioritas hukum Islam dengan memperhitungkan maslahat yang lebih besar. Konsep ini menuntut seseorang untuk tidak sekadar mengikuti ego pribadi, tetapi juga mempertimbangkan manfaat yang lebih luas bagi umat. Melalui fikih prioritas, seorang Muslim dapat lebih bijak dalam menjalankan ajaran Islam tanpa harus terjebak dalam fanatisme yang kaku. Lebih lanjut, dalam pilihan-pilihan apa pun, kita bisa meminjam metode ini.

Aulawiyatul kaif ‘alal kamm (memprioritaskan ‘bagaimana cara atau kualitas’ ketimbang kuantitas), mastalan. Dalam banyak kasus yang kita hadapi, kualitas lebih utama daripada sekadar nominal angka. Inilah kemudian bagaimana kita mampu memilah mana yang lebih tepat dan sesuai petunjuk syariat. Wallahu A’lam.

Oleh: Najata Hamada Jakti (Santri Ponpes Darul Falah Besongo)

Editor: Zakiyah Kibtiah

REKOMENDASI >