Be-songo.or.id

FOMO x JOMO: Sampai Kapan Akan Scrolling Terus?

Di era digital seperti sekarang, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi hal yang sangat akrab dengan kehidupan anak muda. FOMO merujuk pada rasa takut ketinggalan informasi, momen, atau pengalaman yang sedang populer (Brombach & Dietch, 2024). Sering kali, rasa ini mendorong seseorang untuk terus menerus memeriksa media sosial, bahkan tanpa batas waktu. Scroll tanpa henti seolah menjadi rutinitas, padahal waktu yang dihabiskan bisa dimanfaatkan untuk hal-hal produktif lainnya. Akibatnya, mereka sering terjebak dalam siklus kelelahan mental yang diiringi rasa iri terhadap kehidupan “sempurna” yang ditampilkan orang lain di media sosial. 

Fenomena ini berdampak signifikan, khususnya pada generasi muda, termasuk para santri yang juga tak lepas dari pengaruh digital. Meski aktivitas sehari-hari santri lebih banyak diisi dengan kegiatan belajar, kajian kitab, dan pengembangan diri, godaan media sosial tetap bisa menyelinap di sela-sela waktu kosong. Ketika santri terlalu sering melihat kehidupan luar melalui layar, mereka bisa merasa seolah tertinggal dari yang lain, kehilangan kepercayaan diri, atau bahkan mempertanyakan tujuan hidup yang sedang dijalani.

Namun, apakah benar kita selalu harus mengikuti segala yang viral? Di sinilah konsep Joy of Missing Out (JOMO) menjadi solusi yang menarik. JOMO adalah kebahagiaan yang dirasakan ketika seseorang memilih untuk tidak ikut terlibat dalam tren atau hiruk-pikuk informasi, melainkan fokus pada hal-hal yang dianggap penting bagi diri mereka sendiri (Fuller, 2018). Dalam konteks kehidupan santri, JOMO bisa berarti lebih menikmati proses belajar dan mendalami ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren tanpa merasa tertekan oleh ekspektasi dunia luar. 

JOMO mengajarkan bahwa tidak apa-apa ketinggalan berita viral atau tren terbaru. Justru, dengan “melewatkan” hal-hal tersebut, kita bisa memiliki lebih banyak waktu untuk fokus dalam mengembangkan kemampuan yang benar-benar berarti. Misalnya, waktu yang biasa digunakan untuk scroll media sosial bisa dialihkan untuk muthola’ah, nderes, berdiskusi, atau membaca buku.

Terutama karakteristik setiap pelajar yang dinamis. Ada saatnya kita mengalami masa semangat sekali belajar dan ada saatnya kita jenuh atau sampai di titik lelah sekali dalam belajar. Ketika seseorang merasa jenuh atau lelah saat belajar atau mengerjakan sesuatu, maka diperbolehkan untuk istirahat sejenak dengan melakukan kegiatan bermanfaat lainnya. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas R.a. bahwa,

نَقَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ لِكُلِّ قَلْبٍ شَوْقًا وَفَتْرَةً، فَإِذَا كَانَتْ شَوْقَةٌ فَخُذُوا بِهِ، وَإِذَا كَانَتْ فَتْرَةٌ فَاقْعُدُوا

Artinya: “Ibnu Abbas meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: ‘Sesungguhnya setiap hati itu memiliki semangat (syauq) dan masa lelah (fatrah). Apabila kalian berada dalam keadaan semangat, maka manfaatkanlah dengan baik, dan apabila dalam masa lelah, maka istirahatlah”

Istirahat di sini bukan berarti membiarkan waktu terbuang sia-sia dengan over scrolling. Ketika seseorang merasa jenuh atau lelah saat belajar atau mengerjakan sesuatu, maka diperbolehkan untuk istirahat sejenak atau melakukan kegiatan bermanfaat lainnya. Artinya, kita bisa mengalihkan perhatian dari aktivitas yang kurang produktif seperti scroll media sosial ke kegiatan lain yang lebih bermanfaat.

Selain itu, ada dampak psikologis yang penting untuk diperhatikan. FOMO sering kali memicu overthinking karena seseorang merasa tidak cukup baik dibandingkan orang lain (Groenestein et al., 2024). Ketika melihat kesuksesan orang lain di media sosial, muncul keinginan untuk menjadi seperti mereka. Salahnya, keinginan menjadi berhasil itu tanpa disertai usaha yang sepadan. Hal ini hanya akan menimbulkan stres, kekecewaan, dan bahkan masalah kesehatan mental seperti kecemasan berlebihan. Sebaliknya, JOMO membantu seseorang untuk fokus pada perjalanan masing-masing.  Bagi para santri, JOMO bisa menjadi pintu untuk hidup lebih damai dan produktif.

Pada akhirnya, hidup adalah soal memilih. Kita bisa memilih untuk merasa FOMO dengan terus-menerus scrolling atau menemukan kedamaian dan fokus melalui JOMO. Dengan memahami bahwa hidup tidak harus selalu mengikuti tren, kita bisa lebih bahagia dan produktif. Termasuk bagi para santri, menjaga keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan tetap hidup dalam dunia nyata adalah kunci untuk mengahargai waktu dan menjadikan kehidupan yang barokah.

Oleh: Nabilatus Sa’adah (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)

Editor: Zakiyah Kibtiah

REKOMENDASI >