Oleh : Khusni Mukhamad*
Be-songo.or.id – Ilmu dalam tradisi Jawa akan dieksplorasi seturut paparan puzzle kata dan kalimat, seperti dalam Wedhatama, karya Ranggawarsita. Hal ini sebagai olah diri manusia untuk mengutuhkan laku-kediriannya, yakni sebuah laku (baca: suluk) mendayakan budi (sembah raga, cipta, Jiwa, dan rasa) manusia dalam bingkai perjalanan besar sangkan-paran hidupnya.
Berangkat dari gambaran tersebut menjadi “tahu”, seperti halnya kata “ilmu” itu diserap dari bahasa Arab, ternyata “ngilmu” dalam tradisi Jawa sebenarnya masih dipahami dalam kerangka tasawuf, setidaknya seperti tertuang dengan gamblang dalam teks-teks seratnya. Ngilmu atau ilmu adalah salah satu uji coba untuk sebuah eksplorasi menggali khazanah filsafat masyarakat itu sendiri. Melalui usaha ini, konsep ngilmu dalam tradisi Jawaakan bisa dipahami sebagai bangunan filosofis yang khas dan berbeda. Setidaknya muncul dari suatu pandangan masyarakat tertentu sebagai yang dihayati—sifatnya bisa berhubungan, pada saat yang bersamaan bersifat universal.
Dalam membahas konsep ngilmu, saya akan berangkat dari “Serat Wedhatama”. Di mana salah satu kutipan serat ini begitu terkenal, yakni “ngilmu iku kelakune kanthi laku”. Termasuk beberapa tambahan penjelasan serat, wirid, maupun suluk—seperti dikenal dalam perbendaharan genre sastra Jawa—untuk mengukuhkan dan menguatkan apa yang dapat dijabarkan maupun kerangkakan. Kemudian akan saya tunjukkan juga keterkaitan bahwa ngilmu masih dipahami dalam kerangka pandangan tasawuf, setidaknya tergambar gamblang dalam teks-teks seratnya.
Namun sayangnya, belakangan ini para sarjana Barat (juga orang Indonesia) berusaha sekuat tenaga untuk menempatkan ngilmu di luar dari kerangka bingkai pandangan dunia tersebut. Seakan jauh dari laku diri seseorang. Di mana peran Islam ketika serat itu ditulis sudah menjadi penyangga—meminjam bahasa Ricklefs—“penyatu identitas ke-Jawaan”. Dari hal ini kita bisa melihat, secara spesifik kita bisa melihat perbedaannya dengan filsafat Barat—karena masih menempatkan pandangan agama tertentu sebagai sebuah aksioma dalam merumuskan maupun suatu usaha mengeksplisitasi gagasannya, bahkan laku, mistik, maupun filosofisnya.
Dulu, para Wali Tanah Jawa menggunakan kata suluk untuk menamai sebuah genre tembang Jawa (terutama sekar alit) bernama macapat. Seperti diceritakan oleh Nancy K. Florida dalam “Writing Traditions in Colonial Java: The Question of Islam” (Michigan Press: 1997). Seorang antropolog yang berjasa besar memfilmkan dan mengkatalogisasi seluruh isi tiga naskah Jawa, yaitu Keraton Solo, Mangkunegaran, dan Radya Pustaka di tahun 1980an. Setidaknya ada dua genre dalam kesusasteraan Jawa. Pertama, berbentuk puisi-tembang bernama “suluk” (macapat), sedangkan yang kedua berbentuk prosa atau eksposisi teoritis disebut “wirid” (ini juga istilah penting dalam tasawuf). Beberapa karya misalnya, “Suluk Sontrang”, “Suluk lonthang”, “Wirid Hidayatjati”, dll
Penamaaan suluk (perjalanan) sebagai genre genre utama untuk menulis kesusateraan serat maupun babad di Jawa, terkonfirmasi dari makna seperti penamamaan yang sering kita kenal dalam tembang macapat, yakni Maskumambang dimaknai (dalam kandungan). Maskumambang merupakan metrum yang tergolong dalam tembang macapat. Maskumambang juga merupakan urutan pertama tembang macapat laliu disusul dengan metrum tembang Mijil.
Maksud dari tembang Maskumambang adalah penggambaran alam rahim yang dihuni oleh janin laksana emas terapung-apung (emas kang kumambang) dibaca Maskumambang. Janin dalam alam rahim digambarkan tengah menjalani kehidupan yang sangat sakral. Karena ia bukan sekedar mengembang dan menyempurnakan anatomi tubuhnya, melainkan proses penggemblengan ruhani berupa pengetahuan-pengetahuan yang kelak ia akurasi di alam kasunyatan atau zahir. Oleh karena perjalanan janin yang demikian sakralnya, maka kualitasnya sangat mulia bagaikan emas sebagai simbol keindahan dan kemuliaan.
Tahap beikutnya adalah Mijil (lahir). Mijil adalah metrum tembang macapat yang menggambarkan fase kelahiran. Mijil berarti ‘keluar’, ‘hadir’, atau ‘muncul’. Yakni munculnya si jabang bayi ke alam dunia. Dengan demikian, otomatis juga keluarnya si janin yang tadinya hanya bisa diraba-raba saat masih di alam batin menuju lahir yang sudah bisa diindra secara kasat mata dan disentuh tanpa perantara. Janin tidak hanya sekedar ditebak-tebak, tapi sudah benar-benar bisa disaksikan.
Sinom (anak muda), Kinanthi (ditemani -perkembangan ilmu dan moralnya-), Asmaradana (asmara), Gambuh (menikah), Dandhanggula (mengalami pasang-surut, jatuh-bangun kehidupan), Durma (mendermakan diri kepada masyarakat), Pangkur (mundur dan mengambil jarak atas gemerlap dunia), Megatruh (terlepasnya ruh kita, alias wafat), dan terkahir Pucung (jasad kita dibungkus kain kafan).
Pada dasarnya gambaran di atas adalah sebuah perjalanan (suluk) kehidupan manusia semenjak dalam kandungan hingga menuju kematian saat jasadnya di-pucung (dikafani). Sebuah lelaku menjalani sangkan paraning dumadi-Nya (kembali pada yang Sejati). Oleh karenanya, tembang-tembang macapat (sekar alit) sering diatribusikan kepengaranganya bahkan kepada para wali tanah Jawi, misalnya Durma dikarang oleh Sunan Bonang, Dhandhanggula dikarang oleh Sunan Kalijaga, Mijil dan Megatruh dikarang oleh Sunan Giri-Prapen, Maskumambang oleh sunan Majagung, dst.
Sebenarnya jika kita mau jujur memeriksa, memang tak ada genre macapat (sebagai sebuah tembang) di Jaman Majapahit—setidaknya secara defenitif, meski mungkin prototype sudah ada. Model kesusasteraan di Jaman Majapahit hanya mengenal setidaknya dua genre yakni genre Kakawin dan genre Kidung (juga ada satu lagi kesusasteraan Parwa). Menurut para Javanolog, seperti Zoetmulder, dipandang sebagai sebuah genre sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa-kawi yang berbeda dari bahasa Jawa modern di masa para wali tanah Jawa hingga Mataram, yang metrum tembangnya mengikuti rima suara panjang-pendek Sansekerta (India), alias berbeda dengan metrum macapat yang kita kenal hari ini.
Serat, suluk, wirid, dan babad—kesemuanya ditulis dalam format tembang-puisi macapat, kecuali wirid—sebenarnya jika kita jujur adalah merupakan produk di masa Jawa Islam. Dan bahkan diyakni sebagai hasil Ijtihad kebudayaan para wali Tanah Jawi, termasuk di dalamnya seperti wayang. Disebut macapat karena dalam perjalanan sangkan-paran-nya, atau bongkot-pucuknya manusia harus dengan sungguh memperhatikan unsur empat atau “membaca empat” (maca papat) yaitu nafsu dalam diri ruhaniyahnya (lawwamah/hitam, supiyah/kuning, amarah/merah, mutmainah/putih) atau sering disimbolisasikan dengan sedulur papat lima pancer, yang tersimpan di setiap individu seseorang.
Saat masih muda misalnya sinom, karena nafsunya yang masih menggelegak dalam usaha mengenali atau sedang mengeksplorasi kelebihannya sebagai manusia (jalan marga utama). Maka, seharusnya ditemani (kinanthi) perkembangan moral-spiritualnya dengan disiplin yang lebih bernuansa “hitam-putih” (syariat). Hal ini agar tidak kebablasan hingga menjerumuskannya pada jalan menyimpang yang merusak eksplorasi kelebihan kemanusiaan-nya.
Juga misalnya saat nikah (gambuh), adalah pranata sosial yang paling kuat sebagai kawah candradimuka yang memaksa seseorang untuk menundukkan ego dan diri rendah-nya. Karena akan diuji untuk suatu tanggungjawab lebih dalam usaha mencari penghidupan sebuah relasi masyarakat serta telah mengalami jatuh bangunnya proses (dhandhanggula) seperti yang memang menuntut sikap kedewasaan tertentu. Oleh karenanya, jika ia lolos dalam olah penundukan diri ini ia akan “bisa” mendermakan baktinya (durma) kepada sesama, karena telah lepas dan mengatasi pamrih diri dan egoisme diri rendahnya.
Penundukan diri tersebut merupakan bagian jenjang laku jasadi-ruhaniyah. Maka, orang Jawa mendisiplinkan laku penundukan ego semacam itu dengan (suluk/macapat) setidaknya dalam tiga hal. Pertama, yakni melalui disiplin strata bahasa berjenjang meninggi (bahasa ngoko-madya-krama-inggil) yang membuatnya sanggup menempatkan dirinya dalam skema andhap-asor (tidak menggunakan karma inggil untuk dirinya sendiri/ merendahkan diri sendiri). Juga disiplin gerak tubuh yang telah diatur dalam tata-krama dan unggah-ungguh (menunduk jika melewati orang tua, dll). Kedua, menajamkan atau tepatnya “menghaluskan rasa” melalui olah-seni dalam wujud gamelan, tari, dll agar bisa menundukkan karsa-tubuh dan gejolak rasa yang tak terkendali menuju tercapainya rasa halus. Ketiga, melalui jalan tapa, laku-prihatin, puasa, riyalat atau riyaḍoh seperti mengurangi makan-tidur-seks, mutih, kungkum, tarak-brata, lelana, dll.
Maka dari itu, dalam pengertian poin ketiga ini kata laku atau “lelaku” (spiritual) sering dilekatkan—persis seperti arti spesifik kata suluk dalam istilah tarekat. Karena ia sedang menunjukkan usaha penundukan nafsu empat dan egotisme diri rendahnya dalam sebuah perjalanan panjang sangkan–paran agar mulus menjalani lelakon hidup(Urip mung saderma nglakoni).
Sepanjang pengalaman saya membaca serat, suluk, babad, dan wirid dalam khasanah kesusateraan Jawa, saya menemukan bahwa seluruh ajaran pengetahuan dan ilmu Jawa berpusar pada pengetahuan ihwal mengenal akan diri sendiri, alias laku diri, yang sering dibahasakan secara berbeda seperti mawas dhiri, mulat sarira, hingga pangawikan pribadi. Yaitu sebuah usaha untuk mengenali dirinya sendiri dalam skema sangkan paran—tentu dengan cara menundukkan nafsu empat dalam dirinya (macapat), sehingga ia bisa mengutuhkan kedirian kemanusiaanya untuk menemukan dengan diri sejatinya (jati diri).
Agar ia bisa mengutuhkan atau menyempurnakan kemanusiaannya (janma utama atau insan kamil). Sebagaimana para leluhur kita dulu itu, capaiannya bukan semata pada makna, arti dan teges, melainkan beliau-beliau itu telah menembus hingga pada tahapan “surasa“. Dalam arti, Saya bisa merasakannya. Wallahu a’lam bisshowab.
*Mahasantri Darul Falah Besongo Semarang & Mahasiswa Prodi Manajemen Dakwah UIN Walisongo Semarang