Selasa (12/11), seperti agenda rutin biasanya, pondok pesantren Darul Falah Be-Songo menggelar halaqoh dwi mingguan. Halaqoh dengan tema “Menguak fakta dan mitos pernikahan di bulan Muharram” ini diikuti oleh seluruh santri putri. Untuk menghindari kelas gemuk, dibentuklah dua kelas yaitu kelas A yang bertempat di madin Raudlatul Jannah dan kelas B bertempat di aula ponpes Dafa Be-Songo blok B5 sebagai tempat berlangsungnya halaqoh rutinan tersebut. Keantusiasan terlihat di wajah para santri. “Iya, saya cukup tertarik dengan tema halaqoh pada malam hari ini”, jelas Eva, salah satu santri Dafa Be-Songo sekaligus peserta halaqoh.
Halaqoh yang dilaksanakan pukul 19.30 WIB sampai 20.30 WIB ini dibuka oleh Hanita Masithoh dan Wiwin Aryani, Departemen Pendidikan Minat dan Bakat ponpes Darul Falah Be-Songo, serta beberapa pengurus domisioner yang juga merupakan koordinator halaqoh. “Silakan memulai diskusi dengan kelompok masing-masing selama sepuluh menit”, ujar salah satu koordinator diskusi. Halaqoh dilanjutkan dengan presentasi oleh kelompok sepuluh yang keluar sebagai narasumber.
Muharram dari berbagai sudut pandang
Dari kacamata agama, dijelaskan bahwa Muharram adalah bulan yang dimuliakan selain bulan Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, dan Rajab. Seperti tercantum dalam surat At Taubah ayat 36 berikut:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةحُرُم
Artinya: “Sesungguhnya jumlah bulan di Kitabullah (Al Quran) itu ada dua belas bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram” (QS. At Taubah: 36)
Muharram sendiri berasal dari huruf mim (mujtahid fin nafsi), ha (hifdzul hurmah), ra (ridhallah), mim (mahabbatullah). Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Selain disebut sebagai Syahrullah (Bulan Allah), bulan Muharram juga salah satu dari asyharul hurum atau bulan-bulan yang dimuliakan. Diantara keutamaannya yaitu dilipatgandakannya pahala ketika beribadah serta dihapuskannya dosa. Di bulan ini juga dilaksanakan puasa istimewa yang biasa disebut puasa tasu’a dan ‘asyuro pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Umat Islam sangat dianjurkan untuk bersedekah terutama kepada yatim piatu di bulan ini.
Muharram dari segi budaya, khususnya Jawa, memiliki makna yang berbeda. Dalam kalender jawa, Muharram dikenal dengan istilah bulan Suro. Masyarakat Jawa meyakini bahwa bulan ini adalah bulan keramat, sehingga tidak diperbolehkan mengadakan acara yang bersifat sakral seperti pernikahan, khitanan, ataupun membangun rumah. Dalam hal pernikahan misalnya, masyarakat percaya bahwa pasangan yang menikah di bulan Suro maka akan menimbulkan kematian dari salah satunya.
kepercayaan tersebut berawal dari maklumat raja-raja terdahulu yang melarang rakyat jelata untuk mengadakan acara di bulan tersebut. Masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Pantai Selatan menganggap bahwa bulan Suro adalah bulannya Nyi Roro Kidul sehingga mereka tidak berhak untuk melakukan acara apapun di bulan tersebut. Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa awal mula masyarakat menyebut bulan Muharram bulan sial adalah karena beberapa kejadian buruk yang terjadi di bulan itu pada jama dahulu. Sehingga sampai sekarang, masyarakat meyakini akan terjadi malapetaka jika mengadakan acara di bulan Muharram. Bahkan, masyarakat cenderung melakukan ritual-ritual khusus pada bulan Muharram, seperti ngumbah gaman (mencuci barang pusaka), mandi kembang, dan mandi di grojogan yang dianggap keramat.
Sedangkan fakta yang benar-benar terjadi di bulan Muharram merupakan suatu sugesti atau keyakinan yang sangat kuat, bukan karena bulan Muharram itu sendiri. Pada akhir penjelasan, narasumber menyampaikan bahwa tradisi itu berkembang pada daerah tertentu dan muncul karena adanya kebutuhan. Maka sebagai seorang muslim, hendaknya percaya bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah SWT.
(Hanita Masithoh)