Dalam Isra’ Mi’raj, perjalanan mistiknya, Nabi Muhammad bertemu dengan para utusan Allah yang terdahulu. Pertemuannya dengan para utusan ini bukan tanpa sebab. Dalam banyak riwayat, kita disuguhkan beberapa kali mengenai dialektika yang terjadi antara Nabi dan orang-orang pada masa itu, baik para Sahabat, maupun orang-orang non Muslim. Dialektika itu, kerap kali membahas mengenai hubungan para Rasul dan bahkan perbandingan para Rasul terdahulu yang dianggap berbeda dengan kerasulan Nabi Muhammad. Tak pelik, hal ini disebabkan oleh kaidah-kaidah dakwah nabi yang sangat Rahmatan Lil Alamin di mana adzab atau siksa yang diberikan tidak secara langsung ataupun mukjizat Nabi yang dianggap kurang overpower seperti para Rasul terdahulu.
Oleh karena demikian, seperti yang disebutkan oleh KH. Ahmad Baha’uddin Nur Salim al-Hafidz, bahwa dialektika nabi dengan para utusan kekasih Tuhan dalam peristiwa Nabi Muhammad adalah dialektika intelektual dalam rangka menyambung sanad muktabar muttashil kenabian yang sudah lama menghilang. Mushaddiqan Lima Baina Aidihim. Juga cara Allah dalam mengasah kemampuan dan hati Nabi. Agar tradisi Nabi Muhammad sama dengan tradisi kenabian karena mereka memiliki platform yang sama. Hal ini bahkan terlihat, seperti ketika nabi mengikatkan tali kendaraaannya (Buraq) di tempat yang sama dengan para Nabi terdahulu mengikatkan talinya. Kanjeng Nabi yang mengimami shalat di Masjidil Aqsha juga merupakan salah satu simbol, bahwa ajarannya adalah Wahdaniyyat bersatu dan sebagai pelengkap atau penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya.
Pertemuan para kekasih kemudian diawali di langit pertama, Nabi Muhammad dipertemukan dengan Nabi Adam. Nabi adam ini merupakan Nabi sekaligus manusia pertama yang diciptakan. Dalam memaknai pertemuan ini, maka penulis meminjam filosofi Jawa, “sangkan paraning dumadi”. Bahwa manusia itu hendaknya mengetahui asal usulnya dan mengetahui ke mana ia akan kembali. Manusia hendaknya memiliki tujuan dalam melakukan segala sesuatu. Manusia hendaknya memiliki nilai-nilai teknokratis yang sesuai dengan keluhuran. Menyadari kenapa dan bagaimana ia diciptakan, sehingga memiliki Tujuan yang jelas dalam kehidupannya.
Di langit kedua, pertemuan kekasih antara Muhammad, Yahya, dan Isa terjadi. Yahya dan Isa adalah kekasih yang masih muda. Mereka memiliki gairah muda dan kesiapan dalam berkorban. Memaknai pertemuan kali ini, kita diajak untuk memiliki semangat pantang menyerah. Memiliki ambisi besar, dan rela berkorban. Namun, seperti riwayat mengenai kenabian Yahya dan Isa, ambisi yang besar tidak boleh terlepas dengan ikhtiyar luar biasa. Seperti Kisah Nabi Yusuf, yang ditemui di langit ketiga. Seorang pekerja keras. Kisah hidupnya penuh lika liku, dan beliau mampu survive hingga akhirnya mencapai derajat kemulyaan.
Dilangit keempat, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Idris. Seorang yang cerdas dan dianggap sebagai filosof pertama. Dikisahkan juga, beliau lah yang menemukan sandal, peniti, dan lainnya. Masyhur kecerdasan beliau. Oleh bangsa barat, beliau disebut sebagai Hermes. Beliau adalah perlambangan akal budi. Sehingga sudah seharusnya kita memaknainya sebagai perintah untuk menggunakan akal pikiran kita untuk berikhtiyar, supaya tujuan kita terarah dengan benar. Artinya selain kerja keras, kita juga harus kerja cerdas. Pertemuan dilangit kelima, beliau bertemu dengan Nabi Harun, seorang Nabi saudara Nabi Musa yang senantiasa menemani Nabi Musa, karena konon Nabi Musa tidak dapart berbicara dengan lancar. Pada saat ditemukan Fir’aun, musa kecil diuji oleh para penyihir Fir’aun untuk menentukan apakah dia musuh atau tidak dengan memilih bara api atau roti. Alhasil, kemudian Nabi Musa ketika diangkat menjadi utusan, dia mempromosikan Harun untuk kemudian diangkat menjadi Nabi dan menemaninya. Karena itu, karakter yang dapat diambil dari Harun adalah, bagaimana kita harus mampu bersosialisasi dengan komunikasi, berbagi, dan kemampuan menyampaikan segala sesuatu apa yg menjadi tujuan kita.
Di langit keenam, pertemuan paling epic Nabi Muhammad saat perjalanan Isra’ Mi’raj. Di sini, dialektika yang dilakukan cenderung lebih banyak. Karakter Musa yang sangat kritis dan intelektual sehingga terkenal kisah antara Musa dan Khidir sebagai perjalanan intelektual. Selain itu, karakter Musa yang tangguh juga sudah sangat fenomenal dikisahkan dikalangan penganut agama samawi. Dibalik itu semua, Nabi Musa adalah sosok yang sangat membela kaum yang tertindas, melindungi yang lemah. Karakter ketawadlu’an yang Harus kita contoh dalam menjaga Amanah Kemanusiaan dan kehambaan. Sosok selanjutnya yang ditemukan oleh Nabi Muhammad adalah bapak para Anbiya’, Nabiyullah Ibrahim. Sosok Nabi yang penuh Tawakkal, istiqomah, kepasrahan kepada Allah. Kemudian kisah pengorbanan terbesar beliau untuk mengikhlaskan putra beliau untuk dikurbankan kepada Allah menunjukkan keteguhannya dalam melaksanakan perintah dan ketetapan Allah sekaligus menunjukkan makna ketaqwaan dan keimanannya sebagai pelajaran bagi umat manusia.
Semua hikmah dari pertemuan kekasih itu tidak lain adalah untuk memberikan pelajaran dari seluruh sosok kekasih Tuhan yang masing-masing karakternya dapat diambil ibrahnya serta menjadi petunjuk dari jalan kehidupan umat. Baik dalam karakter beragama atau kesalehan secara ritual maupun sosial.
Oleh: Ulis Syifa’ Muhammadun (Santri Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)