Be-songo.or.id

Muhadloroh Ammah 2025: Membangun Talenta Santri untuk Mengabdi pada Ilahi

Sabtu 9/2/2025 Pondok Pesantren Darul Falah Besongo mengadakan muhadloroh ammah yang menjadi acara puncak dari serangkaian kegiatan Pasca Liburan (PASCALIB). Muhadhoroh Ammah yang menghadirkan tokoh karismatik dan sekaligus merupakan salah satu  dosen Fakultus Ushuludin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang, yaitu Dr. KH. Abdul Muhayya, M.A. diikuti oleh seluruh santri beserta dewan guru dengan sangat khidmat.  Acara ini juga sekaligus memantik semangat para warga pesantren, baik santri ataupun jajaran dewan guru yang akan mulai kembali menghadapi kegiatan belajar-mengajar.

Muhadloroh ammah kali ini, selain diikuti oleh seluruh santri dan jajaran dewan guru, tentunya juga dihadiri oleh pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Besongo, Abah Prof. Dr. KH. Imam Taufiq, M.Ag. dan Umi Prof. Dr. Hj. Arikhah, M.Ag.. Abah Imam dalam sambutannya juga menyampaikan bahwa berahirnya rangkaian acara pascalib menjadi tanda bahwa kegiatan mengaji akan kembali dimulai.

”Antusias dan semaraknya para santri mengikuti kegiatan pascalib menggambarkan bahwa kegiatan mengaji juga sudah tidak bisa ditunda lagi. Mudah-mudahan semangat ini, dan juga niatan khidmah ilmu ini mendapatkan ridho dari Allah Swt.” Ujar beliau menegaskan.

Pada kesempatan kali ini, Dr. KH. Abdul Muhayya, M.A. sebagai narasumber memberikan petuah-petuah yang harus dimiliki seorang santri dalam upaya  mendekatkan diri pada ilahi. Berbicara tentang santri, perlu kiranya mengetahui terlebih dahulu apa dan siapakah itu santri? Secara substantif santri dapat dikatakan sebagai  calon ulama yang memiliki integritas, yang mampu untuk bertanggung jawab, teguh pada pendiriannya namun  tidak bersikap kaku terhadap perubahan, serta mampu bersikap secara objektif atas segala sesuatu yang tejadi.

”Terdapat lima indikator calon ulama yang memiliki nilai integritas yaitu meliputi Abid, Zahid, Alim ilmu-ilmu akhirat, faham tehadap kemaslahatan umat, serta kepandaiannya mencari ridho Allah Swt..  Santri harus memiliki bekal keagamaan yang memadai, sehingga santri itu tidak hanya duduk berdiam diri, tetapi harus disibukan untuk memperkaya dirinya dengan ilmu pengetahuan.” Ujar Dr. KH. Abdul Muhayya M.A melanjutkan.

Indikator calon ulama pada diri santri yang pertama, Abid, yaitu seseorang yang ahli dalam ibadahnya, dalam artian harus mepunyai ilmu yang cukup dalam menjalankan syariat-syariat agama. Kedua, Zahid, yaitu lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Ketiga alim ilmu-ilmu akhirat, pandai dan paham mengenai ilmu akhirat, yaitu ilmu tentang bagaimana manusia kembali kepada Allah. Keempat, faham terhadap kemaslahatan umat, santri diharuskan memahami permasalahan yang sering dihadapi dalam bermasyarakat, terutama dengan perkembangan teknologi dan segala kemudahan atas akses yang dapat menjadikan kelalaian akan kemudahan itu sendiri. Dalam hal ini, para santri juga berperan untuk menjaga nilai dirinya sebagai seorang santri agar tidak mudah terbawa arus perkembangan zaman kebarat-baratan. Kelima, kepandaiannya digunakan untuk mencari ridho Allah Swt..

Perbincangan mengenai talenta tidak bisa dilepaskan dengan bakat pribadi santri. Maka para santri sangat perlu sekali untuk terus mengembangkan bakatnya dan mengetahui tujuan akhir dari bakat itu sendiri. Sebab hal yang berkaitan dengan potensi sangat diperlukan pendidikan dan pelatihan agar terciptanya lima karakter seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Santri harus diberikan kesempatan untuk berlatih dan mengasah kemampuan, serta mengembangkan potensi tersebut secara luas.

Acara yang diikuti oleh para santri dengan sangat antusias ditutup dengan penyampaian Dr. KH. Abdul Muhayya, M.A. mengenai salah satu tantangan yang dihadapi oleh hampir semua kalangan terutama para santri sebagai Gen-Z, yaitu sulitnya untuk mengenali diri sendiri. Hal tersebut disebabkan kelemahan dari Gen-Z itu sendiri yang cenderung lebih menginginkan segala sesuatu secara instan. Oleh sebab itu diperlukan mengenali hakikat diri sendiri, agar tidak terjebak dengan kesenangan yang sesaat atau terbawanya arus yang dapat kita kenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out).

Tidak ada salahnya mengikuti perkembangan zaman yang begitu pesat, namun untuk membentengi diri perlu menjaga nilai-nilai dan setiap prilaku dengan memanifestasikan akhlakul karimah. Sehingga jati diri seorang santri tidak hilang ditempa oleh nilai tradisi. Selain itu, memanfaatkan perkembangan dengan maksimal bahwa dengan segala akses kemudahan para santri memiliki peluang lebih besar dalam mensyiarkan nilai-nilai keislaman diera digital dan era media sosial.

Seperti yang diungkpakan oleh Dr. KH. Abdul Muhayya, M.A bahwa ” Al-Muhafadhotu ala Qodimis Sholih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah, menjaga tradisi terdahulu yang baik, serta mengambil hal baru yang lebih baik.”  dalam memahami kaidah tersebut tidak dengan sebuah ke-fanatikan dalam artian bersikap kaku yang menolak sebuah perubahan. Namun penerapannya dapat dilakukan sesuai dengan perkembanagn masanya namuun tidak dengan meninggalkan nilai-nilai kesantrian.

Oleh: Bagas Saras Siti Marfuatun (Santriwati Ponpes Darul Falah Besongo)

Editor: Zakiyah Kibtiah

REKOMENDASI >