Be-songo.or.id

Ngaji Kitab Minhajul Muta’allim: Merantau, Mengaji, dan Niat yang Ikhlas

Sumber Media : Pondok Pesantren Darunnajah

Di tengah jeda semester, suasana pengajian tetap hidup di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo. Meski sebagian santri berada di rumah, semangat menuntut ilmu tetap terjaga melalui pengajian hybrid yang diampu Ustadz Badruz. Dalam kajian kitab klasik Minhajul Muta’allim karya Imam al-Ghazali, tersirat pesan mendalam tentang keikhlasan, pengorbanan, dan pentingnya niat lurus dalam perjalanan menuntut ilmu.

Selasa, (15/7) menjadi momen istimewa bagi santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo. Melalui sesi pengajian kitab yang diselenggarakan secara daring lewat Google Meet, Ustadz Badruz menguraikan salah satu bab penting dalam Minhajul Muta’allim. Kitab klasik ini tak hanya berisi panduan teknis belajar, tetapi juga menanamkan fondasi spiritual dan etika bagi setiap pencari ilmu. Tema yang dikaji kali ini adalah “bepergian atau merantau dengan niat yang ikhlas”, sebuah prinsip dasar dalam dunia santri yang masih terus relevan hingga kini.

Di tengah perubahan zaman dan pola belajar, nilai-nilai keikhlasan dan pengorbanan tetap menjadi ruh utama dalam menuntut ilmu. Kajian ini menjadi refleksi penting, bahwa belajar bukan sekadar mengisi kepala, tetapi juga mendidik hati. Dalam konteks pengajian hybrid yang menyatukan ruang fisik dan digital, pesan keikhlasan itu justru menemukan gaungnya yang lebih luas: bahwa ilmu sejati hanya akan hadir kepada mereka yang sungguh-sungguh mencarinya, dengan niat yang tulus dan tujuan yang lurus.

Merantau untuk Ilmu: Tradisi dan Spirit Pengembaraan Santri

Dalam pengajian tersebut, Ustadz Badruz mengingatkan bahwa merantau adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan seorang santri. Menurutnya, meninggalkan kampung halaman demi menuntut ilmu bukan sekadar tradisi, tapi juga bentuk ikhtiar yang bernilai ibadah.

Para santri Darul Falah Besongo yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia adalah contoh nyata bagaimana semangat pengembaraan ilmu itu tetap hidup. Dalam konteks ini, perjalanan fisik menjadi simbol dari perjalanan batin. Mereka meninggalkan zona nyaman untuk mendekat pada cahaya pengetahuan.

Imam al-Ghazali kemudian mengutip Surah Al-Ahzab ayat 4 sebagai penekanan pentingnya fokus dalam menuntut ilmu. “Allah tidak menjadikan seseorang memiliki dua hati dalam rongganya,” demikian makna ayat tersebut. Artinya, seorang santri harus menetapkan satu tujuan dalam hatinya, yakni belajar dengan sepenuh hati. Jika hati terbagi, maka ilmu sulit meresap.

Bahkan, Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu tidak akan memberikan dirinya kepada seseorang kecuali orang itu bersedia memberikan dirinya secara total kepada ilmu. Maka, kehadiran fisik dalam ruang pengajian—meski kini sebagian secara daring—tidaklah cukup, tanpa disertai hadirnya hati dan niat yang utuh.

Spirit merantau ini juga menjadi bukti bahwa ilmu membutuhkan pengorbanan. Tidak semua hal bisa diperoleh tanpa meninggalkan yang lain. Dalam konteks kehidupan santri, ini berarti meninggalkan kampung halaman, kenyamanan rumah, bahkan hiburan duniawi. Tetapi semua itu tak akan sia-sia jika dibarengi dengan niat yang benar. Merantau menjadi bentuk hijrah intelektual, sebuah perpindahan dari ketidaktahuan menuju cahaya pengetahuan.

Memurnikan Tujuan dan Menjaga Hati

Setelah menekankan pentingnya merantau, Ustadz Badruz menukik pada aspek yang lebih mendalam: niat yang ikhlas. Menurut beliau, niat adalah pondasi utama dalam menuntut ilmu. Seorang santri harus meniatkan belajarnya demi mencari ridha Allah dan kebaikan akhirat. Bukan untuk popularitas, pujian, atau kekuasaan.

Imam al-Ghazali menulis bahwa niat belajar seharusnya untuk menghilangkan kebodohan, baik dari diri sendiri maupun orang lain, serta untuk menegakkan agama melalui penyebaran ilmu. Belajar adalah bentuk rasa syukur atas nikmat akal dan kesehatan yang diberikan Allah SWT.

Ustadz Badruz menegaskan bahwa niat juga menjadi pembeda antara ilmu yang membawa keberkahan dan ilmu yang hanya menjadi beban. Dalam dunia pesantren, banyak kisah para ulama besar yang mencapai maqam tinggi justru karena kemurnian niatnya sejak awal. Mereka tidak belajar untuk dipuji atau dihormati, tetapi karena ingin berkontribusi dalam membela kebenaran dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Dalam pengajian itu, disampaikan pula kisah dari Hammad rahimahullah, guru dari Imam Abu Hanifah. Hammad menyatakan bahwa orang yang menuntut ilmu demi akhirat akan dibukakan jalan hidayah oleh Allah. Sebaliknya, mereka yang belajar demi keutamaan-keutamaan duniawi justru akan kehilangan arah. Maka, penting bagi seorang santri untuk terus memurnikan niatnya, karena niat yang salah bisa mengaburkan cahaya ilmu itu sendiri.

Di era digital yang serba cepat ini, godaan validasi sosial dan pencitraan sangat besar. Namun santri dituntut untuk tetap teguh: belajar untuk Allah, bukan untuk feed media sosial atau sorotan dunia.

Menghidupkan Tradisi, Menyemai Niat

Pengajian kitab Minhajul Muta’allim di Pesantren Darul Falah Besongo menjadi cerminan bahwa tradisi intelektual Islam tidak pernah usang. Di tengah libur semester dan pembelajaran jarak jauh, semangat ngaji tetap menyala, menyambungkan generasi hari ini dengan warisan ulama salaf. Merantau dan niat ikhlas bukan hanya ajaran lama, melainkan prinsip abadi yang terus relevan. Dengan hati yang jernih, niat yang tulus, dan tekad belajar yang kokoh, para santri masa kini menjadi bagian dari mata rantai keilmuan

Oleh : Wahyu Hidayat (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)

Editor : Siti Aniqotussolehah

REKOMENDASI >