Selagi kita sedang berada di masa liburan kuliah, banyak dari kita yang pulang ke rumah-kembali ke tempat di mana semuanya berawal, di bawah atap yang sama dengan orang tua.
Selagi waktu masih ada, mari cari sudut yang nyaman. Duduk sejenak, tenangkan diri, atur napas perlahan. Mari kita baca tulisan ini bersama dan merenung.
Akan ada masanya, siapa pun kita, sesabar apa pun diri kita, mulai merasa berat, bahkan lelah, dalam menghadapi orang tua.
Entah kita masih sendiri, atau sudah berkeluarga, hidup yang semakin kompleks dan rutinitas yang menumpuk bisa saja membuat kita merasa terbebani.
Sejak saat itu, kita mulai melupakan satu hal penting:
Bahwa tak ada satu pun manusia yang sempurna-termasuk mereka yang telah lebih dulu mendewasa.
Orang tua kita, yang hidupnya terkadang hancur berantakan, hanya demi memastikan kita bisa bertahan, bahkan melangkah lebih jauh.
Kita lupa, bahwa tidur nyenyak, makan enak, sekolah tinggi, semua itu tidak datang begitu saja.
Hal-hal yang sekarang terasa biasa, dulu mereka upayakan dengan luar biasa.
Kita terbiasa menerima, sampai kita lupa caranya menghargai.
Kita terlalu sering mendapatkan, hingga terlupa bahwa semua itu ada harga yang mereka bayar dengan keringat dan juga air mata yang terkadang tak sempat mereka tunjukkan di depan kita.
Selama ini, kita menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Tapi bagaimana dengan orang tua kita?
Mereka adalah pahlawan sepanjang masa.
Dan lebih dari itu, ridha mereka adalah jalan menuju surga.
Persaingan kita bukan cuma soal pasangan, jabatan, ataupun harta,
tetapi juga umur orang tua kita yang terus berjalan, perlahan namun pasti.
Sementara kita Terlalu sering berkata, “Nanti dulu ya, Yah… Bu… Masih banyak urusan…”
Kita lupa, bahwa kematian tak pernah menunggu kita siap.
Suatu hari nanti, bisa jadi mereka tak lagi mengetuk pintu kamar, tak lagi menunggu kita pulang, tak lagi ada yang menelepon hanya untuk bertanya: “Sudah makan, Nak?” “Sudah salat, Nak?”
Di masa tua mereka, suara mulai melemah, langkah melambat, pertanyaan-pertanyaan berulang.
Kadang emosinya tak menentu, dan kita pun merasa lelah.
Kita mulai bertanya-tanya: “Kenapa jadi menyusahkan?”
Lalu diam-diam, kita mulai menjaga jarak…
Merasa bosan, bahkan mungkin enggan mengurus mereka.
Namun, tunggu sebentar…
Bukankah kita dulu juga seperti itu?
Bukankah kita pun pernah cerewet, manja, bahkan tak tahu diri?
Dan mereka tetap memeluk kita dengan penuh kehangatan,
Memandikan, menyuapi, menimang, mendampingi kita, tanpa pernah mengeluh.
Sekarang, ketika posisi itu berganti…
Kenapa kita menjadi asing?
Kita boleh lelah. Kita manusia.
Tak apa jika suatu waktu ingin berkata,
“Ayah, Ibu… Aku lelah. Aku punya banyak tanggungan. Aku juga punya kehidupan sendiri.”
Tapi mohon, jangan lupa…
Dulu mereka juga lelah.
Mereka juga punya hidup sendiri.
Tapi, kita adalah isi dari hidup itu.
Sadarkah kita?
Allah tak selalu menguji kita lewat orang-orang yang kita benci.
terkadang justru lewat mereka yang paling kita cintai.
Orang tua yang seperti malaikat, tapi kita yang memperlakukan mereka seperti beban.
Siapa pun bisa bersabar terhadap orang asing.
Tapi orang yang benar-benar beriman adalah mereka yang tetap lembut pada orang tua yang mulai rapuh.
Allah berfirman dalam Surah Al-Isra ayat 23:
“Dan jika keduanya (orang tuamu) telah mencapai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada mereka perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Hanya kata “ah” saja Allah larang.
Karena itu bukan sekadar ucapan kecil,
Melainkan tanda bahwa hati kita mulai kehilangan ketulusan.
Kita tak pernah tahu, seberapa lama lagi waktu kita bersama mereka.
Banyak di antara kita yang baru menyesal setelah semuanya terlambat.
Bukan karena tidak sempat membahagiakan mereka,
Tapi karena terlalu lama menganggap kehadiran mereka sebagai beban.
Dan saat mereka telah tiada…
Yang tersisa hanyalah pusara dan doa.
Percakapan satu arah di atas tanah merah,
Tanpa pernah mendapat jawaban lagi.
Sungguh…
Bukan mereka yang berubah.
Tapi kitalah yang mulai mengenal mereka.
Kita hidup seolah tanpa arah,
Karena hati kita mulai lupa akan ridha yang terarah.
Jika hari ini kita masih bisa menatap wajah mereka,
Masih bisa mendengar nasihat mereka,
Itu bukan beban.
Itu adalah kesempatan.
Lihatlah saat mereka tidur…
Ada rambut yang telah memutih,
Kulit yang mulai keriput,
Bahu yang dulu kokoh kini perlahan turun,
Dan lelah yang mereka sembunyikan,
Agar kita tak merasa terbebani.
Sekali lagi, dari hati ke hati…
Mari kita jaga mereka.
Mari kita lunakkan suara, ringankan tangan, dan panjangkan sabar.
Jangan tunggu kehilangan baru merasa bersalah.
Jangan tunggu semuanya terlambat untuk menyesal.
Karena rida mereka… adalah surga kita.
Oleh : Abdus Salam Bariklana (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang)
Editor : Siti Aniqotussolehah