Oleh Imam Mawardi
Kertas usang itu teronggok bisu di atas tumpukan bunga-bunga dan dedaunan, gundukan tanah merah di bawahnya terlihat masih basah. Baru satu jam yang lalu seseorang duduk di samping gundukan tanah itu sambil menangis tersedu-sedu setelah membaca kertas itu dan meremasnya. Tangan kirinya menggenggam erat cincin emas, takut jika sewaktu-waktu seseorang mengambil cincin itu dari tangannya. Pertanyaannya, ‘Apa isi surat itu?’.
***
Mobil bak terbuka yang aku tumpangi melaju cepat membelah jalanan Pantura yang sepi, dengan mata sedikit terpejam aku duduk sambil menikmati sepoy angin yang menembus pori-pori kulitku. Mataku tiba-tiba terbuka ketika mobil mendadak berhenti, kujulurkan kepala berpeciku kedepan sebentar, sambil melihat keadaan di depan mobil.
“Ada apa Kang?” Tanyaku pada sopir mobil ketika melihat antrean panjang mobil yang sudah menjadi pemandangan biasa di jalanan Pantura saat jam berangkat kerja.
“Tidak tau saya Den, Aden mau lanjut atau mau turun di sini. Tinggal satu kilo saja sampai pesantren?”
“Saya turun sini saja, Kang, terima kasih,” Ucapku seraya melompat turun dari mobil bak terbuka itu.
Pandangan mata coklatku fokus kearah depan. Beberapa pemuda bersarung dengan setelan baju koko putih dan berkopyah hitam, sambil merangkul kitab kuning tebal—yang aku tidak tau namanya—mulai menyebrang jalanan besar yang ada di hadapanku. Wajah-wajah mereka bercahaya, meski satu-dua terlihat dekil. “Adik mau kemana?” Tanyaku pada anak kecil berbaju koko putih yang kebetulan melintas di sampingku.
“Eh Akang ini bagaimana? Kita semua kan mau ke makam Mbah Yai, mau tahlilan. Akang lupa ya?” Ucapnya sumringah, hingga terlihat giginya yang tanggal dua. Aku hanya menjawab dengan anggukan selangkah mengikuti anak kecil itu dari belakang.
Mereka semua memang berbondong-bondong menuju makam yang terletak di sebelah utara jalan. Bak dengungan gerombolan tawon, makam itu ramai dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang menggema memenuhi seluruh area makam, menggetarkan setiap kalbu manusia yang mendengarnya. Hatiku bergetar sehebat-hebatnya, air mataku mengalir setetes demi tetes, ini kali pertama aku menangis sejak kematian sosok ibu yang telah meninggalkanku untuk selama-lamanya lima tahun lalu. Anak kecil disampingku tadi menatapku tak berkedip, “Kenapa Kang?” Tanyanya sambil tetap memandangiku.
“Tidak apa Dik. Eh, nanti bisa antarkan Akang kerumah Kiai?” Pintaku padanya sambil melemparkan senyum, anak kecil itu menyodorkan jempol tangannya pertanda Iya. kulihat anak kecil itu kembali khusyuk membaca ayat-ayat suci Al-Quran, begitu juga denganku.
***
“Ini rumahnya Kiai, Kang. Tunggu saja, nanti ada yang bukain. Saya pamit dulu kang mau ngaji,” Ucap anak kecil itu sambil berjalan mundur selangkah demi langkah meninggalkanku sendirian. Beberapa menit berlalu, sesosok perempuan bercadar hitam dengan dipadu jilbab merah muda membuka pintu rumah Kiai. “Ass… assalamu’alaikum,” Ucapku itu ragu.
“Wa’alaikummussalam Warahmatullah, mau cari siapa Kang?” Tanya perempuan itu dengan pandangan mata tertunduk, tanpa sedikitpun mengarah padaku.
Hati pemuda itu berdesir, sungguh bidadari mana yang telah dengan senang hati menemuinya sore ini, ataukah memang ia yang berkunjung ke surga? Tanyanya dalam hati. Tak lama, lamunannya itu dibuyarkan oleh suara deheman kecil dari bidadari bermata bening tersebut.
“Oh maaf, saya ingin bertemu dengan Kiai,” Ucap pemuda itu. Gadis itu mengangguk dan menyuruhnya duduk, lalu berjalan kedalam untuk memanggil kiai. Setengah jam lagi menunggu, akhirnya seorang laki-laki sepuh keluar menemuinya, cara berjalan dan garis wajahnya mengisyaratkan umurnya kurang lebih 60 tahun-an, beliau menyuruh pemuda itu duduk di hadapann
“Namamu siapa Le?” Tanya beliau.
“Uwais Kiai,” Jawabku sambil tertunduk.
“Apa gerangan yang mengantarkanmu ke sini?” Tanya Kiai sekali lagi. Wajahnya selalu tersenyum sejak tadi, bukan senyum meremehkan atau menghina, tapi senyum ramah itu adalah senyum sambutan untuk kebaikan.
“Saya mencari mencari sesuatu yang disebut hukmah, Kiai. Bukan hanya dengan membaca buku dan menguasai ilmu pengetahuan, karena pada kenyataannya saya belum menemukan kebenaran,” Jawab pemuda itu dengan tegas. Sosok berjenggot putih itutersenyum mendengar penuturan Uwais, beliau menjawab “Aku hanya bisa menuntunmu Le, tapi aku tak bisa memberikannya, karena hanya Allah lah yang bisa memberikannya. Carilah apa yang kau cari disini, selama kau mampu mencarinya!” Senyuman Uwais mengembang, terlihat pas sekali di rahang kokohnya.
Sejak saat itu ia resmi menjadi santri di pondok pesantren itu. Hari-harinya ia habiskan dengan khidmah kepada keluarga ndalem, ia juga membantu akang-akang pengurus seperti memasak untuk para santri, juga membersihkan semua kamar-kamar mandi yang kotor pada malam hari sendirian. Hampir semua santri putra tak pernah melihat sosok Uwais mengaji, ia lebih disibukkan dengan alat-alat kebersihan yang selalu setia berada di tangannya. Para santri putra hanya melihat dia datang ke majlis pengajian hanya untuk menyapu tempat mengaji dan mempersiapkan tempat duduk untuk para Kiai atau ustadz yang mengajar, setelah itu ia akan kembali pada rutinitasnya yaitu bersih-bersih.
Mungkin para santri mengira sosok Uwais adalah sosok periang, ramah, rajin, tetapi anti pada yang namanya kaum Hawa, tak pernah meraskan cinta. Tapi nyatanya, sejak kedatangannya di pondok pesantren ini ia telah jatuh cinta pada salah seorang kaum Hawa yang juga menjadi santri tetap disini. Benih-benih cinta itu tumbuh dengan subur seiring berjalannya waktu. Cinta yang sangat suci, hingga syaithon pun tak mampu mengelabuhi cinta itu. Cinta Uwais selalu terukir indah di sepertiga malam yang akhir, ketika para malaikat turun, ketika Sang Pencipta mengabulkan semua doa-doa hambanya yang bersujud kepadanya, karena Uwais percaya ‘Ketika seseorang mencintai kebenaran, maka kebenaran akan mencintainya’.
Hingga pada suatu pagi, seorang santri tergopoh-gopoh menemuinya ketika sedang mengurus salah satu saluran Grojogan Sewu—nama lain septic tank di pesantren—di pesantren yang tersumbat. Santri itu menyampaikan salam dari Kiai agar Uwais menggantikan beliau mengajar kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illahdi masjid pesantren. Awalnya Uwais hendak menolak, Ia merasa tidak pantas menerangkan kitab yang levelnya tinggi itu untuk menggantikan Kiai, tapi setelah santri itu bilang bahwa itu perintah Kiai, dan dia disuruh datang ke ndalem setelah pengajian selesai, maka Uwais pun mengiyakan perintah yang bagai ultimatum yang tidak bisa ia tolak tersebut.
***
Pagi itu suasana masjid pondok sangat ramai, hampir seluruh santri putri dan santri putra berkumpul untuk menyaksikan pengganti Kiaiuntuk mengajar kitab Al-Hikam. Sebagian santri putra terkejut ketika melihat pengganti Kiaiadalah sosok yang jarang dan hampir tidak pernah datang ke majlis ilmu itu. Sebagian santri putri malah terkagum-kagum pada sosok Uwais, sosok yang selalu disebut-sebut oleh keluarga ndalem karena sifat khidmahnya yang tinggi, ternyata juga memiliki ilmu yang juga tinggi.
Uwais memulai pengajian itu dengan bacaan basmalah, jantungnya berdegup dengan kencang seperti habis lari maraton. Meski begitu, pengajian itu lancar tanpa gangguan. Semua santri terkagum-kagum dengan penjelasan Uwais yang lugas dan enteng. Tanpa ia sadari, sedari tadi ada seorang gadis yang mendengarkannya dan menilainya.
Setelah pengajian itu Uwais langsung menuju ke rumah Kiai. Di rumahnya, Kiai telah menunggu Uwais dengan wajah yang lebih cerah dan senyum yang merekah. Kiai menjabat tangan Uwais sejenak, kemudian menyuruh Uwais duduk di depannya.
“Aku senang kau bisa menggantikanku mengajar kitab Al-Hikam, perintahku itu bukanlah tanpa maksud Le. Kemarin malam seorang putri mendatangiku sambil menangis, dia datang bukan untuk minta dibelikan sesuatu, tapi ia datang untuk mengadu. Engkau tau apa yang ia adukan?” Tanya Kiai, yang hanya dijawab dengan gelengan oleh Uwais
“Dia mengadu padaku, bahwa seorang pemuda telah merebut cintanya dari Tuhannya. Dia menangis, memohon padaku untuk mengembalikan cintanya itu, Cinta Tuhan yang tak akan pernah mencumbu dan menduakannya dengan yang lain. Aku tak bisa mengembalikannya Uwais, tapi aku tau apa yang harus aku lakukan, karena itu aku memanggilmu kemari,” Kiai menghela napas sebentar sebelum melanjutkan ucapannya.
“Sosok pemuda itu adalah dirimu Uwais, dan di belakang tirai itu, sosok gadis yang telah aku ceritakan berada. Di sini aku sebagai ayah, maukah engkau kupinangkan dengan anakku Fatimah, Uwais?” Tangan Uwais gemetar menjalar keseluruh tubuhnya, belum selesai rasa berdebar di jantungnya, sekarang jantungnya harus di pompa kembali demi mendengar penuturan dari Kiai. Akhirnya setelah cintanya ia sebut di setiap sholat tahajudnya, penantian dalam diamnya terkabulkan. Dengan ucapan basmalah, ia pun menerima pinangan itu. Tangisan haru terdengar dari balik tirai, Kiai menitikkan airmata haru, satu tanggung jawabnya akan lepas dan berpindah kelain orang, saat itu juga tanggal pernikahan ditentukan, walimatul ursyi itu tidak akan terlalu besar, tapi cukup akan dibuat semeriah mungkin.
Kegembiraan itu terus saja berjalan, hingga detik-detik dimana pernikahan itu akan berlangsung. Pagi-pagi sekali Uwais datang ke pesantren, setelah tadi malam mendapat kabar bahwa Fatimah terpeleset dikamar mandi dan sekarang dalam keadaan sakit. Para santriwati mempersilahkan Uwais untuk masuk kedalam sebuah kamar yang telah dihias dengan begitu cantik, dengan hiasan-hiasan bunga-bunga pernikahan, didalam sana sudah ada Kiai dan Ibu Nyai, juga seorang gadis yeng terkulai lemah di atas ranjang, Uwais mampu melihatya meski telah ditutupi oleh satir yang lumayan tebal.
“Assalamu’alaikum, Mas Uwais,” Ucapnya lirih.
“Wa’alaikummussalam warohmatullah, semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya Ning. Ada apa pagi-pagi sekali kau memanggilku?” Tanya Uwais pada Fatimah yang masih terkulai lemah diatas ranjang.
“Aku tak pandai berkata Mas. Selama hidupku, aku selalu mengharapkan cinta dari Tuhanku, bahwa aku tidak pernah merasa bahwa cinta memperbudak diriku. Tapi, saat aku mengenalmu, aku sadar bahwa aku mengharapkan cinta dari makhluk-Nya, maka pada saat itulah aku merasa, aku diperbudak oleh cinta. Aku tak ingin seperti itu Mas, aku ingin bebas mencintai Rabbku. Maka, aku memilih untuk melepaskan cinta ini Mas,” Ucap Fatimah patah-patah.
Uwais termenung mendengar kata-kata yang terucap lewat bibir pucat Fatimah dari balik satir, “Apa maksudmu Ning?” Tanya Uwais padanya.
“Engkau pasti tau apa maksudku Mas. Terakhir, aku ingin berpesan padamu…,“ kata-kata Fatimah terhenti sebentar, napasnya mulai tidak teratur.
Sambil terbatah-batah ia melanjutkan, “Allah menyukai keharuman, jadikan hidupmu seperti bunga mawar, ia berbicara lembut dalam bahasa keharuman,” Ucap Fatimah membuat air mata seluruh orang yang ada disana menangis. Detik berikutnya, dengan lirih Fatimah mengucap nama Allah dibantu ummi dan abahnya untuk terakhir kalinya.
Mulut Uwais mengucap kalimat istirja’ pelan, hatinya hancur begitu juga harapannya. Berkali-kali ia mengucap istighfar pelan, meminta pada Allah agar dikuatkan hatinya. Bumi berguncang pelan, langit bertasbih menyebut nama Allah, satu lagi keturunan Adam yang sholihah dipanggil menghadap kekasihnya, karena telah dirindukan oleh penduduk langit yang menunggunya.
“Ketika seseorang mencintai kebenaran, maka kebenaran akan mencintainya.”