Be-songo.or.id

Eksistensi dan Revolusi Santri Tirakatan Menjadi Santri Pabrikan

Istilah santri, sebuah term yang tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, terutama setelah Presiden RI Ir. H. Joko Widodo membubuhkan tanda tangannya dalam bentuk Keputusan Presiden (Kepres) No. 22 tahun 2015, tentang Hari Santri Nasional (HSN) setiap 22 Oktober. Hari yang sangat bersejarah dan dinanti oleh setiap santri yang sejak pra-kemerdekaan telah berada di garda terdepan berjuang mengusir penjajah demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi, pada masa pemerintahan Orde Baru peran santri itu hampir tidak memiliki bekas, bagai senja yang hilang ditelan masa.

Dari kacamata akademisi, sebenarnya santri telah memiliki peran yang cukup berpengaruh di tengah-tengah masyarakat, terutama di Pulau Jawa. Antropolog asal Amerika Serikat, Clifford James Geertz (1926-2006) telah mempopulerkan istilah santri ke panggung internasional sejak tahun 1960-an, dalam tulisannya yang berjudul “The Religion of Java”. Saat melakukan penelitian tentang agama di Jawa, khususnya di daerah Mojokerto, Geertz memberikan kesimpulan bahwa ada tiga varian agama di Jawa yaitu, Santri, Abangan, dan Priyayi.

Santri sebagai kelompok masyarakat yang memiliki pemahaman agama yang sangat kuat. Sedangkan priyayi, orang yang biasa hidup di keraton atau pemerintahan, baik sebagai pesuruh, karyawan atau keluarga keraton. Kelompok masyarakat ini termasuk ke dalam kelompok masyarakat kaya. Terakhir, abangan adalah orang yang tidak paham tentang agama dan juga tidak termasuk dalam keluarga keraton atau pemerintahan.

Hubungan ketiga kelompok masyarakat tersebut mengalami pasang surut. Misalnya pada masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat santri dan abangan menjadi satu kekuatan yang dipinggirkan (kelompok bawahan), sedangkan bangsa priyayi berdiri sendiri dengan menempati posisi sebagai atasan. Pada pemerintahan Orde Baru, kelompok masayarakat santri dan abangan menjadi basis kekuatan yang terpinggirkan dan tidak strategis di Indonesia, sehingga kala itu santri dikenal sebagai masyarakat tradisioanal yang akrab dengan konotasi pakaian tidak rapi, sarung nderat, kumuh, bau rokok, jorok dan sederet identitas tidak menyenangkan lainnya.

Pasca Presiden Soeharto lengser, santri dan abanagan memiliki kesempatan membalik keadaan, Sejak dilantiknya KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI, yang notabene beliau juga merupakan kelompok masyarakat dari kalangan santri. Masyarakat abangan dan santri mulai kembali menunjukkan eksistensinya dan sedikit demi sedikit menempati tempat strategis di masyarakat.

Respon Santri Menanggapi Hipnosis Kemajuan Industri

Propaganda yang terus digelorakan bahwa industri itu segala-galanya bagi masyarakat modern, telah berhasil menghipnotis hampir keseluruhan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali juga para santri. Santri dan kyai yang selama ini sehari-harinya dipenuhi dengan kegiatan ngaji, tirakat, puasa dan berbagai amalan lainnya, kini telah terpengaruh dan mulai melirik untuk berkecimpung ke dalam hiruk-piruk dunia pabrik. Bahkan sekarang kini tidak sedikit pesantren yang telah menyulap lahan pertaniannya menjadi pabrik untuk mendongkrak eknomi pesantren. Dengan begitu, apabila santri telah lulus dari pesantren akan diiming-imingi untuk menjadi buruh pabrik. Lantas apakah itu jelek? tentu tidak.

Tetapi dari sini tradisi santri sedikit demi sedikit semakin luntur dan hilang tergerus kemajuan dunia industri. Karena jika berkaca pada teori ekonomi, bahwa sifat orang-orang yang berkecimpung di dunia insustri kebanyakan berpedoman dengan “mendapatkan laba sebanyak-banyaknya dengan modal yang sedikit”. Dengan itulah santri sangat berpotensi kehilangan jati dirinya sebagai pribadi yang gemar membantu dan berbagi. Lebih mengkhawatirkan lagi apabila santri telah mendirikan pesantren atau lembaga pendidikan dengan berbasis industri, dalam artian menjual ilmu dengan kepentiangan pribadi dan tujuan materi.

Terdapat beberapa eksistensi santri tradisioanal yang hilang ditelan zaman, diantaranya tidak akan ada santri membajak sawah yang hasilnya digunakan untuk makan bersama santri dan kyai, tidak akan ada lagi santri yang menuntut ilmu hanya dengan berbekal sarung dan pakaian seadanya.

Bukan hanya itu, bahkan akan jarang kita temui santri tirakatan dan ahli poso (Jawa: ahli puasa) karena telah termanjakan oleh berbagai kemewahan dan kesejahteraan yang ditawarkan oleh dunia industri. Santri  pabrikan akan sulit menemukan jati dirinya sebgai santri dan tanpa sadar dirubah mejadi pribadi yang memperbesar perut. Padahal dawuh para ulama, “Barangsiapa yang suka membesarkan perutnya dengan banyak makan, maka ia akan suka tidur. Dan barangsiapa yang suka tidur, maka ia ibadahnya akan terganggu dan sedikit untuk mengingat Allah”.

Maka dari itu, dengan sendirinya santri pabrikan tidak tidak akan menemukan tujuan utamanya sebagai santri, yaitu hamba Allah dan menjadi salah satu orang terpilih di sisi-Nya. Kerja dan aktivitas terbaik adalah perbuatan yang bisa mendekatkan diri kita dengan Allah, bukan kerja yang menuruti propaganda Hamba-Nya. Hidup adalah pilihan, maka pilihlah jadi santri tirakatan atau santri pabrikan.

Wallahu a’lam bi shawab

Oleh : Imam Mawardi ( Santri Ponpes Darul Falah Besongo dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang )

Editor : Nizar Zuhdi Al-H