Barangsiapa yang datang ke tebuireng dengan niat tholab al-ilm (mencari ilmu) meskipun hanya sebentar, maka ia sudah menjadi santriku.
-Hadrotussyaikh Hasyim Asy’ari-
Pekan lalu, santri Pesantren Darul Falah Besongo melaksanakan ziarah dan studi banding di Ma’had Aly Tebuireng. Pesan dalam kutipan di atas disampaikan ketika studi banding. Bahwa siapapun yang datang ke Tebuireng dengan niat tholab al-ilm (mencari ilmu), maka ia sudah diakui sebagai santrinya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Tentu menjadi keistimewaan tersendiri menjadi santri dari tokoh besar pendiri Nahdlatul ‘Ulama.
Selain kebanggaan, kalimat tersebut juga bisa kita kulik dari sisi keindahan redaksinya yang sarat akan makna. Kiai Hasyim Asy’ari tidak menekankan untuk mengunjungi makam beliau atau sowan ke keluarga, tetapi lebih mengutamakan pentingnya niat. Bahwa yang diakui sebagai muridnya adalah yang datang dengan niat tholabul ilmi bukan dengan tujuan jalan-jalan atau sekedar swafoto untuk dipamerkan di media sosial.
Alhamdulillah, santri Besongo masih cukup layak dihusnudzoni. Sebab, mereka datang membawa niat tholabul ilmi, meskipun mungkin dibarengi niat lain. Pengakuan sebagai santri dan makna di baliknya, mari kita sebut sebagai oleh-oleh pertama dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.
Selanjutnya, menurut murid Hadhratussyaikh generasi awal (KH. Tholhah Hasan), sebagaimana disampaikan salah seorang pengajar di Ma’had Ali (ustadz Roziki), ada sebuah hadits yang sering diulang oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari:
….. يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ، أَلَمْ أَجِدْكُمْ ضُلَّالًا فَهَدَاكُمُ اللَّهُ بِي، وَكُنْتُمْ مُتَفَرِّقِينَ فَأَلَّفَكُمُ اللَّهُ بِي، وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمُ اللَّهُ بِي….
“…..hadirin kaum anshar, bukankah aku dahulu menjumpai kalian dalam keadaan sesat lantas Allah memberi kalian petunjuk dengan perantaraku? Dahulu kalian dalam keadaan terpecah belah lantas Allah mendamaikan kalian dengan perantaraku? Dan kalian dalam keadaan miskin lantas menjadikan kalian kaya dengan perantaraku?……”
Mari kita nikmati potongan hadisi tersebut sebagai oleh-oleh kedua. Setidaknya ada tiga poin yang bisa dipetik dalam hadis ini. Pertama, “Bukankah aku dahulu menjumpai kalian dalam keadaan sesat lantas Allah memberi kalian petunjuk dengan perantaraku?” Bagian ini menjadi isyarat tentang pentingnya akidah, aspek keagamaan.
Penting bagi seorang santri untuk memperkuat dan memperdalam akidah Islam. Akidah menjadi sumber ibadah. Sehingga, jika akidah baik maka ibadah juga baik. Pun akidah menjadi hal yang harus diajarkan oleh santri ketika terjun di masyarakat. Maka, penting bagi santri untuk benar dalam urusan akidah. Santri tidak boleh menyesatkan umat, utamanya ketika menginterpretasikan akidah.
Kedua, “Dahulu kalian dalam keadaan terpecah belah lantas Allah mendamaikan kalian dengan perantaraku?” Dari kalimat tersebut, santri harus menjadi pemersatu bukan pemicu perpecahan. Kaena sejatinya Islam datang untuk menyatukan. Pesan dari pendiri NU ini menjadi penawar realitas yang terjadi sekarang. Seperti paham individualisme, sikap toleran yang semakin berkurang, truth claim antarkelompok menjadi tantangan bagi santri. Santri harus berperan aktif dalam merawat persatuan dan kesatuan masyarakat.
Ketiga, “Kalian dalam keadaan miskin lantas Allah menjadikan kalian kaya dengan perantaraku?” Bagian ini menjadi pecutan bagi santri, bahwa hadirnya santri harus bisa menjadi penopang kekuatan ekonomi. Sebab, Islam datang dengan membawa perkembangan dalam sektor tersebut. Maka, wajib bagi santri untuk mampu bersaing dalam pergulatan ekonomi. Misalnya menjadi wirausaha dengan membuka lapangan pekerjaan sebanyak mungkin. Hadirnya santri bukan justru membebani perekonomian negara.
Tiga poin dari hadis ini merupakan bekal yang dititipkan oleh Hadrotussyaikh Hasyim Asy’ari kepada segenap santrinya. Kekuatan akidah menjadi modal utama bagi santri. Selanjutnya, menjaga persatuan umat menjadi tugas yang tidak bisa ditinggalkan oleh santri. Pun santri harus bisa menjadi penyejuk dalam geliat perekonomian bangsa.
Sebagai oleh-oleh ketiga, mari kita nikmati wejangan mbah Hasyim berkaitan dengan fikih. Beliau selalu mengajak santrinya untuk menghadirkan fikih yang solutif bukan fikih dogmatif. Artinya, fikih menjadi jawaban problematika masyarakat. Perbincangan fikih tidak hanya dogma-dogma kutub al-turats.
Solusi yang ditawarkan adalah dengan kembali pada mashodir (sumber) utama hukum Islam, yakni Alquran dan Hadis. Hal ini dapat dilakukan dengan membaca bagaimana Alquran merespon masyarakat Arab kala itu. Selanjutnya, menengok kembali bagaimana Nabi Muhammad memberikan solusi atas problematika umat. Kemudian, membawa pemahaman tersebut dan mengkontekstualisasikannya untuk menjawab problem yang berkembang di masa sekarang.
Berkaca pada hal di atas, memberanikan diri untuk keluar dari dogma teks kitab dan menggali hukum untuk problem umat sekarang menjadi sebuah kebutuhan. Tentu harus disertai bekal ilmu yang mumpuni, seperti ilmu tafsir dan ushul fikih. Akan tetapi, setidaknya jika sudah berani mencoba menggali hukum sendiri, minimal kita bisa mengetahui asal-usul lahirnya suatu hukum tertentu. Sebab, jika melulu mengkaji kitab fikih tanpa adanya usaha memahami problematika kontemporer, maka sangat mungkin kita terjebak pada dogma kitab.
Sebaliknya, jika kembali pada Alquran dan Hadis disertai pembacaan konteks sosio-historis yang tepat, kemudian disesuaikan dengan kondisi pada masa sekarang, maka kita dapat menghadirkan solusi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai problematika yang tengah dihadapi masyarakat dewasa ini.
Problematika keumatan yang nampak akhir-akhir ini menuntut santri untuk turut serta menjawab tantangan zaman. Dengan memberikan atmosfer kesejukan di tengah masyarakat, santri harus mampu memberikan sumbangsih dalam bentuk pemikiran yang diwujudkan melalui tindakan untuk menjawab problematika umat saat ini.
Tentu, santri tidak boleh melupakan ketiga oleh-oleh dari Tebuireng tersebut. Ketiganya sudah selayaknya dilakukan seorang santri dengan sepenuh hati dan diiringi dengan semangat belajar, mengabdi, dan melayani sebagai ajang untuk menempa diri. Dengan cara seperti ini, dapat menjadi ajang santri untuk mengupgrade wawasannya guna mematangkan diri saat terjun ke masyarakat.
Pesan yang disampaikan oleh Hadratussyaikh Hasyim Asyari di atas hendaknya terpatri dalam diri seorang santri. Sebagai wujud ta’dhim kepada seorang guru serta sebagai bekal untuk membentuk santri yang ideal. [*]
Penulis adalah santri Asrama B17; M. Faiq Azmi