Pondok Pesantren Darul Falah Besongo, Sabtu 1 Februari 2025
Islam adalah agama yang menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Sebagai seorang Muslim, sudah seharusnya kita menjalankan syariat Islam dengan baik dan benar. Salah satu jalan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Aswaja merupakan mazhab yang dalam aspek akidah mengikuti pemikiran Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam ubudiyah mengikuti salah satu dari empat imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), serta dalam tasawuf mengikuti Imam Al-Junaidi atau Al-Ghazali. Namun, sudahkah para santri memahami esensi Aswaja dengan baik dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari?
Pemahaman yang kokoh menjadi kunci utama dalam mengimplementasikan nilai-nilai Aswaja. Dalam seminar keaswajaan di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo, Ustadz Syariful Anam, M.S.I. menegaskan bahwa implementasi nilai Aswaja harus dimulai dengan pemahaman yang mendalam terhadap landasan teologi Aswaja, yang mencakup manhaj (metode berpikir adaptif sesuai dengan sosiologi masyarakat), mazhab/ittiba (mengikuti hasil pemikiran ulama), serta penerapannya dalam perilaku sehari-hari.
Aswaja memiliki empat prinsip dasar yang menjadi pegangan, yaitu i’tidal (keadilan), tawassuth (moderasi), tasamuh (toleransi), dan tawazun (keseimbangan). Nilai-nilai inilah yang membentuk kepribadian seorang Muslim agar tetap berjalan di jalur yang benar. Dalam kitab Faraidussaniyah karya Syekh Al-Imam Asy-Syaroni disebutkan bahwa salah satu golongan yang dijamin masuk surga adalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Implementasi Aswaja dalam Kehidupan Sehari-hari
Implementasi nilai-nilai Aswaja mencakup empat ruang lingkup utama, yaitu Ubudiyyah, Insaniyah, Al-Bi’ah, dan Ukhuwah. Para santri diajak untuk memahami lebih dalam aspek-aspek ini agar nilai Aswaja tidak hanya menjadi teori, tetapi juga membentuk karakter dan perilaku mereka.
Pertama, ubudiyyah (ihwal ibadah syariat). Ruang lingkup ini mencakup kekhusyukan dalam beribadah, salah satunya adalah salat berjamaah. Seorang santri Aswaja harus memahami bahwa ibadah bukan hanya rutinitas, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang khusyuk dan penuh keikhlasan.
Kedua, insaniyah (sosial kemanusiaan). Insaniyah menitikberatkan pada aspek kemanusiaan yang harus dimiliki oleh setiap pengikut Aswaja. Hal ini mencakup sikap menghargai orang lain, tidak meremehkan, tidak memanggil seseorang dengan sebutan yang tidak disukai, menjauhi prasangka buruk, serta tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Dalam seminar ini, Ustadz Syariful Anam juga menekankan pentingnya konsep equality atau kesetaraan dalam Islam, yaitu memberikan hak yang sama kepada setiap individu tanpa membedakan status sosialnya.
Ketiga, al-bī’ah (lingkungan). Dalam perspektif Aswaja, menjaga lingkungan juga menjadi bagian dari tanggung jawab seorang Muslim. Al-Qur’an dalam surah Al-Qasas menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk menjaga dan melestarikan alam yang telah diciptakan Allah dengan sebaik-baiknya. Implementasi nilai ini dapat dilakukan dengan merawat ekosistem sesuai dengan kapasitas individu masing-masing.
Keempat, ukhuwah (persaudaraan). Aswaja mengajarkan ukhuwah (persaudaraan) dalam tiga aspek utama, yaitu ukhuwah basyariyyah (persaudaraan antar manusia), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah diniyah (persaudaraan seiman). Dalam konteks kehidupan santri, menjaga ukhuwah Islamiah menjadi kunci dalam menghadapi berbagai perbedaan yang muncul di tengah umat Islam.
Menyikapi Keberagaman dengan Bijak
Di era modern, umat Islam dihadapkan pada berbagai perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik. Sayangnya, perbedaan tersebut sering kali menjadi sumber perpecahan. Namun, santri yang memiliki landasan Aswaja harus mampu menyikapi perbedaan dengan bijak agar ukhuwah Islamiah tetap terjaga.
Allah menciptakan alam semesta dengan keberagaman sebagai sunnatullah. Oleh karena itu, perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan harus diterima dengan sikap toleran. Imam Syafi’i pernah berkata, “Pendapat saya benar, tetapi mungkin ada salahnya. Pendapat orang lain salah, tetapi mungkin ada benarnya.” Pernyataan ini mengajarkan bahwa dalam perbedaan pendapat, kita harus tetap rendah hati dan tidak menganggap diri paling benar.
Setiap firqah dalam Islam mungkin saja mengandung unsur Ahlussunnah wal Jamaah di dalamnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh sembarangan menghakimi atau mengkafirkan orang lain, kecuali kekufuran seseorang sudah jelas dan nyata. Keberagaman adalah keniscayaan, dan toleransi merupakan salah satu kunci utama dalam menjaga persatuan umat Islam.
Allah berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 10-13 yang berisi perintah untuk menjaga perdamaian, saling menghormati, dan menerima perbedaan di antara manusia. Jika nilai-nilai ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka umat Islam akan mampu hidup berdampingan dalam harmoni, tanpa harus terpecah belah oleh perbedaan pemahaman.
Akhirnya, seminar keaswajaan di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo ini menjadi pengingat bagi para santri bahwa memahami dan menerapkan nilai-nilai Aswaja bukan sekadar teori, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Melalui prinsip keadilan, moderasi, toleransi, dan keseimbangan, seorang Muslim dapat menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.
Penerapan nilai-nilai Aswaja dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya mencerminkan kesalehan individu, tetapi juga menjadi upaya dalam menjaga persatuan dan kedamaian di tengah keberagaman. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Aswaja secara utuh, umat Islam dapat membangun kehidupan yang lebih harmonis, penuh toleransi, dan tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Oleh: Indy Ainun Hakimah (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor: Zakiyah Kibtiah