Konflik merupakan bagian tak terpisahkan dari fitrah manusia. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30, Allah menggambarkan manusia sebagai makhluk yang gemar merusak dan menumpahkan darah. Namun, bertolak belakang dengan sifat alaminya, manusia juga mendambakan kedamaian. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang tepat agar konflik dapat dikelola secara positif tanpa menimbulkan dampak negatif.
Fisher dan Ury (1981) dalam bukunya Getting to Yes: Negotiating Agreement Without Giving In, konflik tidak harus berujung pada perselisihan yang merugikan, melainkan bisa menjadi sarana untuk menemukan solusi yang lebih baik bagi semua pihak. Seperti halnya menebang pohon untuk dijadikan furnitur atau menyembelih hewan untuk konsumsi, konflik yang dikelola dengan baik dapat menghasilkan manfaat yang besar. Oleh sebab itu, konflik tidak selalu buruk, melainkan bagaimana cara menghadapinya yang menentukan dampaknya.
Persepsi: Akar Konflik dalam Kehidupan
Salah satu penyebab utama konflik adalah perbedaan persepsi. Hal ini tergambar jelas dalam sesi pelatihan “Resolusi Konflik dan Leadership” yang menjadi bagian dari Agenda Pasca Liburan (Pascalib) Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang pada 1 Februari 2025. Dalam pelatihan tersebut, Ustadz Tajuddin Arafat, M.S.I. menyajikan sebuah gambar dan meminta para santri untuk menafsirkan maknanya. Hasilnya, setiap santri memiliki jawaban berbeda sesuai dengan persepsinya masing-masing, yang secara tidak sadar dapat memicu konflik.
Fenomena ini juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun organisasi. Sering kali, seseorang menilai tindakan atau perkataan orang lain berdasarkan persepsinya sendiri tanpa berusaha memahami alasan di baliknya. Hal inilah yang dapat memicu kesalahpahaman dan konflik. Dalam pandangan Deutsch (2000), konflik sering kali muncul akibat ketidakseimbangan dalam persepsi dan komunikasi antara individu atau kelompok.
Konflik umumnya terjadi karena adanya dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu hubungan, baik individu maupun kelompok. Hubungan yang saling berkaitan di antara mereka sering kali menimbulkan benturan kepentingan, terutama ketika terdapat perbedaan persepsi dan tujuan yang bertentangan satu sama lain.
Penting juga untuk memahami bahwa konflik dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda. Konflik bersifat natural dan tidak bisa dihindari, sementara kekerasan merupakan dampak dari konflik yang tidak terkelola dengan baik. Kekerasan dapat berupa fisik, verbal, maupun psikis, yang semuanya dapat dihindari melalui manajemen konflik yang efektif.
Strategi Menghadapi Konflik
Ketika menghadapi konflik, terdapat berbagai strategi yang dapat diterapkan. Menurut Thomas dan Kilmann (1974), ada beberapa pendekatan utama dalam mengelola konflik. Salah satunya adalah contending atau bertanding, yaitu menerapkan solusi yang lebih menguntungkan salah satu pihak dibanding pihak lain.
Strategi lain adalah yielding atau mengalah, yaitu menurunkan aspirasi diri dan menerima kurang dari yang diharapkan. Selain itu, withdrawing atau menarik diri dapat menjadi pilihan dengan cara menghindari situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis. Ada pula inaction atau diam, yakni tidak mengambil tindakan apa pun terhadap konflik yang terjadi. Strategi yang paling ideal adalah problem solving atau pemecahan masalah, di mana semua pihak berupaya mencari alternatif solusi yang memuaskan kepentingan bersama.
Dari berbagai strategi yang ada, yang paling sering diterapkan adalah mengalah. Meski tidak selalu menyelesaikan konflik, mengalah dapat menjadi langkah sementara untuk menjaga stabilitas hubungan. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Mayer (2012) dalam bukunya The Dynamics of Conflict Resolution, strategi terbaik dalam menghadapi konflik adalah memahami kepentingan bersama dan bernegosiasi dengan keterbukaan agar solusi yang dicapai dapat diterima oleh semua pihak.
Tidak ada cara lain untuk menghadapi konflik selain mengelolanya dengan sikap positif. Konflik tidak dapat dihilangkan, tetapi kekerasan yang berpotensi muncul akibat konflik bisa dicegah. Dengan pemahaman yang baik, konflik justru dapat menjadi peluang untuk mencapai solusi yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia. Seperti yang disampaikan oleh Galtung (2009), resolusi konflik yang efektif tidak hanya tentang menghentikan pertikaian, tetapi juga menciptakan kondisi yang lebih adil dan harmonis bagi semua pihak yang terlibat.
Oleh: Khairul Bahrul Ulum (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)
Editor: Zakiyah Kibtiah