Suasana di kota santri
Asik senang kan hati
Tiap pagi dan sore hari
Muda- mudi berbusana rapi
Menyandang kitab suci
Hilir mudik silih berganti
Pulang pergi mengaji
Lagu yang berjudul “suasana di kota santri” pun seakan mengingatkan arti santri sebenarnya. Kyai, santri dan kitab kuning ibarat sebuah lingkaran yang tak dapat dipisahkan. Santri adalah orang yang menuntut ilmu kepada para kyai atau ulama sedangkan kitab kuning adalah perantara untuk mempelajari hadits- hadits shohih ataupun jawaban dari problematika umat yang isinya biasanya mengandung ijtihad dari para ulama.
Santri adalah generasi penerus bangsa yang sebenarnya telah dicap dan secara tidak langsung dipercaya oleh masyarakat akan membangun peradaban terutama peradaban islam. Jika kita menelisik lebih jauh, bukan maksud membandingkan antara jaman sekarang yang telah tercampur oleh budaya luar dengan budaya jaman dahulu yang cenderung masih tradisional. Namun, coba kita melihat dari sisi lain. Seorang santri pada hakikatnya mumpuni dalam bidang agama dan tidak adil jika seseorang yang telah mendapatkannya tidak menyalurkan ilmu yang didapat tersebut kepada orang lain atau biasa disebut dengan mentransfer ilmu. Ruang lingkup santri bukan hanya bersosialisasi di area pondok pesantren, namun nantinya akan lebih besar dari itu yaitu dalam ruang lingkup masyarakat. Tingkat pengetahuan masyarakat berbeda- beda dan yang sering ditemui adalah masyarakat dari golongan awam yang belum mengenal lebih dalam tentang islam.
Yang menjadi permasalahan dewasa ini adalah terkait peran santri didalam menjawab problematika masyarakat yang terus berkembang. Jika problematika masyarakat semakin meningkat maka dibutuhkan solusi yang terbaik pula yaitu dengan hadirnya santri di lingkungan sekitar. Realita yang terjadi sekarang adalah dengan serba canggihnya teknologi contohnya komputer atau handphone yang praktis untuk dibawa kemanapun, para santri terkadang menggampangkan hal tersebut. Semakin maraknya penawaran berbagai jaringan koneksi internet yang handal membuat para santri lengah bahwa sebenarnya belajar ilmu agama haruslah didampingi oleh orang yang lebih tinggi atau lebih paham. Hal tersebut berkaitan yaitu jika ada suatu hal yang belum dipahami oleh santri maka bisa langsung ditanyakan kepada kyai.
Pada prakteknya, seorang santri yang sebenarnya merasa enggan atau kurang bersemangat mengaji karena berbagai faktor misalnya alasan berangkat mengaji kepada kyainya hanya sebagai tuntutan atau peraturan pondok yang memang lazimnya harus di jalankan, bukan karena benar- benar niat dari hati ingin mengaji. Jika faktor- faktor yang menjadikan santri malas atau malah enggan mengaji berlangsung secara terus menerus, maka itulah yang menyebabkan santri hanya akan mendapatkan hasil yang setengah- setengah. Kemudian alternatif paling mudah yang dapat dilakukan adalah mengaktifkan koneksi internet lalu menekan bab-bab agama apa yang merasa belum ia ketahui kemudian membaca tulisan yang ada di internet serta menyerapnya tanpa tahu dasar- dasarnya terlebih dahulu. Padahal sebenarnya menulis di internet adalah hal termudah yang siapapun dapat mengajukan pemikiran- pemikiran bebas dan orang yang tidak mengetahui dasar dari pemikirannya tersebut seolah diberi hak untuk menuangkan dalam bentuk tulisan yang nantinya akan dibaca oleh banyak orang atau istilahnya yaitu “ internet adalah tempat dimana orang dapat berbicara sesuka hati”.
Pemikiran- pemikiran dalam dunia islam pun memang tidak selalu nampak seragam karena masing- masing memiliki sudut pandang tersendiri. Dari sekian banyak pemikiran- pemikiran tersebut lalu satu persatu di dakwahkan dengan cara membagikan sebuah kiriman lewat internet agar dapat dibaca oleh semua pihak. Perbedaan pemikiran yang tingkatannya dimulai dari pemikiran islam demokratis hingga pemikiran islam ekstrim biasanya terangkum dalam beberapa page para penyebar situs. Dari tulisan yang tertuang dalam internet, jika dasar- dasarnya saja belum tahu dan santri itu langsung menyerap apa yang tercantum di internet terkait hal agama yaitu keyakinan dan juga terkait tauhid maka hakikatnya seorang santri bisa taqlid buta mengikuti aliran yang lain yang mungkin bisa dikatakan aliran keras.
Jaman serba mudahnya teknologi, maka yang khawatirkan sekarang adalah seolah tingkat kepedulian santri sekarang terhadap pengajaran kitab- kitab klasik, sesrawungan bersama orang alim dan berbagai kegiatan yang sifatnya diskusi bersama santri lain kurang digalakkan lagi. Padahal pada hakikatnya itu semua adalah upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon generasi penerus atau kader para ulama yang setia kepada paham- paham tradisional. Disini paham tradisional bukan berarti paham pesantren yang kolot dan sama sekali tidak mau berhubungan dengan modernitas serta hal ini bukan berarti santri tidak boleh membuka internet untuk menjelajah dunia, namun paham tradisional yang dimaksud adalah paham yang lebih condong ke arah sikap berhati- hati agar para santri tidak menerima informasi secara instan tanpa ada guru yang membimbingnya. Santri juga diharapkan agar terus bersemangat mengaji yaitu dengan didahulukan niat yang baik agar mendapatkan ridha Allah dan ilmu yang nantinya akan bermanfaat bagi diri sendiri serta masyarakat umum. _(Nadiya/red)_
*** Artikel ini pernah diterbitkan di Buletin Al-Qalam Edisi 3, September 2016 PP Darul Falah Be-Songo***