Be-songo.or.id

Satria Wijil

Sedulur papat kakang kawah adi ari-ri

Patang sudut kalimo pancer yang mengiringi

Di dalam ruangan gelap terdengar suara bayi

Darah dan selendang membalut rasa nyeri

Menyatu di genggaman tangan yang keriput

Setiap air mata insan menghantarkan wejangan hidup

 Terlahir sesosok kesatria dengan mulut yang ternga-nga

Berdampingan dengan napas ibu yang terengah-engah


Burung-burung berkicauan dengan merdu

Menandakan matahari siap berlabuh

Aku berjalan menyusuri galangan ladang padi

Sembari menerjang kumpulan kabut yang berinai-rinai


Dari seberang terdengar suara yang  mengandung enigma

Bagaikan burung yang setiap hari berkicauan

Tanpa ku ketahui satu syairpun maknanya

Terlihat seorang anak kecil tengah menggayuh sepeda tua

Bersama dengan suara tawanya yang lepas tanpa kebohongan

Dia membuka mulutnya lebar-lebar “HA HA HA HA HA..”

Setiap tatapan matanya awas tertuju mengarah ke depan

Namun sesekali ia menoleh kebelakang dengan senyuman

 

Tak dapat ku duga

Terlihat dari kejauhan tersaut senyuman tipis

Penanda segala beban kehidupan dapat tertepis

Dari balik senyuman nampak sesosok perempuan duduk menyamping

Menggendong ceting dengan selendang kusut

Sesekali dia merapalkan kata dengan lemah lembut

Sembari mengelus-elus kepala insan yang membocengkannya

Dengan tangan keriput dan mata berkaca-kaca bahagia

 

Matahari mulai monyongsongkan swatimitanya

Pertanda sang bentala akan menjadi gelap gulita

Aku berjalan menyusuri jalan yang mulai sepi

Dari belakang terdengar suara gemprincing besi

(krincing-krincing…..krincing-krincing….)

Seketika aku berbalik dan melambaikan tangan

Turun seorang anak dengan ibunya dari sepeda tua

Dalam qolbu Aku terkejut “bukankah kamu anak yang tadi?”

Aku bertanya “Apa yang kamu kerjakan tadi pagi?

Bukankah seharusnya pagi tadi kamu sekolah?”


“Aku tak bersekolah, Aku lebih suka membantu ibuku yang rimpuh

Mengantar dan menjual dagangannya berharap supaya laku

 Aku tak pernah berfikir mendapatkan pendidikan

Sedangkan ibuku masih terselimuti rasa susah dan penderitaan

Aku tak mau menambah beban orang yang melahirkan ku

Dengan tuntunan panjang kehidupan serta uang saku

Bagaikan anak burung yang diberi susu

Namun dia balas dengan rasa pahitnya empedu“

 

Oleh: Ilham M. ( Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang)